Tergapainya Cita-cita..
Urwah Bin Zubair (Bagian 2)
Beliau lahir satu tahun sebelum berakhirnya masa khalifah al-Faruq Radhiallahu ‘anhu Dalam sebuah rumah yang paling mulia di kalangan kaum muslimin dan paling luhur marbatanya.
Adapun ayahnya bernama Zubair bin Awwam: “Hawariyyu” (pembela) Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam dan orang pertama yang menghunus pedangnya dalam islam serta termasuk salah satu di antara sepuluh orang yang di jamin masuk surga.
Sedangkan ibunya bernama Asma’ binti Abu Bakar ash-Shiddiq yang dijuluki dzatun nithaqain (pemilik dua ikat pinggang).
Kakek beliau dari jalur ibu adalah Abu ash-Shiddiq, khalifah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam yang menemani beliau di sebuah goa.
Sedangkan nenek dari jalur ayahnya adalah Shafiyah binti Abdul Muthalib yang juga bibi Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam.
Bibinya adalah Ummul Mukminin Radhiallahu ‘anha, bahkan dengan tangan urwah bin Zubair sendirilah yang turun ke liang lahat untuk meletakkan jenazah ummul Mukminin.
Maka siapa lagi kiranya yg lebih unggul nasabnya dari beliau? Adakah kemuliaan di atasnya selain krmuliaan iman dan kewibawaan islam?
*****
Demi merealisasikan cita-cita yang didambakan dan harapan kepada Allah yang diutarakan di sisi Ka’bah yang agung tersebut, beliau amat gigih dalam usahanya mencari ilmu. Maka beliau mendatangi dan menimbanya dari sisa-sisa para sahabat Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam yang masih hidup.
Beliau mendatangi rumah demi rumah mereka, shalat di belakang mereka, menghadiri majelis-majelis mereka. Beliau meriwayatkan hadits dari Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub Al-Anshari, Usamah bin Zaid, Sa’id bin Zaid, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Nu’man bin Basyir dan banyak pula mengambil dari bibinya Aisyah Ummul Mukminin, pada gilirannya nanti, beliau berhasil menjadi satu di antara fuqaha’ sab’ah (tujuh ahli fikih) Madinah yang menjadi sandaran kaum muslimin dalam urusan agama.
Para pemimpin yang shalih banyak meminta pertimbangan kepada beliau baik tentang urusan ibadah maupun Negara karena kelebihan yang Allah berikan kepada beliau. Salah satunya adalah Umar bin Abdul Aziz. Ketika beliau diangkat sebagai gubernur di Madinah pada masa al-Walid bin Abdul Malik, orang-orang pun berdatangan untuk memberikan ucapan selamat kepada beliau.
Usai shalat Zhuhur, Umar bin Abdul Aziz memanggil sepuluh fuqaha Madinah yang dipimpin Urwah bin Zubair. Ketika sepuluh ulama tersebut telah berada di sisinya, maka beliau melapangkan majelis bagi mereka serta memuliakannya. Setelah bertahmid kepada yang berhak dipuji beliau berkata, “Saya mengundang anda semua untuk suatu amal yang banyak pahalanya, yang mana saya mengharapkan Anda semua agar sudi membantu dalam kebenaran, saya tidak ingin memutuskan suatu masalah, kecuali setelah mendapat pendapat dari Anda semua atau seorang yang hadir di antara kalian. Bila kalian melihat seseorang mengganggu orang lain atau pejabat yang melakukan kezhaliman, maka saya mohon dengan tulus agar Anda sudi melaporkannya kepada saya.” Kemudian Urwah mendo’akan baginya keberuntungan dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar senantiasa menjadikan beliau tetap lurus dan tidak menyimpang.
Sungguh telah berkumpul pada diri Urwah bin Zubair antara ilmu dan amal. Beliau membiasakan shaum di musim panas dan shalat di waktu malam yang sangat dingin. Lidahnya senantiasa basah dengan dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, senantiasa bersanding dengan Kitabullah dan tekun membacanya. Beliau mengkhatamkan seperempat al-Qur’an setiap siang dengan membuka mushaf, lalu shalat malam membaca ayat-ayat al-Qur’an dengan hafalan. Tidak pernah beliau meninggalkan hal itu sejak menginjak remaja hingga wafatnya melainkan sekali saja. Yakni ketika peristiwa mengharukan yang sebentar lagi kami beritakan kepada Anda.
Dengan menunaikan shalat Urwah bin Zubair memperoleh ketenangan jiwa, kesejukan pandangan dan surga di dunia. Beliau tunaikan sebagus mungkin, beliau tekuni rukun-rukunnya secara sempurna dan beliau panjangkan shalatnya sedapat mungkin.
Telah diriwayatkan bahwa beliau pernah melihat seseorang menunaikan shalat secepat kilat. Setelah selesai, dipanggilnya orang tersebut dan ditanya, “Wahai anak saudaraku, apakah engkau tidak memerlukan apa-apa dari Rabb-mu Yang Maha Suci? Demi Allah, aki memohon kepada Rabb-ku segala sesuatu sampai dalam urusan garam.”
Urwah bin Zubair Radhiallahu ‘anhu adalah seorang yang ringan tangan, logger dan dermawan. Di antara bukti kedermawanannya itu adalah manakala beliau memiliki sebidang kebun yang luas di Madinah dan air sumurnya yang tawar, pepohonan yang rindang dan buahnya yang lebat. Beliau pasang pagar di mengelilingnya untuk menjaga kerusakannya dari binatang-binatang dan anak-anak yang usil. Hingga tatkala buahnya sudah masak dan membangkitkan selera orang yang memandangnya, dibukalah beberapa pintu sebagai jalan masuk bagi siapa pun yang menghendakinya.
Begitulah, orang-orang keluar masuk kebun Urwah sambil merasakan lezatnya buah-buahan yang masak sepuas-puasnya dan membawa sesuai dengan keinginannya. Setiap kali masuk kebun, beliau mengulang-ulang firman Allah:
وَلَوْلَآ إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَآءَ ٱللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّهِ ۚ إِن تَرَنِ أَنَا۠ أَقَلَّ مِنكَ مَالًا وَوَلَدًا
“Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala memasuki kebunmu, “Masya Allah, laa quwwata illa billah” (sesungguhnya atas kehendah Allah semua itu terwujud. Tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah) …. ” {QS. Al-Kahfi : 39}
Sumber: Buku Mereka adalah Para Tabi’in, Kisah-kisah paling menakjubkan yang belum tertandingi hingga hari ini, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan XVIII, 2016