Tazkiyatun NufusTematik

Muhasabah

Diantara manusia yang memilih untuk menyibukkan diri dengan urusan dunianya tanpa memikirkan apa yang akan menjadi bekalnya di akhirat. Ada pula yang beribadah sebagaimana apa yang Allah perintahkan, namun ibadahnya hanyalah sebagai rutinitas. Mereka shalat lima waktu setiap harinya, berpuasa dan mengeluarkan zakat setiap tahunnya akan tetapi semua itu tidak berdampak pada akhlak dan pribadinya, maksiat pun terkadang masih dilakukan. Motivasi untuk memperbaiki amalan-amalan yang ada tak kunjung hadir, penyebabnya satu karena melupakan muhasabah diri sehingga orang-orang seperti ini sudah merasa cukup dengan amalan yang telah dilakukan. Di sinilah pentingya muhasabah, ada beberapa hal lainnya yang menjadi alasan kenapa muhasabah perlu dilakukan, diantaranya:

  1. Muhasabah merupakan perintah dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18).

 

  1. Muhasabah merupakan sifat hamba Allah yang bertaqwa

Seseorang yang bertaqwa adalah mereka yang membawa sebaik-baik bekal, dan dalam perjalanan mencari bekal tersebut tak jarang seseorang merasa lelah dan bosan yang mengakibatkannya tak mawas diri sehingga tergelincir dan terjatuh dalam futur (lemah semangat untuk melakukan amal shalih). Muhasabah akan membantu seseorang untuk menghadapi berbagai rintangan yang ia temukan dalam pencariannya akan bekal tersebut. Maimun bin Mahran rahimahullah berkata:

 

لَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يَكُوْنَ لِنَفْسِهِ أَشَدُّ مُحَاسَبَةً مِنَ الشَّرِيْكِ الشَّحِيْحِ لِشَرِيْكِهِ

“Tidaklah seorang hamba menjadi bertaqwa sampai dia melakukan muhasabah atas dirinya lebih keras daripada seorang teman kerja yang pelit yang membuat perhitungan dengan temannya”.

 

  1. Buah manis dari muhasabah adalah taubat

Ketika seseorang melakukan muhasabah maka akan tampak jelas di hadapannya atas dosa-dosa yang dilakukan. Bagaimana mungkin seorang anak cucu Adam dapat melihat dosa dan aibnya tanpa melakukan muhasabah?!

Banyak di antara manusia yang melakukan kemaksiatan, namun Allah masih memberikan nikmat kepadanya, dia tidak menyadari bahwa ini adalah bentuk istidraj (penangguhan menuju kebinasaan) dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

 

وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ

Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangaur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-A’raf: 182).

 

Orang-orang yang memahami ayat Allah ini, akan takut atas peringatan Allah tersebut dan dia akan senantiasa mengintrospeksi dirinya, jangan sampai nikmat yang Allah berikan kepadanya merupakan bentuk istidraj. Muhasabah yang mengantarkan kepada pertaubatan di awali dengan memasuki gerbang penyesalan. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallambersabda:

 

النَّدَامَةُ تَوْبَةٌ

Menyesal adalah taubat.” (HR.Ibnu Majah no. 4252, Ahmad no.3568, 4012, 4414 dan 4016. Hadist ini dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiih al-Jaami’ ash-Shaghir no.6678)

 

Jika tergelincir dalam kesalahan, maka dikoreksi dan segera bertaubat lalu berpaling dari segala perantara yang dapat mengantarkan pada maksiat. Kalau kita melihat ada kekurangan dalam amalan yang wajib, maka berusaha keras untuk memenuhinya dengan sempurna dan meminta tolong pada Allah untuk dimudahkan dalam ibadah.

 

Apa Manfaat Muhasabah?

 

Pertama: Meringankan hisab pada hari kiamat.

‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, itu akan memudahkan hisab kalian kelak. Timbanglah amal kalian sebelum ditimbang kelak. Ingatlah keadaan yang genting pada hari kiamat,

يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ

Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Rabbmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).” (QS. Al-Haqqah: 18).” (Az-Zuhud li Ibnil Mubarak, hlm. 306. Lihat A’mal Al-Qulub, hlm. 371.)

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan, “Mukmin itu yang rajin menghisab dirinya dan ia mengetahui bahwa ia akan berada di hadapan Allah kelak. Sedangkan orang munafik adalah orang yang lalai terhadap dirinya sendiri (enggan mengoreksi diri, pen.). Semoga Allah merahmati seorang hamba yang terus mengoreksi dirinya sebelum datang malaikat maut menjemputnya.” (Tarikh Baghdad, 4:148. Lihat A’mal Al-Qulub, hlm. 372.)

Kedua: Terus bisa berada dalam petunjuk

Sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Baidhawi rahimahullah dalam tafsirnya bahwa seseorang bisa terus berada dalam petunjuk jika rajin mengoreksi amalan-amalan yang telah ia lakukan. (Tafsir Al-Baidhawi, 1:131-132. Lihat A’mal Al-Qulub, hlm. 372.)

Ketiga: Mengobati hati yang sakit

Karena hati yang sakit tidaklah mungkin hilang dan sembuh melainkan dengan muhasabah diri.

Keempat: Selalu menganggap diri penuh kekurangan dan tidak tertipu dengan amal yang telah dilakukan.

Kelima: Membuat diri tidak takabbur (sombong)

Cobalah lihat apa yang dicontohkan oleh Muhammad bin Wasi’ rahimahullah ketika ia berkata,

لَوْ كَانَ لِلذُّنُوْبِ رِيْحٌ مَا قَدَرَ أَحَدٌ أَنْ يَجْلِسَ إِلَيَّ

“Andaikan dosa itu memiliki bau, tentu tidak ada dari seorang pun yang ingin duduk dekat-dekat denganku.” (Muhasabah An-Nafs, hlm. 37. Lihat A’mal Al-Qulub, hlm. 373.)

Keenam: Seseorang akan memanfaatkan waktu dengan baik

Dalam Tabyin Kadzbi Al-Muftari (hlm. 263), Ibnu ‘Asakir pernah menceritakan tentang Al-Faqih Salim bin Ayyub Ar-Razi rahimahullah bahwa ia terbiasa mengoreksi dirinya dalam setiap nafasnya. Ia tidak pernah membiarkan waktu tanpa faedah. Kalau kita menemuinya pasti waktu Salim Ar-Razi diisi dengan menyalin, belajar atau membaca.

 

Maka siapa pun hendaklah muhasabah diri, baik orang yang bodoh maupun orang yang berilmu karena manfaat yang besar seperti yang telah disebut di atas. Sebelum beramal hendaklah kita bermuhasabah, begitu pula setelah kita beramal, kita bermuhasabah pula. Jangan sampai amal kita menjadi,

عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ (3) تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً (4)

Bekerja keras lagi kepayahan, malah memasuki api yang sangat panas (neraka).” (QS. Al-Ghasyiyah: 3-4). Kata Ibnu Katsir rahimahullah, seseorang menyangka telah beramal banyak dan merasakan kepayahan, malah pada hari kiamat ia masuk neraka yang amat panas. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:549)

 

Bagaimana Cara Muhasabah?

 

Pertama: Mengoreksi diri dalam hal wajib, apakah punya kekurangan ataukah tidak. Karena melaksanakan kewajiban itu hal pokok dalam agama ini dibandingkan dengan meninggalkan yang haram.

Kedua: Mengoreksi diri dalam hal yang haram, apakah masih dilakukan ataukah tidak.

Contoh, jika masih berinteraksi dengan riba, maka ia berusaha berlepas diri darinya. Jika memang pernah mengambil hak orang lain, maka dikembalikan. Kalau pernah mengghibah orang lain, maka meminta maaf dan mendoakan orang tersebut dengan doa yang baik. Dalam perkara lainnya yang tidak mungkin ada koreksi (melainkan harus ditinggalkan, seperti minum minuman keras dan memandang wanita yang bukan mahram), maka diperintahkan untuk bertaubat, menyesal dan bertekad tidak mau mengulangi dosa itu lagi, ditambah dengan memperbanyak amalan kebaikan yang dapat menghapus kejelekan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ

Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (QS. Hud: 114)

Ketiga: Mengoreksi diri atas kelalaian yang telah dilakukan. Contoh sibuk dengan permainan dan menonton yang sia-sia.

Keempat: Mengoreksi diri dengan apa yang dilakukan oleh anggota badan, apa yang telah dilakukan oleh kaki, tangan, pendengaran, penglihatan dan lisan. Cara mengoreksinya adalah dengan menyibukkan anggota badan tadi dalam melakukan ketaatan.

Kelima: Mengoreksi diri dalam niat, yaitu bagaimana niat kita dalam beramal, apakah lillah ataukah lighairillah (niat ikhlas karena Allah ataukah tidak). Karena niat itu biasa berubah, terombang-ambing. Karenanya hati itu disebut qalb, karena seringnya terombang-ambing.

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button
%d blogger menyukai ini:

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker