Tafsir Surat Al-Balad
Tafsir Surat Al-Balad
( Negeri )
Surat Makkiyyah
Surat Ke-90 : 20 Ayat
بِسْمِ اللهِ الَرْحَمنِ الَرحِيمِ
Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
AL-BALAD, AYAT 1-10
لَآ اُقْسِمُ بِهٰذَا الْبَلَدِ، وَاَنْتَ حِلٌّۢ بِهٰذَا الْبَلَدِ، وَوَالِدٍ وَّمَا وَلَدَ، لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْ كَبَدٍ، اَيَحْسَبُ اَنْ لَّنْ يَّقْدِرَ عَلَيْهِ اَحَدٌ، يَقُوْلُ اَهْلَكْتُ مَالًا لُّبَدًا، اَيَحْسَبُ اَنْ لَّمْ يَرَهٗٓ اَحَدٌ، اَلَمْ نَجْعَلْ لَّهٗ عَيْنَيْنِ، وَلِسَانًا وَّشَفَتَيْنِ، وَهَدَيْنٰهُ النَّجْدَيْنِ
“Aku bersumpah dengan negeri ini (Mekah) (1) dan engkau (Muhammad), bertempat di negeri (Mekah) ini (2) dan demi (pertalian) bapak dan anaknya (3) Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah (4) Apakah dia (manusia) itu mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang berkuasa atasnya? (5) Dia mengatakan, “Aku telah menghabiskan harta yang banyak.” (6) Apakah dia mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang melihatnya? (7) Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata (8) dan lidah dan sepasang bibir? (9) Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan).” (10)
Allah Subhanallahu Wa Ta’ala Bersumpah Dengan Kehormatan Makkah Dan Lainnya Atas Penciptaan Manusia, Bahwa Mereka Berada Dalam Kesusahan
Ini adalah sumpah Allah Subhanallahu wa ta’ala dengan menyebut kota Makkah, Ummul Qura (induk seluruh negeri) pada saat penghuninya dalam keadaan halal [jika disesuaikan dengan penafsiran Ibnu Katsir terhadap ayat ke-2 surat ini, maka pengertian halal di sini adalah diperbolehkan berperang di sana, yakni ketika penaklukan Makkah] Ini untuk mengingatkan (para penghuninya) di saat mereka dalam keadaan haram [Artinya tidak boleh mengadakan perang disana], bahwa kedudukan Makkah itu agung.
Tentang ayat, {لَآ اُقْسِمُ بِهٰذَا الْبَلَدِۙ} “Aku bersumpah dengan negeri ini (Makkah).” Khashif berkata dari Mujahid, “Yaki, tidak ada yang menyangkal bahwa Aku (Allah Subhanallahu wa ta’ala) bersumpah dengan negeri ini.
Syabib bin Bisyr berkata dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma tentang ayat, “Aku bersumpah dengan negeri ini (Makkah),” yakni Makkah. {وَاَنْتَ حِلٌّۢ بِهٰذَا الْبَلَدِۙ} “Dan engkau (Muhammad), diperbolehkan di negeri (Makkah) ini.” Dia berkata, “Artinya, engkau (wahai Muhammad) diperbolehkan berperang di negeri ini.” Perkataan senada diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Abu Shalih, ‘Athiyyah, adh-Dhahhak, Qatadah, as-Suddi dan Ibnu Zaid.
Al-Hasan al-Bashri berkata, “Allah menghalalkan Makkah kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam hanya untuk beberapa saat di siang hari. Makna ayat yang mereka katakan tersebut sesuai dengan hadits yang disepakati keshahihannya, yaitu sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:
إِنَّ هَذَا البَلَدَ حَرَّمَهُ اللَّهُ يَومَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ والأرْضَ، فَهُو حَرَامٌ بحُرْمَةِ اللَّهِ إلى يَومِ القِيَامَةِ، وإنَّه لَمْ يَحِلَّ القِتَالُ فيه لأحَدٍ قَبْلِي، ولَمْ يَحِلَّ لي إلَّا سَاعَةً مِن نَهَارٍ، وَقَدْ عَادَتْ حُرْمَتُهَا الْيَوْمَ كَحُرْمَتِهَا بِا الأَمسِ، أَلَا فَلْيُبَلِّغِ الشَّا هِدُ الْغَائِبَ
“Sesungguhnya negeri ini (Makkah) diharamkan oleh Allah sejak penciptaan langit dan bumi. Negeri ini tetap haram dengan ketetapan Allah sampai hari Kiamat. Pepohonannya tidak boleh ditebang, dan rumput-rumputnya tidak boleh dicabut. Ia (Makkah) hanya dihalalkan bagiku beberapa saat di siang hari ini. Keharaman negeri ini pada hari ini telah kembali sebagaimana keharamannya kemarin. Ingatlah! Hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir.”
Dalam lafazh lain disebutkan:
فَإِنْ أَحَدٌ تَرَخَّصَ بِقِتَالِ رَسُوْلِ اللهِ فَقُولُوا: إِنَّ اللهَ أَذِنَ لِرَسُوْلِهِ وَ لَم يَأْذَنْلَكُمْ
“Jika seseorang mengatakan halal dengan alasan Rasulullah sendiri berperang di negeri Makkah, maka katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah hanya memberi izin kepada Rasul-Nya saja, dan Dia tidak memberi izin kepada kalian.’”
Selanjutnya firman Allah Shallallahu alaihi wa sallam, {وَوَالِدٍ وَّمَا وَلَدَۙ} “Dan demi (pertalian) bapak dan anaknya.” Mujahid, Abu Shalih, Qatadah, adh-Dhahhak, Sufyan ats-Tsauri, Sa’id bin Jubair, as-Suddi, al-Hasan al-Bashri, Khashif, Syarahbil bin Sa’ad, dan yang lainnya berkata, “Yang dimaksud dengan bapak adalah Adam ‘Alaihi Sallam, dan yang dimaksud dengan anak adalah keturunannya.” Pendapat yang dikemukakan oleh Mujahid dan yang lainnya ini merupakan pendapat yang baik dan kuat. Karena ketika Allah Subhanallahu wa ta’ala bersumpah dengan negeri Makkah sebagai tempat tinggal, maka sesudah itu Dia bersumpah dengan orang yang menetap di sana, yaitu Adam, sebagai bapak seluruh manusia beserta anak keturunannya.
Abu ‘Imran al-Juni berkata, “Orang yang menetap di negeri Makkah adalah Nabi Ibrahim beserta keturunannya.” Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim. Ibnu Jarir memilih bahwa maksud ayat tersebut bersifat umum bagi setiap ayah dan anaknya. Makna ini pun memungkinkan.
Selanjutnya Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, {لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْ كَبَدٍ} “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalaam susah payah.” Tentang firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {فِيْ كَبَدٍ} “Berada dalam kesusahan,” Ibnu Abi Najih, Juraij dan ‘Atha’ dari Ibnu ‘Abbas berkata, “Yakni dia diciptakan dalam kepayahan. Tidakkah engkau memperhatikan bagaimana kelahirannya dan pertumbuhan giginya?”
Mujahid berkata, “Berada dalam susah payah,” yakni dari setetes mani, kemudian menjadi segumpal darah, kemudian menjadi segumpal daging. Manusia (orang tuanya) mengalami kepayahan dalam penciptaannya. Mujahid berkata, “Ayat tersebut seperti firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًا} “Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).” (QS. Al-Ahqaf: 15) Yakni, ibunya menyusuinya dalam keadaan susah payah dan hidupnya juga susah payah, hingga ia menanggung semua itu.
Sa’id bin Jubair menafsirkan ayat, “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah,” yakni kesulitan dalam mencari penghidupan. ‘Ikrimah berkata, “Yakni berada dalam kesulitan dan penderitaan hidup.” Qatadah berkata, “Yakni berada dalam berbagai kesulitan.” Diriwayatkan dari al-Hasan bahwa dia berkata, “Manusia menanggung kesulitan hidup di dunia, dan memikul beban berat urusan akhirat.”
Manusia Diliputi Oleh Allah Dan Nikmat-Nikmat Nya
Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, {اَيَحْسَبُ اَنْ لَّنْ يَّقْدِرَ عَلَيْهِ اَحَدٌ ۘ} “Apakah dia (manusia) itu mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang berkuasa atasnya?” Tentang ayat, “Apakah dia dia (manusia) itu mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang berkuasa atasnya?” Al-Hasan al-Bashri berkata, “Yakni apakah manusia mengira bahwa tidak seorang pun yang dapat mengambil harta bendanya?”
Tentang ayat, “Apakah dia (manusia) itu mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang berkuasa atasnya?” Qatadah berkata, “Yakni apakah manusia mengira bahwa ia tidak akan ditanya tentang harta bendanya, dari mana ia peroleh, dan ke mana ia belanjakan?”
Selanjutnya firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {يَقُوْلُ اَهْلَكْتُ مَالًا لُّبَدًاۗ} “Dia mengatakan, ‘Aku telah menghabiskan harta yang banyak.” Yakni manusia berkata, “Aku membelanjakan harta yang banyak.”
Mujahid, al-Hasan, Qatadah, as-Suddi dan yang lainnya menafsirkan demikian.
Mengenai firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {اَيَحْسَبُ اَنْ لَّمْ يَرَهٗٓ اَحَدٌۗ} “Apakah dia mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang melihatnya?” Mujahid berkata, “Yakni apakah dia mengira bahwa Allah Subhanallahu wa ta’ala tidak melihatnya?” Demikian pula yang dikatakan oleh ulama Salaf lainnya.
Selanjutnya firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {اَلَمْ نَجْعَلْ لَّهٗ عَيْنَيْنِۙ} “Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata?” Yakni dia melihat dengan sepasang mata, { وَلِسَانًا } “Dan lidah,” yakni berbicara dengan lidah, hingga ia bisa mengungkapkan isi hatinya. { وَّشَفَتَيْنِۙ} “Dan sepasang bibir?” Yakni, dia menggunakan dua bibir untuk berbicara, memakan makanan, serta untuk memeperindah paras wajah dan mukutnya.
Kemampuan Membedakan Antara Kebaikan Dan Kejahatan Adalah Anugerah
Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirma, {وَهَدَيْنٰهُ النَّجْدَيْنِۙ} “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan,” yakni jalan kebajikan dan kejahatan. Sufyan ats-Tsauri berkata dari ‘Ashim dari Zirr dari ‘Abdullah yakni Ibnu Mas’ud tentang ayat, “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan).” Dia berkata, “Yakni jalan kebaikan dan kejahatan.” Perkataan senada diriwayatkan dari ‘Ali Radiyallahu ‘anhu, Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma, Mujahid, ‘Ikrimah, Abu Wa’il, Abu Shalih, Muhammad bin Ka’ab, adh-Dhahhak, ‘Atha’ al-Khurasani dan yang lainnya.
Ayat tersebut serupa dengan firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, { اِنَّا خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ نُّطْفَةٍ اَمْشَاجٍۖ نَّبْتَلِيْهِ فَجَعَلْنٰهُ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا اِنَّا هَدَيْنٰهُ السَّبِيْلَ اِمَّا شَاكِرًا وَّاِمَّا كَفُوْرًا} “Sunguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (QS. Al-Insan: 2-3)
AL-BALAD, AYAT 11-20
فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ، وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الْعَقَبَةُ، فَكُّ رَقَبَةٍ، اَوْ اِطْعَامٌ فِيْ يَوْمٍ ذِيْ مَسْغَبَةٍ، يَّتِيْمًا ذَا مَقْرَبَةٍ، اَوْ مِسْكِيْنًا ذَا مَتْرَبَةٍ، ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ، اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْمَيْمَنَةِ، وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِنَا هُمْ اَصْحٰبُ الْمَشْئَمَةِ، عَلَيْهِمْ نَارٌ مُّؤْصَدَةٌ
“Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar? (11) Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu? (12) (yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya) (13) atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan (14) (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat (15) atau orang miskin yang sangat fakir (16) Kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang (17) Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan (18) Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri (19) Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat.” (20)
Anjuran Menempuh Jalan Kebaikan
Ibnu Zaid menafsirkan ayat, {فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ} “Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar,” dia berkata, “Yakni, mengapa dia tidak menempuh jalan keselamatan dan kebaikan?” Kemudian Allah Subhanallahu wa ta’ala menjelaskannya dengan firman-Nya, {وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الْعَقَبَةُ فَكُّ رَقَبَةٍ اَوْ اِطْعَامٌ} “Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu?(Yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya). Atau memberi makan.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Sa’id bin Marjanah bahwa ia mendengar Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَعْطَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً أَعْطَقَ اللهُ بِكُلِّإِربٍ – أَيْ عُضْوٍ – مِنْهَا إِرْبَا مِنْهُ مِنَ النَّارِ حَتَّىٰ أَنَّهُ لَيَعْتِقُ بِالْيَدِ الْيَدَ، وَبِاالرِّجْلِ الرِّجْلَ، وَبِاالفَرْجِ الْفَرْجَ
“Barangsiapa memerdekakan hamba sahaya yang beriman, maka Allah akan membebaskan setiap anggota tubuhnya dari api Neraka dengan setiap anggota tubuh hamba sahaya (yang dimerdekakannya). Sehingga Dia membebaskan tangan dengan tangan, kaki dengan kaki, dan kemaluan dengan kemaluan.”
Lalu ‘Ali bin al-Husain bertanya, “Apakah engkau mendengar hadits dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu? “ Sa’id menjawab, “Ya, betul.” Lalu ‘Ali bin al-Husain berkata kepada seorang budaknya yang paling mahir dan paling baik, “Panggilkan Mutharrif.” Ketika ia berdiri di hadapan ‘Ali, ia berkata, “Pergilah! Sekarang kamu bebas karena Allah semata.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i, dari beberapa jalan periwayatan dari Sa’id bin Marjanah.
Ahmad meriwayatkan dari Abu Ummah dari ‘Amr bin ‘Abasah as-Sulami, dia berkata, “Aku berkata kepadanya, ‘Sampaikanlah kepada kami sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang tidak mengandung kekurangan dan kekeliruan.’ Dia berkata, ‘Aku mendengar beliau bersabda:
مَنْ وُلِدَ لَهُ ثَلَاثَةُ أَوْلَادٍ فِي الْإِسْلَامِ فَمَاتُوْا قَبْلَ أَنْ يَبْلُغُوا الحِنْثَ أدخلَه اللهُ الجنَّةَ بفضلِ رحمتِه إياهم ، ومن شاب شَيْبَةً في سبيلِ اللهِ كانت له نورًا يومَ القيامةِ ومن رمى بسهمٍ في سبيلِ اللهِ بلغ به العدوُّ أصاب أو أخطأ كان له عتقُ رقبةٍ ومن أعتق رقبةً مؤمنةً أعتق اللهُ بكل عضوٍ منه عضوًا منه من النارِ ومن أنفق زوجَينِ في سبيلِ اللهِ فإنَّ للجنَّةِ ثمانيةَ أبوابٍ يُدخِلُه اللهُ من أيِّ بابٍ شَاءَ مِنهَا
“Barangsiapa yang mempunyai tiga anak dalam agama Islam, lalu mereka mati sebelum mencapai akil baligh, maka Allah akan memasukkannya ke Surga disebabkan kasih sayang-Nya kepada mereka. Dan barangsiapa tumbuh uban di jalan Allah, maka uban itu menjadi cahaya baginya pada hari Kiamat nanti. Dan barangsiapa yang melepaskan anak panah di jalan Allah kearah musuh, baik tepat mengenai sasaran atau meleset, maka ia mendapat pahala memerdekakan budak. Dan barangsiapa yang memerdekakan hamba sahaya yang beriman, maka Allah akan membebaskan setiap anggota tubuh hamba sahaya yang dimerdekakan. Dan barangsiapa menginfakkan sepasang harta [As-Sindi menjelaskan maksud dari ‘Sepasang garta’ di sini, dia berkata, “Yakni dua dirham atau dua dinar atau dua mud makanan.” Ada kemungkinan yang dimaksud dengannya adalah diulangnya infak berkali-kali, yakni bagi siapa yang terbiasa beebuat demikian. Lihat Musnad Imam Ahmad hadits nomor 7633 tahqiq Syaikh Syu’aib al-Arna-uth dan kawan-kawan, cetakan Mu-assasah ar-Risalah, Beirut] di jalan Allah, maka Surga memiliki delapan pintu. Allah akan memasukkannya dari pintu mana saja yang Dia kehendaki.”
Hadits ini diriwayatkan dari beberapa jalan periwayatan. Dan sanad-sanad tersebut baik lagi kuat. Hanya milik Alah segala puji
Selanjutnya firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {اَوْ اِطْعَامٌ فِيْ يَوْمٍ ذِيْ مَسْغَبَةٍ} “Atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan.” Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma menafsirkannya, “Yakni hari kelaparan.” ‘Ikrimah, Mujahid, adh-Dhahhak, Qatadah, dan yang lainnya juga menafsirkan demikian. Lafazh السغب adalah الجوع (lapar)
Selanjutnya firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, { يَّتِيْمًا} “Kepada anak yatim,” yakni memberi makan kepada anak yatim pada hari seperti itu. {ذَا مَقْرَبَةٍ} “Yang ada hubungan kerabat,” Yakni anak yatim yang memiliki hubungan kerabat dengannya. Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma, ‘Ikrimah, al-Hasan, adh-Dhahhak, dan as-Suddi menafsirkannya demikian. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Salman bin Amir, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
الصَّدَقَةُ عَلَى المِسْكِينِ صَدَقَةٌ و الصَّدَقَةُ عَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
“Bershadaqah kepada orang miskin mendapat satu pahala shadaqah. Dan bershadaqah kepada sanak famili mendapat dua pahala, yaitu pahala shadaqah dan pahala menyambung tali silaturahim.”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa’i. Sanad hadits tersebut shahih.
Selanjutnya firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {اَوْ مِسْكِيْنًا ذَا مَتْرَبَةٍۗ} “Atau orang miskin yang sangat fakir,” yakni orang fakir yang tubuhnya kumal dipenuhi dengan debu. Orang ini dalam bahasa Arab disebut juga dengan الدقعاء (orang yang kelaparan, miskin dan hina). Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma, “Yang sangat fakir itu ialah orang yang terbuang di jalan (gelandangan), tidak memiliki rumah, dan tidak ada sesuatu pun yang melindunginya dari debu.
Selanjutnya firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا} “Kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman.” Yakni, disamping memiliki sifat-sifat yang baik dan suci tersebut, ia pun beriman dengan sepenuh hati, dan mengharap pahala di sisi Allah Subhanallahu wa ta’ala atas sifat-sifat tersebut. Ini sebagaimana firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {وَمَنْ اَرَادَ الْاٰخِرَةَ وَسَعٰى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَّشْكُوْرًا} “Dan barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik.” (QS. Al-Israa’: 19) Dan seperti firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {مَنْ عَمِلَ سَيِّئَةً فَلَا يُجْزَىٰٓ إِلَّا مِثْلَهَا ۖ وَمَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ} “Dan barangsiapa berpesan mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan ia dalam keadaan beriman…” (QS. Mu’-min: 40)
Selanjutnya firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ} “Dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” Yakni, dia termasuk orang-orang beriman yang beramal shalih, saling menasehati dengan kesabaran atas gangguan manusia, dan menebarkan kasih sayang kepada mereka.
Ini seperti yang terkandung dalam hadits:
الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Orang-orang penyayang akan dikasihi oleh Yang Maha Pemngasih. Sayangilah makhluk di muka bumi, maka Allah yang di langit akan menyayangi kalian.”
Dalam hadits lain disebutkan:
لَا يَرحَمُ اللهُ مَنْ لَا يَرْحَمِ النَّاسَ
“Tidaklah dikasihi oleh Allah orang yang tidak mengasihi manusia.”
Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radiyallahu ‘anhuma:
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرِنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang tidak menyayangi anak-anak muda kami, dan tidak mengenal hak kaum tua kami, maka ia bukanlah termasuk golongan kami.”
Selanjutnya firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْمَيْمَنَةِ} “Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu adalah golongan kanan.” Yakni, orang-orang yang memiliki sifat tadi termasuk dari golongan kanan.
Golongan Kiri Dan Balasan Mereka
Kemudian Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, {وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاٰيٰتِنَا هُمْ اَصْحٰبُ الْمَشْئَمَةِ} “Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri.” {عَلَيْهِمْ نَارٌ مُّؤْصَدَةٌ} “Mereka berada dalam Neraka yang ditutup rapat.” Yakni, Neraka itu mengungkung mereka, sehingga tidak ada cela sedikit pun untuk lari, dan mereka tidak menemukan jalan keluar darinya.
Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu, Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi, ‘Athiyyah al-‘Aufi, al-Hasan, Qatadah, dan as-Suddi menafsirkan ayat, {مُؤْصَدَةٌ} “Yang ditutup rapat.” Yakni yang disegel rapat-rapat. Ibnu ‘Abbas berkata, “Yakni pintu-pintunya tertutup rapat.” Adh-Dhahhak menafsirkan ayat, “Yang ditutup rapat.” Artinya dikepung di tempat yang tidak berpintu. Qatadah menafsirkan ayat, “Yang ditutup rapat.” Yakni disegel rapat-rapat hingga selamanya tidak ada sinar cahaya, juga tidak ada celah sebagai jalan keluar darinya.
Demikianlah akhir tafsir surat al-Balad. Hanya milik Allah Subhanallahu wa ta’ala lah segala puji dan anugerah.
Disalin ulang dari: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 9, Cetakan ke-sembilan Muharram 1435 H – November 2013 M, Pustaka Ibnu Umar Jakarta