RAJA’ BIN HAIWAH
Raja’ bin Haiwah lahir di Bisaan, Palestina, kira-kira diakhir masa khalifah Utsman bin Affan Radhiallahu’ Anhu. Asal-usulnya dari kabilah Kindah, Arab. Sehingga Raja’ adalah orang Palestina dari keturunan Arab dan keluarga Bani Kindah. Beliau tumbuh dalam ketaatan kepada Allah Ta’alaa sejak kecil, dicintai Allah dan menyenangkan hati hamba-hambaNya.
Beliau gemar mencari ilmu sejak awal pertumbuhannya, dan ilmu-ilmu secara cocok bersemayam di hatinya yang subur dan mengisi celah-celahnya yang masig kosong. Semangatnya yang paling besar adalah ketkia mempelajari dan mendalami Kitabullah, serta membekali diri dengan hadits-hadits Nabi. Pikirannya diterangi oleh cahaya Al-Qur’an, pandangannya disinari oleh hidayah nubuwah, dan dadanya penuh dengan nasihat dan hikmah. Barangsiapa yang diberi himah, sungguh berarti telah diberi karunia yang banyak.
Beruntung beliau mendapat kesempatan untuk menimba ilmu dari pada sahabat seperti Abu Sa’id al-Khundhri, Abu Darda’ , Abu Umamah, Abadah bin Shamit, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Abdullah bin Amru bin Ash, Nawwas bin Sam’an dan lain-lain. Mereka semua menjadi lentera hidayah dan cahaya pengetahuan
Pemuda ini menetapkan kedisiplinan atas dirinya sendri. Motto yang dipelihara dan diulang-ulang sepanjang hayatnya adalah
Betapa indahnya Islam bila berhiaskan iman
Betapa indahnya Iman bila berhiaskan takwa
Betapa indahnya Takwa bila berhiaskan ilmu
Betapa indahnya Ilmu bila berhiaskan amal
Betapa indahnya Amal bila berhiaskan kasih sayang
Raja’ bin Haiwah menjadi menteri dalam beberapa periode khalifah Bani Umayah. Dimulai sejak khalifah Abdul Malik bin Marwan hingga masa Umar bin Abdul Aziz. Hanya saja, hunungannya dengan Sulaiman bin Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz lebih istimewa daripada khalifah-khalifah yang lain.
Beliau mendapat tempat dihati-hati khalifah-khalifah Bani Umayah merupakan perwujudan rahmat Allah Ta’alaa bagi mereka. Hal itu dikarenakan beliau senantiasa mendorong mereka pada kebaikan dan menunjukkan jalannya, menjauhkan dari kejahatan dan menutupi pintunya, memnunjukkan indahnya kebenaran hingga mereka mau mengikuti, dan menggambarkan betapa buruknya kebatilan hingga mereka menjauhi.
Beliau menunaikan nasehat bagi Allah, RasulNya, dan para pemimpin kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin.
Telah terjadi peristiwa yang dialami Raja’ bin Haiwah, sehingga mampu menerangi jalan agar beliau menempuh jalan benar dalam bergaul dengan khalifah dan cara dia membatasi diri dalam tugasnya, Beliau menceritakan perihal dirinya sebagai berikut:
”Ketika itu, aku berdiri bersama khalifah Sulaiman bin Abdul Malik ditengah ramainya manusia. Tiba-tiba aku lihat seseorang keluar dari kerumunan masa dan berjalan mendekati kami. Wajahnya tampan dan penuh wibawa, menerobos kerumunan orang sehingga aku merasa pasti dia hendak menghampiri khalifah. Tetapi ternyata dia berdiri disampingku, memberi salam lalu berkata:
“Wahai Raja’ , engkau telah diuji melalui orang ini (sambil menunjuk khalifah). Kedekatanmu dengannya bisa mendatangkan kebaikan yang banyak, namun bisa pula menimbulkan keburukan yang banyak. Maka jadikanlah kedekatanmu dengannya sebagai sarana untuk mendapatkan kebaikankan bagi dirimu dan orang lain. Ketahuilah wahai Raja’ , bila seseorang memiliki kedudukan di sisi penguasa kemudian dia mengurus kebutuhan orang-orang yang lemah yang tidak kuasa mengajukannya kepada penguasa, maka dia akan menjumpai Allah Ta’alaa di hari kiamat nanti dengan kedua kaki yang mantap untuk dihisab.
Ketahuilah wahai Raja’ , barangsiapa yang mencukupi kebutuhan saudaranya sesame muslim maka Allah Ta’alaa akan mencukupi kebutuhannya. Ketahuilah wahai Raja’ , bahwa amal yang paling dicintai Allah Ta’alaa adalah menyenangkan hati seorang muslim.”
Raja’ berkata “Ketika aku sedang asyik memperlihatka dengan seksama kata-kata orang itu dan menunggu kelanjutannya, namun tiba-tiba khalifah memanggil, “Wahai Raja’ bin Haiwah!” Aku bergegas menuju ketempat khalifah seraya menjawab, “Aku disisimu wahai Amirul Mukminin.”
Khalifah menanyakan menanyakan sesuatu dan aku menjawab. Setelah itu aku segera menengok ke arah orang yang menasihatiku tadi, namun ia sudah tidak ada lagi ditempatnya. Aku mencarinya di antara kerumunan orang ramai, namun aku tidak mendapatkannya. “
Raja’ bin Hiwah banyak membimbing kea rah sikap jujur khalifah-khalifah Bani Umayah. Bahkan hingga tertulis dalam lembaran sejarah yang paling indah, diriwayatkan dari generasi ke generasi sebagai tokoh salaf.
Sebagai contohnya, peristiwa adanya orang yang mengadu kepada Khalifah Abdul Malik bin Marwan tenteng adanya seseorang yang membenci Bani Umayah dan berpihak kepada Abdullah bin Zubair. Si pelapor menceritakan tentang perkataan dan perbuatan orang yang dimaksud, hingga memancing amarah khalifah dan mengancam. “Demi Allah, jika memberiku kesempatan untuk menangkapnya, sungguh aku akan melakukannya, aku akan kalungkan pedang dilehernya!”
Tidak berselang lama Allah Ta’alaa menakdirkan khalifah dapat menangkap orang yang diadukan tersebut. Dia digiring menghadap khalifah dengan cara yang kasar. Ketika melihat orang itu, khalifah naik pitam dan hampir melaksanakan ancamannya, namun Raja’ bin Haiwah berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Allah Ta’alaa telah memberi anda kesempatan untuk melaksanakan keinginan Anda dengan kekuatan yang Anda miliki, maka sekarang lakukanlah untuk Allah apa yang disukaiNya, yaitu ampunan.”
Seketika itu amarah Amirul Mukminin menjadi reda dan menjadi tenang hatinya. Kemudia dia memaafkan orang tersebut, melepaskannyadan memperlakukannya secara baik.
Pada tahun 91H . Khalifah al-Walid bin Abdul Malik menunaikan haji didampingi oleh Raja’ bin Haiwah. Sesampainya di Madinah, khalifah mengunjungi masjid Nabawi asy-Syarif disertai dengan Umar bin Abdul Aziz, Beliau ingin memperluas menjadi 200 hasta. Orang-orang yang berada di dalamnya diminta keluar dari masjid agar Amirul Mukminin dapat memperkirakannya.
Tidak tersisa lagi orang didalamnya kecuali Sa’id bin Musyyab, karena petugas tidak berani menyuruhnya keluar. Melihat hali itu Umar bin Abdul Aziz, sebagai wali kota mengutus seseorang untuk mengatakan kepada Sa’id agar keluar seperti yang lain. Tetapi Sa’id menjawab, “Saya tidak akan meninggalkan masjid kecuali pada waktu-waktu yang biasa yang biasa saya tinggalkan setiap hari.” Lalu dikatakan, “Kalau begitu hendaknya Anda berdiri sekedar memberi hormat dan salam kepada Amirul Mukminin..” Beliau menjawab “Saya datang kemari untuk berdiri bagi Rabb-ul ‘Alamin.”
Demi melihat polemic yang terjadi antara utusannya dengan Imam Sa’id bin Musyya, Umuar bin Abdul Aziz segara mengarahkan Amirul Mukminin menjauh dari tempat Sa’id duduk. Sementara Raja’ mengalihkan perhatiannya dengan mengajak berbincang-bincang, sebab Umar dan Raja’ tahu akan kekerasan sikap khalifah. Mendadak Al-Walid bertanya, “Siapakah orang tua tersebut? Bukankah dia Sa’id bin Musyya?”
Keduanya berkata “Benar wahai Amirul Mukminin,” lalu keduanya segara menyebut-nyebut tentang kebaikan agamanya dan ilmunya serta keutamaan dan ketakwaannya. Keduanya berkata “Seandainya beliau mengetahui posisi Anda, tentulah akan datang dan memberi salam, hanya saja beliau sudah lemah penglihatannya.” Al-Walid berkata “Aku baru mengetahui keadaannya seperti yang kalian sebutkan. Dia lebih berhak untuk kita datangi dan kita dahului mengucapkan salam.”
Khalifah Al-Walid mengelilingi masjid hingga sampai ditempat duduk Sa’id bin Musyyab, beliau berhenti memberi salam dan bertanya, “Bagaimana keadaan Anda, wahai Syaikh?” Sa’id menjawab tanpa beeranjak doitempatnya, “Dalam limpahan nikmatNya”, segala puji bagi Allah, bagaimana keadaan Amirul Mukminin? Semoga mendapat taufik untuk mengerjakan apa yang dicintai dan dirinhai oleh Allah Ta’alaa.
Sambil berlalu Al-Walid berkata, “ Beliau adalah sisa-sisa orang terdahulu, sisa pendahulu umat ini.”
Ketika tumpuk kekhalifahan jatuh ke tangan Sulaiman bin Abdul Malik, Raja bin Haiwah mendapat kepercaan penuh disisinya melebihi orang lain. Sulaiman sangat mempercayainya, menggunakan pemikiran dan pandangan-pandangannya dalam segala urusan yang besar maupun yang kecil.
Begitu banyak pengalaman mengesankan yang beliau alami bersam Sulaiman bin Abdul Malik. Namun ada satu peristiwa monumental bagi sejarah islam dan kaum muslimin, karena masalahnya yang sangat penting. Yakni soal pengganti khalifah, di mana Raja’ cenderung untuk memilih Umar Bin Abdul Aziz.
Raja bin Haiwah menceritakan peristiwa bersejarah tersebut;
Di awal hari Jum’at dibulan Shafar tahun 99 H, aku mendampingi Amirul Mukminin Sulaiman di Dabik. Saat itu Amirul Mukminin telah mengirimkan suatu pasukan yang kuat untuk menggempur Turki dibawah komandan saudaranya, Maslamah bin Abdul Malik, fan didampingi putra beliau Dawud, beserta sebagian besar dari keluarganya. Beliau telah bertekad untuk tidak meninggalkan Dabik sebelum menguasai Konstantinopel atau mati.
Ketika waktu telah mendekati sholat Jum’at Amirul Mukminin berwudhu dengan sebagus-bagus wudhu, memakai jubbah berwarna hijau dan surbannya berwarna hijau pula. Beliau merasa bangga denga keadaannya di cermin yang terlihat masih muda, di mana saat itu usia khalifah baru sekitar 40 tahun. Kemudian beliau keluar untuk menunaikan sholat Jum’at bersama orang-orang. Sepulangnya dari sholat Jum’at, tiba-tiba beliau merasa demam. Rasa sakit tersebut kian hari betambah parah. Sehingga beliau meminta agar aku (Raja’) senantiasa dekat disamping beliau.
Suatu kali, ketika aku masuk keruangan khalifah, aku dapati Amirul Mukminin sedang menulis sesuatu, aku bertanya, “Apa yang sedang Anda lakukan wahai Amirul Mukminin?” Bliau menjawab, “ Aku menulis wasiat untuk penggantiku yaitu putra Ayyub.”
Aku berkata “Wahai Amirul Mukminin, ketauhilah bahwa yang akan menyelamatkan dari siksa kubur dan membebaskan Anda dari tanggung jawab kelak di hadapan Allah Ta’alaa adalah dengan menunjuk seorang pengganti yang shahih untuk umat ini. Sedangkan piutra Anda masih terlampau kecil, belum dewasa, belum dapat dijamin kebaikan dan keburukannya,” Beliau berkata “Ini hanya tulisan main-main saja. Untuk itu, aku hendaknya sholat istikharah dahulu. “Kemudian beliau merobek tulisan tersebut.
Setalah satu dan dua hari kemudian aku dipanggil dan ditanya, “Bagaimana pendapatmu tentang putraku. Dawud wahai Abu Miqdam?” Aku berkata. “Dia tidak ada disini. Dia sedang berada di medan perang di Konstantinopel bersama kaum muslimin Anda sendiri tidak mengetahui apakah dia masih hidup atau gugur..”Beliau berkata, “Menurutmu siapakah gerangan yang pantas menggantikan aku wahai Raja’?”
Aku berkata “ Keputusannya terserah anda wahai Amirul Mukminin..” Aku ingin melihat saiapa saja yang beliau sebut, sehingga aku bisa mengomentarinya satu persatu, lalu sampailah nama Umar bin Abdul Aziz yang sebenarnya aku maksud, “Beliau berkata, “ Bagaiman pebdapatmu tentang Umar bin Abdul Aziz?”
Aku berkata “Demi Allah, Aku tidak mengetahui tentang beliau melaikan beliau adalah orang yang utama, sempurna, berakal, bagus agamanya dan berwibawa,”Beliau berkata, ‘Engkau benar, Demi Allah, dialah yang layak untuk jabatan ini. Hanya saja jika dia yang aku angkat sementara aku tinggalkan anak-anak Abdul Malik, temtu akan terjadi fitnah,” Aku berkat “ Kalau begitu, pilihah salah satu dari mereka dan tetapkan baginya sebagai penggantinya setelah Umar.”
Beliau berkata “ Anda benar, hal itu bisa membuat meraka tenang dan ridha,” Kemudia Amirul Mukminin mengambil kertas dan beliau tulis:
“Bismillahirrahmanirrahim. Ini adalah surat dari hamba Allah, Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik untuk Umar bin Abdul Aziz. Aku mengangkatmu sebagai khalifah penggantiku, dan setelah kamu adalah Yazid bin Abdul Malik, maka bertakwahlah kepada Allah dan taatilah dia, janganlah kalian bercerai-berai karena akan mengakibatkan senangnya orang0orang yang hal itu terjadi atas kalian.”
Kemudian beliau menutup surat itu dan menyerahkan kepadaku, kemudian dikirim kepada Ka’ab bin Hamiz selaku kepala keamanan, Lalu khalifah berkata, “Perintahkanlah seluruh keluargaku untuk berkumpul dan sampaikan bahwa surat wasiat yang berada ditangan Raja’ bi Haiwah adalah benar-benar pernyataanku. Lalu perintahkan mereka untuk membai’at kepada orang yang disebutkan namanya dalam wasiat itu,”
Setelah semuanya berkumpul, aku berkata “Ini adalah surat wasiat Amirul Mukminin yang berisi perintah pengangkatan khalifah penggantinya dan beliau telah memperintahkan aku untuk mengambil bai’at kalian bagi orang yang tercantum sebagai calon penggantinya. “Mereka berkata, “Kami mendengar, dan akan taat kepada Amirul Mukminin penggantinya.”Setelah itu mereka meminta izin menemui Amirul Mukminin untuk mengucapkansalam Aku berkata “Silahkan.”
Setelajh mereka masuk, Sulaiman berkata “Sesungguhnya surat yang berada ditangan Raja’ berisi pesan bagi khalifah penggantiku maka taatilah dia dan bai’atlah kepada orang yang kusebutkan namanya didalamnya.” Satu demi satu orang-orang membai’at. Kemudian aku keluar dengan membawa surat yang tertutup rapid an tidak ada seorangpunyang tahu selain aku dan Amirul Mukminin.
Setalah orang-orang membubarkan diri, Umar bin Abdul Aziz mendekatiku dan berkat, “Wahai Abu Miqdam, selama ini Amirul Mukminin begitu baik kepadaku dan telah memberiku kekuasaan karena kebijakannya dan ketulusannya dalam masalah ini. Oleh sebab itu, aku bertanya kepada Allah, atas nama persahabatan dan kesetiakawanan kita, beitahulah kepadaku nama tersebut, seandandainya dalam wasiat Amirul Mukminin tersebut ada sesuatu yang ditunjukan khusus kepadaku, agar aku bisa menolaknya sebelum terlambat.”
Aku berkata “Tidak, demi Allah aku tidak akan memberitahukan walau satu hurufpun dari isi surat itu tentang apa apa yang kau inginkan. “Umar bin Abdul Aziz pun pergi dan kecewa.
Setelah itu gikiran Hisyam bin Abdul Malik mendekatiku dan berkata, “ Wahai Abu Miqdam, di antara kita telah terjadi persahabatan yang begitu lama. Aku mengucapkan banyak terima kasih untuk itu dan tidak akan pernah melupakan jasa-jasamu. Maka tolonglah beritahu kepadaku isi surat Amirul Mukminin itu. Jika jabatan tersebut di serahkan kepadaku, aku akan tutup mulut, tetapi jika diberikan kepada yang lainya, aku akan bicara. Orang seperti saya tidak bisa diacuhkan/diremehkan dalam urusan ini. Aku bersumpah tidak akan membocorkan rahasia ini.”
Aku berkata, “Tidak, demi Allah aku tidak akan memberitahukan kepadamu satu huruf pun dari isi surat yang dipercayakan Amirul Mukminin keoadaku.” “Dia pergi dan mengepal tangannya seraya menggerutu, “Kepada siapa lagi menyerahkan jabatan jika aku disingkirka? Mungkinkah khalifah ini akan lepas dari tangan anak-anak Abdul Malik? Demi Allah, Akulah yang paling utama diantara anak-anak Abdul Malik!.”
Kemudian aku masuk untuk menjumpai Amirul Mukminin, Sulaiman bin Abdul Malik, Aku perhatikan beliau semakin bertambah parah dan mendekati sakaratul maut. Melihat kegelisahannya, aku menghadapkan beliau kearah kiblat semtara beliau berkata dengan berat, “Belum tiba saatnya wahai Raja’ ‘..’ Aku mengulanginya lagi, dan ketika kupalingkan ke kiblat untuk ketiga kalinya beliau berkata, “Sekarang jika engkau hendak melakukan sesuatu, lakukanlah wahai Raja’ .. Asshadu an laa ilaaha illallah wa asyhaddu anna Muhammadan Rasulullah.” Kupalingkan beliau kearah kiblat dan tidak lama kemudian bilau menghembuskan nafas terakhir.
Aku pejamkan kedua matanya, aku tutup tubuhnhya dengan kain, lalu kututupi pintu ruangan itu rapat-rapa. Pada saat utusan istri khalifah, ingin menegoknya aku menghalangi pintu masuk sambil berkata, “Lihatlah dia baru bisa tidur setalah gelisah smelam suntuk. Karena itu biarkan dia itu untuk ketenangannya.”
Syukurlah, Ketika utusan istri Sulaiman bin Abdul Malikmenyampaikan alasanku diterima dengan baik oleh istri khalifah. Dia yakin kalau suaminya sedang tidur. Aku mengunci pintu dengan menmpatkan penjaga yang kupercaya sambil berpesan kepadanya, “Jangan izinkan seorangpun masuk hingga aku kembali nanti.”
Kemudian aku pergi untuk menemui manusia. Ketika itu mereka bertanya, “Bagimana keadaan Amirul Mukminin?” Akiu menjawab, “Belum pernah beliau setenang ini semnjak sakitny. “Alhamdulillah, kata mereka.
Setelah itu aku meminta agar Ka’ab bin Hamiz mengumpulkan semua keluarga khalifah di masjid Dabik. Setelah semuanya hadir aku berkata, “Berbai’atlah kalian kepada orang yang tercantum namanya dalam surat ini. “Mereka berkata, “Kami sudah berbai’at kemarin, mengapa harus berbai’at lagi?” Aku berkata, “Inilah adalah perintah Amirul Mukminin. Kalian harus mentaati perintahnya untuk membai’at ornag tersebut namanya dalam surat ini.”
Satu persatu merekapun berbai’at, Setelah kulihat segalanya berjalan lancer, baru aku katakana, “Sesungguhnya Amirul Mukminin telah wafat, inna lillah wainna ilaihi raji’un..”
Aku membaca surat wasiat Amirul Mukminin, ketika kusebutkan nama Umar bin Abdul Aziz, spontan Hisyam bin Abdul Malik berteriak, “Aku tidak akan membai’at dia selamanya! “Aku berkata, “Kalau begitu -demi Allah- Aku akan memenggal lehermu, bersegerahlah engkau bai’at dia.” Akhirnya sambil menyeret kedua kakinya dia berjalan menuju Umar bin Abdul Aziz, lalu berkata, “Inna lillahi wa inna illahi roji’un” (yakin beliau menyesali mengapa beliau harus mengemban tugas khalifah).
Itulah bai’at yang dengannya Allah memperbaharui keislaman dan meninggikan panji-panjinya.
Sungga beruntung khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dan selamatlah jalannya. Dengan mengangkat aats Umar bin Abdul Aziz berarti beliau telah menyelamatkan diri cdari tanggung jawab di hadapan Allah. Selamatlah menteri Raja’ bin Haiwah yang tulus setelah merealisasikan nasehat bagi Allah, RasulNya dan imam-imam kaum muslimin. Semoga Allah membalas teman akrab yang akrab yang shalih dengan balasan yang baik dan menggatinya dengan pahala. Dengan kecerdasannya mampu menunjukkan jalan terbaik bagi para penguasa.
Buku Mereka adalah Para Tabi’in, Kisah-kisah paling menakjubkan yang belum tertandingi hingga hari ini, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan XVIII, 2016