Empat Masalah yang Wajib Dipelajari Bagi Setiap Muslim (Bagian 2)
3. Mendakwahkan Ilmu.
المَسْأَلَةُ الثَانِيَةُ : العَمَلُ بِهِ .(1) المَسْأَلَةُ الثَالِثَةُ : الدَّعْوَةُ إلَيْهِ, (2
“Masalah kedua, yaitu mengamalkannya.1 Masalah ketiga, yaitu mendakwahkannya.2 “
[1] Mengamalkannya. Maksudnya adalah melaksanakan konsekuensi-konsekuensi dari pengetahuan tersebut, yaitu berupa iman kepada Allah dan mentaatiNya dengan cara melaksanakan perintah-perintahNya serta menjauhi larangan-laranganNya, baik dalam ibadah khashah maupun dalam ibadah muta’adiyyah . Contoh dari ibadah-ibadah khashah adalah shalat , shiyam, haji. Sedangkan ibadah muta’adiyyah adalah amar ma’ruf nahi munkar, jihad fii sabilillah dan yang semisal dengannya.
Hakikat amal adalah buah dari ilmu yang telah didapatkan. Barangsiapa yang beramal tanpa didasari dengan ilmu, ia seperti orang Nasrani, dan barangsiapa yang berilmu namun tidak beramal, maka ia menyerupai orang Yahudi.
[2] Maksud dari mendakwahkannya adalah mendakwahkan syariat-syariat Allah ‘azza wa jalla yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Tahapannya ada tiga atau empat, sebagaimana yang telah disebutkan Allah’azza wa jalla,
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”(QS. An-Nahl ;125)
Sedangkan tahapan dakwah yang keempat adalah firman Allah’azza wa jalla,
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ
“Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka,” (QS. Al –Ankabut ;46)
Orang yang berdakwah harus memiliki ilmu tentang syariat-syariat Allah ‘azza wa jalla, sehingga ia berdakwah berdasarkan ilmu dan bashirah. Hal ini berdasarkan pada firman Allah ‘azza wa jalla,
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.(QS. Yusuf;108)
Bashirah dalam dakwah akan terwujud jika seorang da’I memiliki ilmu tentang hokum-hukum syar’I, metode dalam dakwah, dan memahami keadaan para mad’unya (objek dakwah).
Dakwah meliputi banyak bidang., diantaranya dakwah melalui khutbah, ceramah, dakwah melalui makalah, halaqah ilmu, penulisan buku dan penyebaran agama dengan cara mengarang sebuah buku.
Bisa juga dengan dakwah melalui mejelis-majelis khusus, misalnya seseorang berada di dalam sebuah majelis untuk berdakwah(mengajak) kepada jalan Allah’azza wa jalla. Inilah bidang-bidang dakwah untuk mengajak umat kepada jalan Allah. Akan tetapi, hendaknya dakwah dilakukan dengan cara yang tidak membosankan dan tidak memberatkan. Hal itu dapat ditempuh dengan misalnya seorang da’I memaparkan permasalahan secara ilmiah di hadapan para hadirin yang ada di majelis tersebut, kemudian baru dimulai dengan dialog. Telah menjadi maklum, bahwa metode dengan dialog dan Tanya-jawab memiliki peran yang sangat besar dalam membantu memahami dan memahamkan atas apa yang diturunkan Allah ‘azz wa jalla kepada RasulNya. Terkadang metode ini lebih efektif dibandingkan dengan khutbah atau ceramah dengan menyampaikan semua risalah.
Berdakwah mengajak kepada Allah ‘azza wa jalla adalah tugas para Rasul’alaihimus shalatu wa sallam dan merupakan jalan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Jika seseorang telah mengenal Allah ‘azza wa jalla sebagai Dzat yang diibadahi, mengenal NabiNYa, agamaNya, dan Allah telah memberikan taufiq kepadanya, maka hendaknya ia berusaha untuk menyelamatkan saudara-saudaranya dengan mengajak nmereka kepada agama Allah’azza wa jalla dan menyebarkan kebaikan.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ali bin abi thalib radhiyallahu ‘anhu pada saat perang Khaibar, “Bergeraklah perlahan-lahan sehingga kamu tiba di wilayah mereka, kemudian ajaklah mereka masuk Islam. Beritahulah mereka tentang hak Allah yang wajib mereka tunaikan dalam Islam. Demi Allah, sungguh jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang lantaran dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah.”(HR.Bukhari) . Para ulama sepakat keshahihan hadits ini.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dlm hadits yang di riwayatkan oleh Imam Muslim, “Barang siapa yang mengajak kpd petunjuk, maka mia memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang mengajak kpd kesesatan maka ia mendapatkan dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.”(HR.Muslim).
Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Barangsiapa yang menunjukkan kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pelakunya.” (HR.Muslim).
4. Bersabar terhadapnya
المَسْأَلَةُ الرَابِعَةُ : الصَبْرُ عَلَى الأذّى فِيهِ
“Masalah keempat, bersabar terhadap gangguan di dalamnya.”
[1] Sabar adalah menahan diri untuk tetap melakukan ketaatan kepada Allah’azza wa jalla, tidak bermaksiat kepadaNya , dan tidak membenci takdir-takdir yang telah Allah’azza wajalla gariskan kepadanya, atau menahan diri untuk tidak membenci, mengeluh dan bosan. Dengan demikian ia akan senantiasa giat dalam mendakwahkan agama Allah sekalipun disakiti, karena penganiayaan terhadap da’I yang mendakwahkan kebaikan merupakan hal biasa yang dilakukan manusia, kecuali mereka yang mendapatkan petunjuk dari Allah.
Allah berfirman kepada NabiNya,
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَىٰ مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّىٰ أَتَاهُمْ نَصْرُنَا ۚ
“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka.” (QS. AL- An’am; 34)
Semakin keras penganiayaan kepada seorang da’I, maka semakin dekat pertolongan Allah’azza wa jalla. Pertolonhan Allah tidak hanya diberikan ketika seseorang masih hidup, saat ia masih dapat melihat pengaruh dakwahnya terwujud, akan tetapi nisa saja pertolongan tersebut dating setelah wafatnya, yaitu dengan jalan Allah ‘azza wa jalla menjadikan hati manusia menerima dakwahnya dan berpegang teguh dengannya. Bahwaini termasuk dalam ketegori pertolongan Allah kepada para da’I sekalipun mereka telah wafat.
Oleh karena itu, seorang da’I harus bersabar dan konsisten dalam menjalankan dakwahnya. Ia harus bersabar dalam menghadapi gangguan yang menimpa dirinya. Ketahuilah bahwa para Rasul ‘alaihimusshalatu wa salam juga mendapatkan gangguan baik dari ucapan maupun perbuatan. Allah’azza wa jalla berfirman;
كَذَٰلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ
“Demikianlah tidak seorang rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: “Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila”.’ (Q.S. Adz dzariyat;52)
Allah ‘azza wa jalla juga berfirman,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ ۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong.” (Q.S. Al – Furqan;31). Akan tetapi hendaknya seorang da’I menerima perlakuan tersebut dengan sabar. Perhatikanlah firman Allah ‘azza wa jalla kepada RasulNya shalallahu ‘alaihi wa sallam;
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيلا
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran[1] kepadamu (Muhammad) secara berangsur-angsur.” (Q.S. Al-Insan:23). Sesungguhnya perkara yang dinanti adalah sebuah ayat yang berbunyi: “hendaklah kamu mensyukuri nikmat Rabbmu.” Akan tetapi Allah ‘azza wa jalla berfirman,
فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا
“Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu[, dan janganlah engkau ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.”(Q.S. Al-Insan: 24)
Hal ini mengandung isyarat bahwa setiap orang yang melaksanakan Al- qur’an pasti akan mengalami hal-hal yang menuntutnya untuk bersabar . Maka perhatikanlah keadaan Nabi shalallahu’alaihi wa sallam ketika beliau dipukuli oleh kaumnya sehingga bercucuran darah di wajah beliau, sambil mengusap darah di wajahnya, beliau berdo’a, “Ya Allah, ampunilah kaumku karena mereka sesungguhnya tidak mengetahui.”
Oleh karena itu, seorang da’i harus bersabar dan mengharap pahala dari Allah ‘azza wa jalla. Kesabaran itu ada 3 macam:
1. Sabar dalam mentaati Allah
2. Sabar dalam meninggalkan hal-hal yang diharamkan Allah
3. Sabar menjalani takdir yang telah ditetapkan oleh Allah, baik takdir yang ditimpakan kepadanya bukan karena usaha manusia, maupun melalui perantara tangan sebagian manusia berupa gangguan dan penganiayaan.
Dalil Wajibnya Mempelajari Empat Masalah Di Atas
وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. لَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S.Al-‘Ashr:1-3)1.
[1] Yang dimaksud penulis adalah, surat ini menjadi dalil mengenai empat tahapan yang telah disebutkan, yang Allah’azza wa jalla bersumpah dalam surat ini dengan masa yang di dalamnya terjadi berbagai macam peristiwa yang baik maupun peristiwa yang buruk. Allah’azza wa jalla telah bersumpah dengan masa bahwa setiap manusia pasti berada dalam kerugian, kecuali siapa saja yang memiliki empat sifat tersebut di atas, yaitu iman, amal shalih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.
Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan, “berjihad melawan hawa nafsu itu memiliki 4 tingkatan: pertama, memaksanya untuk bersungguh-sungguh dalam mempelajari petunjuk dan agama islam yang benar, dimana tidak ada orang yang memperoleh kesuksesan dan kebahagiaan dunia maupun akhirat, kecuali dengan petunjuk dan agama tersebut. Kedua, memaksanya untuk bersungguh-sungguh mengamalkannya setelah mengetahuinya. Ketiga, memaksanya untuk bersungguh-sungguh mendakwahkannya dan mengajarkannya kepada siapa saja yang tidak mengetahui. Keempat, memaksanya untuk bersungguh-sungguh bersabar terhadap kesulitan-kesulitan berdakwah mengajak kepada Allah’azza wa jalla dan gangguan-gangguan dari manusia, serta menanggung semua hal tersebut dengan mengharap ridha Allah ‘azza wa jalla. Jika seseorang telah menyempurnakan keempat tingkatan ini, maka ia termasuk golongan rabbaniyyin.”
Dalam surat ini Allah ‘azza wa jalla bersumpah dengan masa bahwa semua manusia dalam keadaan keterpurukan dan merugi, meskipun mereka memiliki banyak harta, anak, serta kedudukan yang sangat terhormat, kecuali mereka yang memiliki keempat sifat berikut:
Pertama, iman yang meliputi setiap perkara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla, mulai dari aqidah yang benar dan ilmu yang bermanfaat.
Kedua, amal shalih yaitu semua perkataan, perbuatan yang mendekatkan kepada Allah, dengan syarat sang pelaku melakukannya dengan ikhlas mencari ridha Allah dan mengikuti sunnah Muhammad shalallahu alaihi wa sallam.
Ketiga, saling berwasiat untuk melakukan kebaikan yaitu dengan saling memberikan nasiat untuk selalu melakukan kebaikan dan menganjurkannya serta cinta akan kebaikan.
Keempat, saling menasihati untuk selalu bersabar, yaitu saling berwasiat satu dengan yang lain untuk senantiasa bersabar dalam melaksanakan perintah-perintah Allah, meninggalkan hal-hal yang diharamkanNya, dan menanggung takdir-takdir Allah.
Saling menasihati dalam kebenaran dan kesabarn mencakup amar ma’ruf nahi munkar, karena dengannya umat ini akan menjadi kuat , baik, dan mendapat pertolongan Allah’azza wa jalla, sertamendapatkan lemuliaan dan keutamaan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S.Ali Imran:110).
قاَلَ الشَّافِعَيُّ(1) رَحِمَهُ الله: لّوْ مَا أنْزَلَ اللهُ حُجَّةً عَلَى خَلْقِهِ إلاَّ هَذِهِ السُّورَةَ لَكَفَتْهُمْ(2) .وَقاَلَ البُخَارِيُّ(3) رَحِمَهُ اللهُ: باَبٌ : العِلمُ قَبْلَ القَوْلِ وَالعَمَلْ. وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى : فاَ عْلَمْ أنَّهُ لآ إلهَ إلاَّ اللهٌ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ…(19) فَبَدَأَ بِالعِلْمِ قَبْلَ القَوْلِ وَالعَمَلْ(4
“Imam Asy-Syafi’I rahimahullah berkata, “Sekiranya Allah tidak menurunkan hujjah bagi manusia selain surat ini niscaya telah cukup bagi mereka.”2 Imam Bukhari3 rahimuahullah berkata, “Bab ilmu sebelum ucapan dan perbuatan” Dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla, “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Illah(sesembahan, Rabb) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu…” (Q.S. Muhammad:19). Disini Allah ‘azza wa jalla memulai dengan ilmu sebelum ucapan dan amal.4
[1] Imam Asy-Syafi’I , nama beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’I Al-Hasyimi Al-Quraisy. Beliau dilahirkan di Gaza tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun 204 H. Beliau adalah salah satu dari imam mazhab yang empat, semoga rahmat Allah dilimpahkan kepada mereka semua.
[2] Yang dimaksud beliau rahimahullah adalah, surat ini (surat Al-‘Ashr) cukup bagi manusia untuk mendorong mereka berpegang teguh kepada agama Allah dengan keimanan, amal shalih, dakwah kepada Allah, dan bersabar atas itu semua, bahkan surat ini cukup bagi umat manusia untuk menjelaskan seluruh syari’at Allah yang ada.
Adapun ucapan beliau rahimahullah, “Sekiranya Allah tidak menurunkan hujjah kepada manusia, kecuali surat ini, niscaya telah mencukupi bagi mereka,” karena sekiranya orang yang memliki akal dan mau berfikir, ketika mendengar atau membaca surat ini, pasti akan berusaha menyelamatkan diri mereka dari kerugian. Mereka pasti akan berusaha untuk memiliki empat sifat tersebut, yaitu iman, amal shalih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.
[3] Imam Bukhori, nama beliau adalah Bu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Bukhori. Lahir di Bukhara pada bulan syawal 194 H .Beliau tumbuh sebagai yatim dibawah pengasuhan ibunya. Beliau rahimahullah wafat di Khartnak sebuah kota yang berjarak dua farsakh dari Samarkhand, pada malam idul fitri tahun 259 H.
[4] Imam Al Bukahri rahimahullah menggunakan ayat ini sebagai dalil atas kewajiban untuk memulai dengan ilmu sebelum berbicara dan beramal. Dalil ini menunjukan bahwa manusia wajib mengetahui terlebih dahulu kemudian setelah itu baru beramal, sebab disana terdapat dalil ‘aqil nadzari yang menunjukkan bahwa ilmu itu didahulukan sebelum berbicara dan beramal. Suatu ucapam atau amalan tidak akan benar dan tidak dapat diterima kecuali apabila dilaksanakan sesuai dengan syari’at. Seseorang tidak akan dapat mengetahui apakah amalannya sesuai dengan syari’at melainkan dengan ilmu. Namun, disana terdapat hal-hal yang dapat diketahui oleh manusia melalui fitrahnya, misalnya pengetahuan bahwasannya Allah adalah Illah yang satu. Sebab manusia diciptakan Allah dengan fitrah yang satu ini, sehingga tidak membutuhkan usaha yang besar untuk mempelajarinya. Adapun masalah-masalah yang sifatnya parsial, yaitu perkara-perkara yang lingkupnya sangat luas, maka hal tersebut yang membutuhkan proses pembelajaran, keseriusan dan sungguh-sungguh.