AqidahARTIKEL

Hukum Membaca Al-Qur’an di Kuburan

Hukum Membaca Al-Qur’an di Kuburan

Tinjauan Madzhab Syafi`i

Telah ma`ruf bagi kita bahwa sebagian bahkan hampir dikatakan mayoritas kaum muslimin memiliki kebiasaan mendatangi makam-makam keluarga, sanak famili, orang tua serta orang-orang shalih dari kalangan para wali dan para sahabat hanya sekedar untuk mendoakan atau berdzikir dan membaca qur’an di sekitarnya.  Mereka berdalih bahwa yang demikian ini merupakan bagian dari peribadatan yang ada di dalam Islam sebagaimana yang mereka yakini keabsahannya menurut pendapat madzhab Syafi’i.

Namun benarkah yang demikian ini merupakan pendapat atau bahkan sebuah atsar  yang bersumber dari Imam Syafi’i rohimahulloh? Bahkan kita mendapati sebagian dai, kyai, buya, mubaligh mensyariatkan yang demikian ini dengan menyampaikan atsar-atsar dan dalil-dalil yang apabila dalil-dalil tersebut didengarkan oleh masyarakat awam, niscaya mereka akan mempercayainya tanpa selektif.

Para ulama yang berjalan di atas manhaj yang haq (minhajjissunnah) telah membuat komentar yang berkaitan dengan hal tersebut.  Mereka dengan cara ilmiyah berupaya meluruskan dan melakukan pembelaan atas prasangka bahwa kebiasaan ziarah kubur dengan tujuan di atas bersumber dari pendapat madzhab Al-Imam As-syfi`i. Sungguh perkataan dusta atas nama seorang ulama besar yang kita para ahlu al-ilmu menyebutnya sebagai nashirussunnah (pembela sunnah Rasulullah salallahu`alaihi wassalam).  Dan demikian penjelasan secara ringkas dari para ulama:

  1. Membaca qur’an di kuburan tatkala prosesi pemakaman

Kaum muslimin berbondong-bondong menghantarkan jenazah ke kuburnya, kemudian sebagian mereka membaca qur’an di saat prosesi pemakaman berlangsung. Apa yang mereka lakukan berpijak pada salah satu atsar yang semua atsar tentang hal ini dinilai dhaif (lemah) oleh para Ahli Hadits atau bahkan maudhu (palsu), adapun salah satu atsar tersebut adalah sebagai berikut ini :

 قَالَ الخَلال أَخبَرَناَ العَبّاس بن مُحَمّد الدَّورِي حدّثَنَا ميشر الحَلَبِي حدّثني عَبدُ الرَحْمن بن العَلاَء اللجلاج عَن أَبِيه قَالَ قَالَ أَبِي  إِذَا أَنَا مُت فضعني في اللحد وقل بسم الله وعلى سنة رسول الله وسن علي التراب واقرأ عند رأسي بفاتحة البقرة  وختمتها فإني سمعت عبد الله بن عمر يقول ذلك .

Artinya : Berkata Al-Khalal telah mengkhabarkan kepada kami Al-Abbas bin Muhammad Ad-Daury telah berbicara kepada kami Mubasyir Al-Halaby telah berbicara kepadaku Abdur Rahman bin Al-Ala’ Al-Jalaj dari ayahnya ia berkata : Apabila aku telah meninggal maka telah diletakkan di liang lahat dan katakanlah : bismillah wa ala sunnati rosulillah dan guyurkanlah di atas jasadku tanah dan bacalah di sisi bagian kepalaku dengan awal surat Al-Baqoroh serta akhir ayat daripadanya! Maka sesungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar memerintahkan yang demikian ini  (Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam Kitab At-Tsiqot)

Sanad atsar ini lemah, dan letak lemahnya atsar ini adalah pada Abdur Rahman bin Al-Ala’ Al-Jalaj. Beliau adalah seorang yang majhul (tidak dikenal). Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolany : maqbul (diterima) tatkala disertai mutaba’ah.

Meski atsar di atas disebutkan oleh Imam Ibnu Hibban di dalam Kitab At-Tsiqot (kitab kumpulan orang-orang yang kuat dalam periwayatan hadist) maka perlu diketahui bahwa menurut para Ulama Ahli Hadist bahwa Imam Ibnu Hibban adalah seorang mutasahil (seorang yang mudah menguatkan hadist meski sang perawi itu majhul/tidak dikenal). Ibnu Hajar Al-Asqolany berkata : Dan ini merupakan madzhab Ibnu Hibban bahwa setiap rijal hadits (perawi) apabila ia adalah seorang yang majhul (tidak dikenal) di hadapannya, lantas ia menilai perawi tersebut sebagai seorang yang adil hingga jelas atas dirinya jarahnya (pencacatannya), maka sungguh ini madzhab yang aneh sedangkan jumhur ulama berbeda dengan pendapatnya ini, dan metode ini yang digunakan oleh Ibnu Hibban dalam kitabnya Kitab At-Tsiqot yang telah ia tulis (Tamamul Minnah dan Lisan Al-Mizan).

Penilaian Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolany terhadap atsar ini melengkapi bahwa membaca qur’an baik dari surat Al-Baqoroh ataupun surat Yasin dan surat-surat yang lainnya dari al-qur’an adalah perkara yang baru yang tidak ada contoh dari nabi Muhammad shollahu alaihi wa salam.

  1. Mentalqin mayit setelah dikubur

Hadist Abu Umamah ia berkata : bersabda Rasululloh Shalallohu alaihi wa salam : Apabila wafat salah seorang di antara kalian, dan kalian telah meratakannya dengan tanah, maka hendaklah berdiri salah seorang di antara kalian di atas bagian kepala kuburannya kemudian hendaklah berkata : wahai fulan bin fulan maka sesungguhnya ia (sang mayit) mendengar dan tidak bisa menjawab, kemudian katakanlah : fulan bin fulan kedua kalinya, maka sesungguhnya ia menyamai orang duduk, kemudian katakanlah fulan bin fulan, maka sesungguhnya ia menjawab : Tunjukkanlah (ajarilah) kepada kami semoga engkau dirahmati Alloh, akan tetapi kalian tidak mendengar apa yang dikatakannya. Maka hendaklah  berkata : Ingatlah apa yang telah engkau lalui atasnya dari perkara dunia tentang syahadat La ilaha illalloh wa anna muhammadan rosululloh dan engkau ridho bahwa Alloh sebagai tuhan, dan islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai nabi, dan Al-qur’an sebagai imam…. (Disebutkan oleh Imam Thabrany dalam kitab Mu’jamnya).

Hadist Abu Umamah di atas merupakan hadits lemah, Imam Nawawi melemahkan hadits ini di dalam kitab Al-Majmu Syarhul Muhadzab, demikian pula Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolany melemahkan hadits ini. Para Ulama menyatakan yang demikian ini tidak dikerjakan oleh pendahulu umat ini.  Adapun sebagian saudara-saudara seiman yang beranggapan bolehnya mengamalkan hadits-hadits lemah untuk fadho’il amal, maka tidaklah yang demikian ini dilakukan kecuali harus terpenuhinya tiga syarat, adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Hadits yang diamalkan bukanlah hadits palsu (orang yang mengamalkannya mengetahui secara pasti bahwa hadist itu bukan hadits palsu)
  2. Orang yang mengamalkannya adalah orang yang mengetahui secara pasti bahwa hadits yang ia amalkan merupakan hadits lemah (dhoif)
  3. Amal yang ia lakukan dari hadits dhoif tersebut diharamkan untuk disebarluaskan atau mengajak orang untuk bersama-sama mengamalkannya.

Demikianlah yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany, Imam Nawawy berkata: Tidak halal bagi orang yang tidak mengetahui lemah dan tidaknya sebuah hadits untuk berhujjah dengan hadits tersebut, hingga ia melakukan pembahasan dan pemeriksaan terhadap hadits tersebut bila ia seorang yang berilmu, atau dengan bertanya kepada ahli ilmu yang mampu terhadap ilmu tersebut (Mushtholahat Al-Fuqoha’ Wal Ushuliyyin). Sesungguhnya orang yang mengaku dirinya sebagai AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH adalah orang yang sangat mengerti tentang derajat sebuah hadits, baik hadits itu lemah ataupun shahih dan bahkan palsu dan hasan.

Syeikh Abdul Qodir Jaelany berkata dalam kitabnya Al-Ghunyah :

أما الفرقة الناجية فهي أهل السنة والجماعة وأهل السنة لا اسم لهم  إلا اسم واحد وهو أصحاب الحجيث

Artinya : Adapun golongan yang selamat, mereka itu  adalah ahlus sunnah wal jama’ah dan ahlus sunnah wal jama’ah tidak ada nama bagi mereka kecuali satu nama, mereka adalah ASHABUL HADITS (orang yang mengerti tentang penilaian-penilaian derajat hadits)

Kemudian bagaimana dengan para Buya, Kiai, Ajengan dan Ustadz serta para Mubaligh yang menyampaikan sebuah hadits atau atsar sementara mereka tidak mengerti derajat sebuah hadits. Apakah bisa dikatakan mereka sebagai ahlus sunnah wal jama’ah ?

Mentalqin mayit setelah dikubur merupakan perbuatan yang diada-adakan oleh manusia pada hari ini, yang tentunya tidak ada sandaran yang shorih (kuat) dan shohih (benar) dari sisi Rosululloh meski mereka menyandarkannya kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam namun itu semua sebuah pengakuan yang keliru tak berdasar dan bersandar kepada Nabi.

  1. Membaca qur’an di kuburan tatkala berziarah kubur

وقال الحسن بن الصباح الزعفراني سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقـال لا بأس بها

Artinya : Al-Hasan bin As-Shobah Az-Za’farony bertanya kepada Imam Syafi’i tentang membaca qur’an di kuburan, maka beliau menjawab : Tidak mengapa yang demikian ini dilakukan (Kitab Ar-Ruh).

Tidak diragukan lagi bahwa Al-Hasan bin As-Shobah Az-Za’farony[1] merupakan seorang imam ahli hadits yang padanya Imam Bukhory meriwayatkan sebuah periwayatan hadist, demikian pula Imam At-Tirmidzy. Namun perlu diketahui bahwa Al-Hasan bin As-Shobah Az-Za’farony bertemu dan berjumpa dengan Imam Syafi’i tatkala Imam Syafi’i masih berdomisili di Baghdad, adapun pendapat dan perkataan Imam Syafi’i di Baghdad merupakan qoulun qodim (pendapat lama) yang tidak halal bagi siapa pun untuk mengambil hujjah dari Imam Syafi’i atas pendapat lamanya. Demikian yang dinyatakan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dan Imam Ar-Romli.

Imam Syafi;i berkata :

لا أجعل في حل من رواه عني

Artinya : Saya tidak menjadikan sebuah kehalalan bagi siapa yang meriwayatkan dariku (pendapat lama beliau)

لا يحل عد القديم من المذهب

Artinya : Tidak halal kembali kepada pendapat lama dari sebuah pendapat (madzhab)

Berkata Imam Al-Haromainy Al-Juwainy :

معتقدي أن الأقوال القديمة ليست من مذهب الشافعي حيث كانت

Artinya : Keyakinanku bahwa perkataan-perkataan (Imam Syafi’i) yang lama (qoulun qodim) bukanlah termasuk dari madzhab Syafi’i di mana pun pendapat itu berada

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa membaca qur’an di kuburan merupakan pendapat Imam Syafi’i yang lama (qoulun qodim) yang tidak dihalalkan bagi siapa pun menjadikannya hujjah dan alasan membolehkannya membaca qur’an di kuburan dengan dalih apa pun. Tentu hal ini apabila dilakukan oleh saudara-saudara seiman yang mengaku bermadzhab Syafi’i maka itu merupakan kejahilan terhadap wawasan bermadzhab yang ia bangun.

  1. Kesimpulan

Melalui pemaparan ringkas di atas yang insya Allah bermanfaat, dapat dipahami bahwa merupakan perkara yang baru yang diada-adakan dan tidak ada contoh dari nabi Muhammad shalallohu alaihi wa salam seseorang membaca qur’an dengan surat apa pun di sekitar kuburan. Demikian pula mentalqin mayit tatkala jasad sudah berkalang tanah. Semuanya adalah perkara baru dalam agama ini.

Wallohu a’lam bi showab

[1]               Imam Nawawi menyebutkan bahwa Imam Syafi’i menulis sebuah kitab yang berjudul Al-Hujjah atas pendapat-pendapat lamanya, dan di antara yang meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang yang demikian ini adalah empat Imam Mu’tabar yang termasuk murid-murid beliau : Imam Ahmad bin Hambal, Imam Al-Hasan Az-Za’farony, Imam Al_husain Al-Kurobisy, Imam Ibrohim Kholid Al-Kalby.

Oleh : Ustadz Indra Sudrajat, SEI

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini:

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker