Tafsir Surat Al- Muzzammil {Bagian 1}
Tafsir Surat Al- Muzzammil
( Orang yang Berselimut )
Surat Makkiyyah
Surat Ke-73 : 20 Ayat
بِسْمِ اللهِ الَرْحَمنِ الَرحِيمِ
Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Sebab Turun Surat Al-Muzzammil Dan Al-Muddatstsir
Al-Hafizh Abu Bakar Ahmad bin ‘Amr bin ‘Abdil Khaliq al-Bazzar meriwayatkan dari Jabir, ia berkata, “Kaum Quraisy berkumpul di Darun Nadwah’. Mereka berkata, ‘Berilah laki-laki itu (Muhammad) julukan yang dibenci orang banyak.’ Ada yang menjawab, ‘Dukun.’ Mereka berkata, ‘Dia bukan seorang dukun.’ Yang lain menjawab, “Orang gila.’ Mereka berkata, Dia tidak gila.” Yang lain menjawab, Penyihir.’ Mereka berkata, ‘Dia bukan penyihir.’ Akhir- nya kaum musyrik bubar.
Kabar itu pun sampai ke telinga Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, maka beliau pun menutupi tubuhnya dengan pakaian dan selimut. Jibril pun mendatangi beliau seraya berkata, {يٰٓاَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ} “Hai orang yang berselimut” (QS. Al-Muzzammil: 1) {يٰٓاَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ}”Hai orang yang berkemul.” (QS. Al- Muddatstsir: 1)” Kemudian al-Bazzar berkata, “Sekelompok ulama meriwayatkannya dari Ma’la bin ‘Abdirrahman, dan mereka menerima haditsnya, akan tetapi dia meriwayatkan hadits-hadits secara menyendiri, tidak mempunyai mutaba’ah (hadits-hadits senada, yang diriwayatkan oleh perawi yang lain).”
AL- MUZAMMIL, AYAT 1-9
يٰٓاَيُّهَا الْمُزَّمِّلُۙ، قُمِ الَّيْلَ اِلَّا قَلِيْلًا، نِّصْفَهٗٓ اَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيْلًا، اَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلًا، اِنَّا سَنُلْقِيْ عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا، اِنَّ نَاشِئَةَ الَّيْلِ هِيَ اَشَدُّ وَطْـًٔا وَّاَقْوَمُ قِيْلًا، اِنَّ لَكَ فِى النَّهَارِ سَبْحًا طَوِيْلًا، وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ اِلَيْهِ تَبْتِيْلًا، رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيْلًا
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.
Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dia-lah) Tuhan masyriq dan maghrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung.” (9)
Perintah Untuk Qiyaamul Lail
Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk meninggalkan selimut dan bangkit untuk bertahajjud kepada Rabb-nya, sebagaimana firman-Nya, {تَتَجَافٰى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَّطَمَعًاۖ وَّمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ} “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. As-Sajdah: 16)
Demikianlah, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertahajjud di malam hari untuk menjalankan perintah Rabb-nya. Qiyaamul lail merupakan kewajiban atas beliau saja, sebagaimana firman-Nya, {وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهٖ نَافِلَةً لَّكَۖ عَسٰٓى اَنْ يَّبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُوْدًا} “Dan pada sebagian malam hari, shalat tahajudlah kamu (Muhammad) sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Israa’: 79) Di surat ini Allah menjelaskan kadar qiyamul lail yang sebaiknya beliau lakukan, maka Allah berfirman, {يٰٓاَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ الَّيْلَ اِلَّا قَلِيْلًا} “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya).”
Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma, adh-Dhahhak dan as-Suddi berkata, “Firman-Nya, {يٰٓاَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ} Hai orang yang berselimut (Muhammad),’ yakni wahai orang yang tidur.” Qatadah berkata, “Yakni yang memakai selimut, selain pakaiannya.”
Firman-Nya, {نِّصْفَهٗٓ} “(Yaitu) seperduanya,” adalah badal (pengganti) dari al-lail (malam)”. {اَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيْلًا اَوْ زِدْ عَلَيْهِ} “Atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu,” yakni Kami memerintahkanmu untuk qiyamul lail setengah malam, baik dengan menambahkannya atau mengurangkannya sedikit. Itu tidak masalah atasmu dalam hal ini.
Cara Membaca Al-Qur-An
Firman-Nya, {وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلًا} “Dan bacalah al-Qur-an itu dengan perlahan-lahan,” yakni bacalah al-Qur-an dengan perlahan-lahan karena akan membantu dalam memahami dan merenungkannya. Demikianlah cara Rasulullah membaca al-Qur-an.
‘Aisyah berkata, “Beliau pernah membaca sebuah surat secara perlahan-lahan, sehingga seolah-olah surat itu lebih panjang daripada surat yang lebih panjang darinya.” Dalam Shahiih al-Bukhari disebutkan bahwa Anas ditanya tentang cara membaca RasulullahShallallahu alaihi wa sallam, maka dia berkata, “Bacaannya (memperhatikan) panjang (pendeknya).” Ketika beliau membaca {بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ} maka beliau memanjangkan bismillaah (pada lam lafazh Allah), mempanjangkan ar- Rahmaan (pada huruf mim-nya) dan mempanjangkan ar-Rabiim (pada huruf baa-nya).
Ibnu Juraij berkata dari Ibnu Abi Mulaikah dari Ummu Salamah bahwa dia ditanya tentang bacaan Rasulullah, maka dia berkata, ‘Beliau membacanya ayat per ayat, seperti: bismillaahirrahmaanirrahiim [lalu beliau berhenti] Al-hamdu lillaahi Rabbi al-‘aalamiin [lalu beliau berhenti] Ar-Rahmaani ar-Rahiim [lalu beliau berhenti] Maaliki yaumi al-diin [lalu beliau berhenti]. HR. Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi.
Pada permulaan tafsir ini penulis telah memaparkan hadits- hadits tentang anjuran membaca al-Qur-an secara perlahan-lahan dan dengan suara yang bagus, sebagaimana yang disebutkan oleh hadits:
زَيِّنُوا القُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
“Hiasilah al-Qur-an dengan suara-suara kalian.”
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan al-Qur-an.”
لَقَدْ أُوْتِيَ هَـٰذَا مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيْرِ آلِ دَاوُدَ
“Sungguh orang ini telah dikaruniai pita suara bagus seperti Dawud.”
Yang beliau maksud dengan orang ini adalah Abu Musa. Abu Musa berkata, “Seandainya saya tahu bahwa Anda mendengarkan bacaanku, maka saya pasti akan membaguskannya sebagus-bagusnya.”
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Janganlah kalian membacanya (al-Qur-an) secara mengambang'” seperti kalian menebar pasir. Jangan pula kalian membacanya dengan cepat seperti membaca sya’ir. Berhentilah pada keajaiban-keajaibannya”. Gerakkanlah hati kalian dengannya, dan hendaknya salah seorang dari kalian tidak hanya mengejar akhir surat.” HR. Al-Baghawi.”
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Wa-il, ia berkata, “Seorang lelaki mendatangi Ibnu Mas’ud dan berkata, ‘Malam ini saya membaca surat-surat al-mufashshal (yang pendek-pendek) dalam satu raka’at.’ Ibnu Mas’ud menanggapi, ‘Itu adalah bacaan cepat seperti bacaan sya’ir. Saya mengetahui surat-surat sepadan yang mana Rasulullah menyandingkan di antaranya.’ Kemudian dia me- nyebutkan dua surat dalam satu raka’at dari dua puluh surat-surat al-mufashshal.”
Keagungan Al-Qur-An
Firman-Nya, {اِنَّا سَنُلْقِيْ عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا} “Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat,” al-Hasan dan Qatadah berkata, “Yakni yang berat untuk diamalkan.” Ada yang berkata, yakni berat saat diturunkan karena keagungannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Zaid bin Tsabit sebagai berikut: “Suatu ketika Rasulullah menerima wahyu (al-Qur-an), sedang posisi paha beliau di atas pahaku. Maka hampir saja pahanya mematahkan pahaku.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata, “Saya bertanya kepada Nabi, ‘Wahai Rasulullah, bagaimanakah Anda merasakan (turunnya) wahyu?’ Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjawab:
اَسْمَعُ صَلَاصِلَ ثُمَّ أَسْكُتُ عِنْدَ ذَلِكَ، فَمَا مِنْ مَرَّةٍ يُوْحَىٰ إِلَيَّ اِلَّا ظَنَنْتُ أَنَّ نَفْسِيْ تُقْبَضُ
“Saya mendengar gemerincing (lonceng), kemudian pada saat itu saya diam. Tidak ada satu kesempatan di mana aku menerima wahyu, kecuali aku mengira bahwa nyawaku akan dicabut.”
Hanya diriwayatkan secara oleh Ahmad.
Pada permulaan Shahiih al-Bukhari, disebutkan riwayat dari ‘Aisyah , bahwa al-Harits bin Hisyam bertanya kepada Rasulullah, “Bagaimanakah wahyu mendatangimu?” Beliau bersabda:
أَحْيانًا يَأْتِينِي مِثْلَ صَلْصَلَةِ الجَرَسِ، وَهُوَ أشَدُّهُ عَلَيَّ، فيُفْصَمُ عَنِّي وقدْ وعَيْتُ عَنْه مَا قَالَ، وأَحْيانًا يَتَمَثَّلُ لِيَ المَلَكُ رَجُلًا فيُكَلِّمُنِي فأعِي ما يقولُ
“Terkadang datang seperti gemerincing lonceng. Ini adalah yang paling berat atasku, lalu wahyu itu terputus dariku sementara aku telah mengerti apa yang dikatakannya. Terkadang Malaikat berubah wujud menjadi manusia yang bicara kepadaku dan saya mendengarkan perkataannya.”
‘Aisyah berkata, “Saya pernah melihat beliau (ketika) menerima wahyu di hari yang sangat dingin. Maka wahyu itu terputus (selesai) darinya sementara keningnya (masih) mengucurkan keringat.”” Ini adalah lafazh al-Bukhari.
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Aisyah , ia berkata, “Apabila Rasulullah menerima wahyu ketika sedang di atas unta, maka unta itu akan menjulurkan lehernya ke tanah untuk menderum.”
Menurut Ibnu Jarir, [firman Allah Shallallahu alaihi wa sallam, { اِنَّا سَنُلْقِيْ عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا} “Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat,”] bahwa al-Qur-an itu berat dari dua segi sekaligus, sebagaimana pendapat ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, yakni berat di dunia, dan berat dalam timbangannya di hari Kiamat.
Kemuliaan Qiyaamul Lail
Firman-Nya, { اِنَّ نَاشِئَةَ الَّيْلِ هِيَ اَشَدُّ وَطْـًٔا وَّاَقْوَمُ قِيْلًا} “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan,” Umar bin al-Khaththab Radiyallahu ‘anhu , Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma dan Ibnuz Zubair Radiyallahu ‘anhuma berkata, “Seluruh malam itu naasyi-ah (untuk bangun).” Demikian pula pendapat Mujahid dan yang lainnya.
Dikatakan bahwa arti nasya-a adalah bangun malam. Dalam sebuah riwayat dari Mujahid, “Nasya-a artinya bangun setelah ‘Isya’. Demikian pula pendapat Abu Mijlaz, Qatadah, Salim, Abu Hazim dan Muhammad bin al-Munkadir.”
Yang dimaksud di sini adalah bahwa “Naasyi-atul lail” adalah saat-saat malam dan waktu-waktunya. Jadi setiap saat dari malam dinamakan naasyi-ah, yang maknanya waktu, saat atau kesempatan.
Intinya adalah bahwa Qiyamul lail lebih menguatkan keselarasan antara hati dengan lisan dan lebih memberi konsentrasi dalam tilawah (membaca) al-Qur-an. Oleh karena itu Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, { هِيَ اَشَدُّ وَطْـًٔا وَّاَقْوَمُ قِيْلًا} “Adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan di uvaktu itu lebih berkesan,”yakni lebih memfokuskan pikiran dalam membaca dan memahami bacaan daripada shalat di siang hari. Hal ini karena di siang hari adalah saatnya beraktivitas dan bekerja, juga berbagai macam suara akan terdengar, sehingga mengurangi konsentrasi.
Al-Hafizh Abu Ya’la al-Mushili berkata, “Ibrahim bin Sa’id al- Jauhari menyampaikan kepada kami, Abu Usamah dari al-A’masy bahwa Anas bin Malik membaca ayat ini dengan bacaan, { اِنَّ نَاشِئَةَ الَّيْلِ هِيَ اَشَدُّ وَطْـًٔا وَّاَصْوَبُ قِيْلًا} ‘Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan, (dengan mengganti kata اَقْوَمُ dengan اَصْوَبُ, maka seorang lelaki berkata kepadanya, Kami membacanya اَقْوَمُ. Dia menjawab, “Sesungguhnya kataأَهْيَأ , اَقْوَمُ, اَصْوَبُ dan yang sepertinya adalah satu makna.'”
Oleh karena itu Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, { اِنَّ لَكَ فِى النَّهَارِ سَبْحًا طَوِيْلًا} “Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak), “Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma, Ikrimah dan ‘Atha’ bin Abi Muslim berkata, “(Yakni) waktu luang dan tidur.” Abul ‘Aliyah, Mujahid, Abu Malik, adh-Dhahhak, al-Hasan, Qatadah, ar-Rabi’ bin Anas dan Sufyan ats-Tsauri berkata, “(Yakni) waktu luang yang panjang.” Qa- tadah berkata, “(Yakni) waktu luang, kesempatan dan aktivitas.”
‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata Nya, “Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak), “untuk keperluanmu, jadi luangkanlah malam hari untuk agamamu. Dia berkata, “Hal ini berlaku ketika shalat malam menjadi sebuah kewajiban. Kemudian Allah memberi nikmat ke- pada hamba-hamba-Nya dengan meringankan hukumnya, yakni tidak mewajibkannya.” Lalu ia membaca firman-Nya, { قُمِ الَّيْلَ اِلَّا قَلِيْلًا} ‘Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya),’ hingga akhir ayat. Kemudian dia membaca { اِنَّ لَكَ فِى النَّهَارِ سَبْحًا طَوِيْلًا} ‘Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak)”.” Kemudian dia membaca ayat, { اِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ اَنَّكَ تَقُوْمُ اَدْنٰى مِنْ ثُلُثَيِ الَّيْلِ}, “Sesungguhnya Rabb-mu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam.” Sampai kepada firman-Nya, { فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ} “Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur-an.” (QS. Al-Muzzammil: 20)
Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, { وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهٖ نَافِلَةً لَّكَۖ عَسٰٓى اَنْ يَّبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُوْدًا} “Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Israa’: 79)
Dalil tentang qiyaamul lail dalam hadits di antaranya diriwayat- kan oleh Ahmad dalam Musnad-nya, dari Sa’id bin Hisyam. Ia mengatakan bahwa dirinya menceraikan isterinya, kemudian pergi ke Madinah untuk menjual tanahnya yang ada di sana. Hasilnya akan dia belikan persenjataan dan perlengkapan perang, untuk kemudian akan digunakan dalam berjihad melawan Romawi sampai mati.
Di perjalanan, ia (Sa’id bin Hisyam) menjumpai sekelompok orang dari kaumnya dan mereka mengatakan bahwa ada enam orang dari kaumnya yang pernah menginginkan hal itu di zaman Rasulullah. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada mereka:
أَلَيْسَ لَكُمْ فِيَّ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Bukankah pada diriku terdapat suri teladan yang baik untuk kalian?”
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pun melarang mereka melakukannya.
[Mendengar hal itu], maka Sa’id bin Hisyam menjadikan mereka sebagai saksi bahwa dia merujuk kembali isterinya.
(Salah seorang perawi berkata:) Kemudian dia (Sa’id bin Hi. syam) kembali kepada kami dan mengabarkan bahwa dirinya telah mendatangi Ibnu ‘Abbas untuk bertanya tentang witir. Ibnu ‘Abbas berkata, “Maukah kamu saya kabarkan orang yang paling tahu ten- tang witir Rasulullah?” Sa’id bin Hisyam berkata, “Ya.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Datangilah ‘Aisyah dan tanyakan hal itu kepadanya kemudian kembalilah kepadaku untuk menyampaikan jawabannya.”
Sa’id bin Hisyam berkata, “Saya pun mendatangi Hakim bin Aflah. Saya memintanya untuk mengantarku menemui ‘Aisyah. Hakim berkata, Saya tidak akan mendekatinya. Sesungguhnya saya telah melarangnya untuk membicarakan sesuatu tentang kedua golongan ini [pendukung ‘Ali dan pendukung Mu’awiyah], tetapi dia menolak. Ia tetap melakukannya.
[Sa’id bin Hisyam berkata], “Saya pun bersumpah atasnya, maka dia mau mengantarku menghadap ‘Aisyah.”
‘Aisyah berkata, “Kamu adalah Hakim.”
‘Aisyah ternyata mengenalnya. Hakim menjawab, “Ya.” “Aisyah berkata, “Siapakah yang bersamamu ini?” Dia menjawab, “Sa’id bin Hisyam.””Aisyah berkata, “Siapakah Hisyam?’ Dia men- jawab, ‘Anak ‘Amir. “Aisyah berdo’a, Semoga Allah merahmatinya, sebaik-baik laki-laki adalah ‘Amir.
Saya (Sa’id bin Hisyam) berkata, Wahai Ummul Mukminin, kabarkanlah kepadaku tentang akhlak Rasulullah. “Aisyah berkata, “Bukankah kamu membaca al-Qur-an?’ Saya menjawab, “Tentu.” “Aisyah berkata, ‘Sesungguhnya akhlak Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah al-Qur-an.
Ketika saya hendak bangkit, saya teringat tentang qiyaamul lail Rasulullah, saya pun berkata, “Wahai Ummul Mukminin, kabarkanlah kepadaku tentang qiyamul lail Rasulullah.’ Aisyah berkata, “Bukankah kamu membaca surat al-Muzzammil?’ Saya menjawab, “Tentu.’ Aisyah berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah mewajibkan qiyamul lail di awal surat ini, maka Rasulullah beserta para Sahabatnya melaksanakannya selama setahun hingga telapak kaki mereka bengkak. Allah menahan ayat terakhirnya di langit selama 12 bulan, kemudian Dia menurunkan keringanan di akhir surat ini sehingga qiyamul lail menjadi shalat Sunnah setelah sebelumnya wajib.
Ketika ingin bangkit saya teringat shalat Witir Rasulullah, maka saya pun berkata, ‘Wahai Ummul Mukminin, kabarkan- lah kepadaku tentang shalat Witir Rasulullah.’ Aisyah berkata, ‘Dahulu kami menyiapkan siwak dan (air) wudhu’ beliau, lalu Allah membangunkan beliau di waktu malam yang Dia kehendaki. Beliau bersiwak, berwudhu’ kemudian shalat delapan raka’at dan hanya duduk pada raka’at kedelapan. Beliau duduk berdzikir dan berdo’a kepada Rabb-nya, kemudian tanpa salam beliau bangkit untuk melakukan raka’at yang kesembilan. Kemudian beliau duduk berdzikir dan berdo’a kepada Allah Subhanallahu wa ta’ala, kemudian beliau salam dengan suara yang kami dengar. Kemudian setelah salam beliau shalat dua rakaat sambil duduk. Itulah sebelas raka’at wahai anakku. Ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah lanjut usia dan mulai terlihat gemuk, beliau shalat Witir tujuh raka’at. Kemudian setelah salam beliau shalat dua raka’at sambil duduk. Itulah sembilan raka’at wahai anakku. Apabila Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaksanakan shalat maka beliau konsisten melakukannya. Apabila shalat malamnya terhalang oleh tidur atau rasa sakit atau penyakit, maka beliau (meng- gantinya dengan) shalat dua belas raka’at di siang hari. Saya tidak mengetahui bahwa Nabiyullah Shallallahu alaihi wa sallam membaca seluruh al-Qur-an dalam satu malam. Dan (saya pun tidak mengetahui bahwa) beliau puasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan.”
[Said bin Hisyam berkata], “Saya pun mendatangi Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma dan mengabarkan ucapan ‘Aisyah kepadanya, maka dia berkata, ‘Dia benar. Seandainya saya bisa menghadapnya, maka saya akan langsung berbicara kepadanya.” Demikianlah diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara keseluruhan dan Muslim meriwayatkan yang senada dengannya di kitab Shahiih-nya.”
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Abdirrahman, ia berkata. “Ketika ayat ‘Hai orang yang berselimut’ turun, mereka melaksa- nakannya selama setahun hingga kaki dan betis mereka bengkak. Oleh karena itu lalu turun (ayat yang meringankannya) yaitu, ‘Ka- rena itu bacalah apa yang mudah dari al-Qur-an.’ Maka orang-orang pun merasa lega.” Demikian pula pendapat al-Hasan al-Bashri dan as-Suddi.
Tentang firman-Nya, ‘Bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), fyaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, ” ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma berkata, “Maka hal itu menyulitkan orang-orang mukmin. Kemudian Allah meringankannya dan menyayangi mereka. Maka setelahnya Dia menurunkan ayat, { عَلِمَ اَنْ سَيَكُوْنُ مِنْكُمْ مَّرْضٰىۙ وَاٰخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِى الْاَرْضِ} “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah. “Sampai kepada firman-Nya, { فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ} ‘Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur-an.’ Allah memberikan kelapangan -bagi-Nya segala puji- dan tidak mempersempit.”
Firman-Nya, { وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ اِلَيْهِ تَبْتِيْلًا} “Sebutlah nama Rabb- mu, dan beribadablah kepada-Nya dengan penuh ketekunan,” yakni perbanyaklah dzikir kepada-Nya, bergantunglah kepada-Nya dan berkonsentrasilah dalam beribadah kepada-Nya setelah kamu menyelesaikan kesibukanmu dan melaksanakan urusan dunia yang kamu butuhkan.
Ini sebagaimana firman-Nya, { فَاِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ} ‘Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh- sungguh (urusan) yang lain,” (QS. Asy-Syarh: 7), yakni jika kamu telah selesai dari urusanmu maka konsentrasilah dalam menaati-Nya dan beribadah kepada-Nya agar kamu menunaikannya dengan tenang. Kurang lebih demikianlah pendapat Ibnu Zaid.
Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Abu Shalih, ‘Athiyyah, adh-Dhahhak dan as-Suddi berkata tentang firman-Nya, Dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan,’ yakni ikhlaskanlah ibadah kepada-Nya.” Al-Hasan berkata, “(Yakni) bersungguh-sungguhlah dan kerahkan tenagamu.”
Ibnu Jarir berkata, “Seorang ‘abid (ahli ibadah) disebut dengan mutabattil, termasuk dalam hal ini adalah hadits yang diriwayat- kan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang tabattul yang berarti semata-mata hanya beribadah dan tidak menikah.”
Firman-Nya, { رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيْلًا} “(Dia-lah) Rabb masyrik dan maghrib, tidak ada llah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung,”yakni Dia-lah Pemilik dan Pengatur Timur dan Barat. Tidak ada Ilah yang haq selain-Nya. Sebagaimana kamu mengesakannya dalam beribadah, maka bertawakkallah hanya kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam ayat yang lain, { فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ} “Maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya,” (QS. Hud: 123) dan sebagaimana firman-Nya, { اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ} “Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami memobon pertolongan.” (QS. Al-Faatihah: 5) Masih banyak ayat-ayat lain yang berisi perintah mengesakan Allah dalam beribadah, menaati-Nya dan mengkhusu’- kan tawakal hanya kepada-Nya.
Disalin ulang dari: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 9, Cetakan ke-sembilan Muharram 1435 H – November 2013 M, Pustaka Ibnu Umar Jakarta