ARTIKELKisah

Ar-Rabi’ah Ar-Ra’yi (2) _ Terkenal Cerdas dalam Berlogika

“AR-RABI’AH AR-RA’YI (2)

Malam itu, di musim panas bulan bersinar dengan terangnya. Seorang prajurit berusia enam puluhan tahun memasuki kota Madinah. Dia menyusuri jalan-jalan kampung menuju rumahnya dengan naik kuda. Dia tidak tahu apakah rumahnya masih seperti yang dulu atau sudah berubah, karena telah dia tinggalkan sekitar tiga puluh tahun yang lalu.

                Dia bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang dilakukan istrinya saat ini? Istrinya yang masih muda dan yang ditinggalkannya di rumah dulu, bagaimana dengan kandungannya, lahir laki-laki atau perempuan? Apakah anak itu hidup ataukah mati? Jika hidup, apa yang tengah dilakukannya? Dia juga teringat akan uang perolehan jihad yang ditinggalkannya untuk istrinya, kemudian dia pergi sebagai mujahid fii sabilillah. Berangkat bersama pasukan muslimin untuk membuka daerah Bukhara, Samarkand dan sekitarnya.

                Masih banyak orang hilir mudik di perkampungan Madinah, mengingat baru saja shalat Isya’ usai ditunaikannya. Tetapi orang-orang itu berlalu begitu saja. Tidak ada yang mengenalinya, menghiraukannya, memperhatikan kuda atau pedang yang tersandang di pundaknya. Hal itu disebabkan mereka yang tinggal di kota-kota islam sudah tidak asing lagi melihat mujahidin yang pulang perhi untuk berperang fii sabilillah.

                Rasa penasaran dan was-was menggelayuti pikiran prajurit tua ini. Saat ia masih sibuk memikirkan jalan-jalan dan bangunan yang telah banyak berubah, tiba-tiba ia dapatkan dirinya telah berada di depan rumahnya. Dia dapatkan pintunya sedikit terbuka. Kegembiraannya yang meluap menyebabkan ia lupa meminta izin kepada yang berada di dalam rumah. Ia pun langsung masuk rumah melalui pintu tersebut.

                Si empunya rumah yang mendengar suara pintu terbuka menengok dari lantai atas rumahnya. maka dalam cahaya bulan dilihatnya ada orang yang menyandang pedang dan membawa tombak, malam-malam memasuki kediamannya.

                Laki-laki yang menghuni rumah itu pun meloncat dengan marah kemudian turun sambil membentak, “Engkau berani memasuki rumah dan menodai kehormatanku malam-malam, wahai musuh Allah?!”

                Dia menerkam bagaikan singa yang mengamuk ketika sarangnya hendak dirusak. Tidak ada kesempatan lagi untuk bicara. Keduanya langsung bergulat, saling terkam, saling tuduh dan makin lama makin panas. Para tetangga dan orang-orang dijalanan mengerumuni dua orang yang sedang berkelahi itu. Mereka hendak mengeroyok orang asing itu untuk membela tetangganya.

                Beberapa jurus kemudian, laki-laki yang di rumah itu mencengkram kuat-kuat leher lawannya seraya berkata, “Wahai musuh Allah, Demi Allah aku tidak akan melepaskanmu kecuali di muka hakim!”

                Orang asingituberkata, “Akubukanmusuh Allah danbukanpenjahat.Tapiinirumahku, milikku, kudapatipintunyaterbukalaluakumasuk.” Diamenolehkepada orang-orang serayaberkata, “Wahaisaudara-saudaradengarkanketeranganku.Rumahinimilikku, kubelidenganuangku.Wahaikaum, akuadalahFarrukh.Tiadakahseorangtetangga yang masihmengenaliFarrukh yang 30 tahunlalupergiberjihadfiisabilillah?”

                Bersamaan itu, ibu si empunya rumah yang sedang tidur terbangun oleh keributan itu, lalu menengok dari jendela atas dan melihat suaminya sedang bergulat dengan darah dagingnya. Lidahnya nyaris kelu. Namun dengan sekuat tenaga dia berseru, “Lepaskan. . . lepaskan dia, Rabi’ah. . . lepaskan dia, putraku, Dia adalah ayahmu. . . dia ayahmu. . . Saudara-saudara, tinggalkanlah mereka, semoga Allah memberkahi kalian. Tenanglah, Abu Abdurrahman, dia putramu. . . dia putramu. . . jantung hatimu. . .”

                Demi mendengar teriakan itu, seketika Farrukh memeluk dan menciumi putranya. Begitu pula Ar-Rabi’ah, beliau mencium tangan ayahnya. Orang-orang  pun bubar meninggalkan keduanya.

                Turunlah Ummu Ar-Rabi’ah untuk menyambut suaminya dan memberi salam. Padahal dia tidak pernah mengira akan bisa bertemu lagi dengan suaminya, setelah hampir sepertiga abad terputus kabar beritanya.

                Suatu kali, Farrukh duduk-duduk bersama istrinya, bercerita asyik tentang keadaannya dan sebab-musabab terputusnya berita darinya. Namun istrinya tidak bisa menikmati ceritanya, karena tiba-tiba muncul perkara yang menggelayuti pikirannya. Kebahagiaannya berkumpul dengan suaminya dibayangi kekhawatiran akan masalah uang titipan suaminya yang telah habis. Dia bergumam dalam hati, “Apa yang harus aku katakan bila suamiku menanyakan uang yang diamanatkan kepadaku agar kumanfaatkan dengan baik? Bagaimana kiranya sikap suamiku bila aku katakan bahwa hartanya sudah habis tak tersisa? Bisakah dia menerima alasanku bahwa uang itu sudah habis untuk biaya pendidikan putranya? Percayakah dia bahwa pendidikan putranya sampai menghabiskan 30 ribu dinar? Bisakah suaminya percaya bahwa tangan putranya lebih pemurah dari awan yang menurunkan hujannya? Sementara dia tidak menyisakan satu dirham pun? Seluruh penduduk Madinah tahu bahwa dia sangat pemurah dalam memberikan bayaran kepada guru-guru putranya.

                Selagi pikirannya terbang jauh, tiba-tiba suaminya menoleh kepadanya dan berkata, “Aku membawa 4000 dinar. Ambillah uang yang kutitipkan padamu dahulu. Kita kumpulkan lalu kita belikan kebun atau rumah. Kita bisa hidup dari hasil sewanya selama sisa usia kita.”

                Ummu Ar-Rabi’ah pura-pura sibuk dan tidak menjawabnya, suaminya mengulangi pertanyaannya, “Segeralah, mana uang itu? bawalah kemari agar bisa kusatukan dengan uang yang kubawa.”

                Dia berkata, “Aku menempatkan uang tersebut di tempat yang semestinya dan akan kuambil beberapa hari lagi insya Allah. . .

                Pembicaraan antara keduanya terputus lantaran terdengar suara adzan. Farrukh bergegas mengambil air wudhu lalu menuju ke pintu sambil bertanya, “Mana Ar-Rabi’ah?”

                Istrinya menjawab, “Dia sudah lebih dahulu berangkat ke masjid. Saya kira engkau akan tertinggal shalat berjama’ah.”

                Sampailah Farrukh di masjid, beliau mendapati imam sudah menyelesaikan shalatnya. Dia pun segera shalat, kemudian menuju ke makam Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam dan mengucap shalawat atasnya, setelah itu mengambil tempat di Raudhah Muthahharah (tempat antara makam nabi dengan mimbarnya). Betapa rindunya beliau untuk shalat. Maka beliau memilih tempat untuk shalat sunnah kemudian berdo’a sekehendaknya.

                Ketika beliau berhasrat untuk pulang, dilihatnya ruangan masjid sudah padat dengan orang yang hendak belajar, pemandangan yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. Mereka duduk melingkari Syaikh majelis ilmu tersebut sampai tidak ada lagi tempat kosong untuk berjalan. Dia mengamati, ternyata orang-orang yang hadir itu adalah yang telah lanjut usia, orang-orang yang terlihat berwibawa tampak sebagai orang terhormat, juga para pemuda. Mereka semua duduk menghamparkan lututnya, masing-masing memegang buku dan pena untuk mecatat semua uraian syaikh itu, kemudian di hafalkan. Semua mengarahkan pandangan kepada syaikh majelis. Dengan tekun mereka mendengarkan dan mencatat, hingga seolah-olah kepala mereka seperti burung yang bertengger. Para mubaligh mengulangi kata demi kata dari syaikh itu, agar tidak ada seorang pun yang keliru mendengarnya mengingat jaraknya yang cukup jauh.

                Farrukh berusaha melihat wajah syaikh yang luar biasa itu, tetapi hasilnya nihil. Karena orang-orang terlalu padat dan jaraknya yang cukup jauh. Dia kagum dengan segala perkataan syaikh itu, terlebih pada ketajaman ingatannya, keluasan ilmunya dan juga antusias jama’ah yang hadir dalam halaqah untuk mendengarkannya.

                Beberapa waktu kemudian majelis itu pun usai. Syaikh berdiri dari tempatnya, sementara orang-orang langsung berkerumun dan mengiringkannya keluar masjid.

                Farrukh yang belum beranjak dari tempatnya bertanya kepada fulan di sebelahnya;

Farrukh               : “Siapakah syakih yang baru saja berceramah?”

Fulan                    : “Apakah Anda bukan penduduk kota Madinah?”

Farrukh               : “Saya penduduk sini.”

Fulan                    : “Masih adakah di Madinah ini orang yang tidak mengenal syaikh yang
                                  memberikan ceramah itu?”

Farrukh               : “Maaf, saya benar-benar tidak tahu karena sudah sejak 30 tahun lalu saya
                                  meninggalkan kota ini dan baru kemarin saya kembali.”

Fulan                    : “Tidak apa, duduklah sejenak, akan saya jelaskan. Syaikh yang Anda dengarkan
ceramahnya tadi adalah seorang tokoh ulama tabi’in, termasuk di antara
ulama yang terpandang, dialah ahli hadits di Madinah, fuqaha dan imam kami
meski usianya masih sangat muda.”

Farrukh               : “Masya Allah. . . laa quwwata illa billah.” (tidak ada kekuatan kecuali dari Allah).”

Fulan                    : “Majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas, Abu Hanifah an-Nu’man, Yahya bin Sa’id
                                  al-Anshari, Sufyan ats-Tsauri, Abdurrahman bin Amru al-Auza’i, Laits bin Sa’id
                                  dan lain-lain.”

Farrukh               : “Tetapi Anda belum. . .”

Orang tersebut tidak memberinya kesempatan untuk bicara. Dia melanjutkan pujiannya.

Fulan                    : “Di samping itu dia sangat dermawan dan bijaksana. Tidak ada di madinah ini

                                  orang yang lebih dermawan terhadap kawan dan keluarga darinya. Dia hanya                               mengharapkan apa yang ada di isi Allah Ta`ala.”

Farrukh               : “Tetapi, Anda belum menyebutkan namanya.”

Fulan                    : “Namanya adalah ar-Rabi`ah ar-Ra`yi.”

Farrukh               : “Ar-Rabi`ah ar-Ra`yi.”

Fulan                    : “Nama aslinya ar-Rabi`ah, tetapi para ulama dan pemuka madinah biasa

                                 memanggilnya ar-Ra`biah ar-Ra`yi. Karena setiap kali mereka menjumpai

                                 kesulitan atau merasa tidak jelas tentang suatu nash dalam Kitabullah dan Hadits,

                                 mereka selalu bertanya kepadanya. Kemudian beliau berijtihad dalam masalah itu,

                                 menyebutkan qias apabila tidak ada Nash sama sekali. Beliau juga menyimpulkan

                                 hukum bagi mereka yang memerlukannya secara bijak dan menenteramkan Hati.”

Farrukh               : “Anda belum menyebutkan nasabnya.”

Fulan                    : “Dia adalah ar-Rabiah putra Farrukh yang memiliki kunyah (julukan)

                                 Abu Abdirrahman. Dilahirkan tidak lama setelah ayahnya meninggalkan Madinnah

                                 Sebagai mujahid fi sabilillah, lalu ibunyalah yang merawat dan mendidiknya. Tapi

                                 Sebelum shalat tadi, saya mendengar dari orang-orang bahwa ayahnya telah datang

                                 Kemarin malam.”

 

                Tiba-tiba melehlah air mata Farrukh tanpa diketahui penyebabnya oleh lawan bicaranya. Kemudian beliau mempercepat langkahnya untuk pulang.

 Melihat suaminya datang sambil meneteskan air mata, ibunda ar-Rabi`ah bertanya

“ada apa wahai Abu Abdirrahman?” beliau menjawab “tidak apa-apa, aku melihat putraku berada dalam kedudukan ilmu dan kehormatan yang tinggi, yang tidak kulihat pada orang lain.”

Kesempatan tersebut dipergunakan oleh Ummu ar-Rabiah untuk menjelaskan tentang harta amanat  suaminya yang ditanykan sebelumnya. Dia berkata “Menurut Anda manakah yang lebih Anda sukai, uang 30.000 dinar atau ilmu dan kehormatan yang telah dicapai putramu?” Farrukh berkata, “Demi Allah, bahkan ini lebih aku sukai dari pada dunia dan seisinya.”

Ummu ar-Rabi`ah berkata, “Ketahuilah wahai suamiku, aku telah menghabiskan semua harta amanatmu itu untuk membiyai pendidikan puta kita. Ridhakah Anda dengan apa yang telah aku perbuat?” Farrukh berkata, “Ya, semoga Allah membalas jasamu atasku, anak kita dan juga kaum muslimin dengan balasan yang baik.”

 

Sumber: Buku Mereka adalah Para Tabi’in, Kisah-kisah paling menakjubkan yang belum tertandingi hingga hari ini, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan XVIII, 2016

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini:

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker