ARTIKELTafsir Al-Qur'an

Tafsir Surat Ath-Thallaq

Tafsir Surat Ath-Thallaq

( Talak )

Surat Madaniyyah

Surat Ke-65 : 12 Ayat

 

 

بِسْمِ اللهِ الَرْحَمنِ الَرحِيمِ

Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Ath-Thalaaq, Ayat 1

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَطَلِّقُوْهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَاَحْصُوا الْعِدَّةَۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ رَبَّكُمْۚ لَا تُخْرِجُوْهُنَّ مِنْۢ بُيُوْتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍۗ وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يَّتَعَدَّ حُدُوْدَ اللّٰهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهٗ ۗ لَا تَدْرِيْ لَعَلَّ اللّٰهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذٰلِكَ اَمْرًا

“Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar) [Maksudnya, istri-istri itu hendaklah ditalak di waktu suci sebelum dicampuri. Tentang masa ‘iddah, lihat surat al-baqarah ayat 228, 234 dan surat ath-Thalaaq ayat 4], dan hitunglah waktu idah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru [“Suatu hal yang baru, ” maksudnya ialah keinginan dari suami untuk rujuk kembali apabila talaqnya baru dijatuhkan sekali atau dua kali].” (1)

Wanita Ditalak Pada Waktu Mereka Dapat Menghadapi Iddah-Nya, Ia Tidak Boleh Keluar Dari Rumahnya, Serta Keharusan Menghitung Waktu Iddah

Firman itu pertama kali ditujukan kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sebagai penghormatan kemudian ditujukan kepada umat muslim seluruh nya, mana Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, {يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَطَلِّقُوْهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ} “Hai Nabi, apabila kamu men- ceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (mengbadapi) iddahnya (yang wajar).”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar telah menceraikan istrinya ketika sedang haidh. “Umar pun mencerita- kannya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan beliau marah seraya bersabda:

لِيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ تَحِيْضَ فَتَطْهُرَ، فَإِن بَدَا لَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا فَلْيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِيْ أَمْرَ بِمَا اللهُ

“Sebaiknya dia mengembalikannya dan menahannya hingga dia bersuci dari haidh. Bila pada saat itu dia ingin menceraikan-nya maka ceraikanlah dalam keadaan suci, sebelum disetubuhi. Itulah iddah yang diperintahkan oleh Allah.”

Demikianlah riwayat al-Bukhari dan dia juga telah meriwayat-kannya di beberapa pembahasan lain dalam kitabnya. Begitu pula Muslim, yang lafazhnya adalah sebagai berikut.

فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِيْ أَمَرَ اللهُ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ

“Itulah ‘iddah Allah perintahkan dalam menceraikan yang istri,”

Riwayat yang tidak kalah pentingnya dengan ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di kitab Shahiih-nya melalui jalur Ibnu Juraij, ia berkata: “Telah mengabarkan kepadaku Abuz Zubair, bahwasanya ia telah mendengar Abdurrahman bin Aiman mantan budak ‘Azzah bertanya kepada Ibnu ‘Umar, sementara Abuz Zubair mendengarkan, ‘Bagaimana pendapatmu tentang seorang yang menceraikan istrinya ketika sedang haidh?’ Dia menjawab, Ibnu ‘Umar telah menceraikan istrinya ketika sedang haidh di zaman Rasulullah, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun laki-laki bersabda:

لِيُرَاجِعْهَا – فَر دَّهَا وَقَالَ – إِذَا طَهُرَتْ فَلْيُطَلِّقْ أَوْ يُمْسِكْ

“Sebaiknya dia mengembalikannya. Apabila perempuan itu telah bersuci, dia boleh menceraikannya atau menahannya.”

Ibnu ‘Umar berkata, “Dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pun membaca ayat, {يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَطَلِّقُوْهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ} ‘Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).”

Mengenai firman-Nya, {فَطَلِّقُوْهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ} “Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” Abdullah berkata, “Yakni pada masa suci dan tidak disetubuhi pada masa itu.”

Pernyataan yang sama juga yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, “Atha’, Mujahid, al-Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah, Maimun bin Mahran dan Muqatil bin Hayyan, yaitu riwayat dari ‘Ikrimah dan adh- Dhahhak.

Tentang firman-Nya, “Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar),” ‘Ali bin Abi Thalhah menuturkan dari Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Sang suami dilarang menceraikan istrinya ketika sedang haidh atau dalam keadaan suci dan telah disetubuhi. Akan tetapi sang suami harus membiarkannya hingga bersuci dari haidh lalu menceraikannya sekali cerai.”

‘Ikrimah berkata, “Dalam firman-Nya, ‘Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) kata al-iddah (‘iddah) artinya ath-thuhr (bersuci) dan al-qur-u artinya al-haidhah (sekali haidh). Seorang suami dapat menceraikan istrinya ketika hamil setelah diketahui kehamilannya dengan jelas. Ia tidak boleh menceraikan istrinya setelah melakukan jima dengannya, dan ia tidak mengetahui apakah istrinya itu hamil atau tidak?

Dari sini para fuqaha membagi hukum talak menjadi talak sunnah dan talak bid’ah. Talak sunni adalah menceraikan istri yang sedang suci tanpa bersetubuh dahulu di masa suci itu, atau menceraikan istrinya yang jelas-jelas hamil. Adapun talak bid’i adalah menceraikan istri yang sedang haidh atau yang sedang suci tapi telah disetubuhi sehingga status hamil atau tidaknya tidak jelas. Macam (talak) yang ketiga adalah selain keduanya, yakni tidak sunni juga tidak bid’i, yaitu mentalak gadis kecil atau yang sudah menopause yang belum digauli.

Firman-Nya, {وَاَحْصُوا الْعِدَّةَۚ} “Dan hitunglah waktu ‘iddah itu, yakni hafalkan dan ketahui awal dan akhirnya agar iddahnya tidak lama sehingga menghalanginya untuk segera menikah lagi. {وَاتَّقُوا اللّٰهَ رَبَّكُمْ} “Serta bertakwalah kepada Allah Rabb-mu,” terhadap perbuatan itu.

Kewajiban Nafkah Dan Tempat Tinggal Semasa Iddah Adalah Kewajiban Suami. Ketentuan Ini Berlakupada Masa Iddah Yang Boleh Dirujuk Lagi

Firman-Nya, {لَا تُخْرِجُوْهُنَّ مِنْۢ بُيُوْتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ} “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (di- izinkan) ke luar. “Maksudnya, pada waktu iddah, sang istri berhak mendapatkan tempat tinggal. Maka sang suami tidak boleh me- ngeluarkannya. Si wanita pun tidak boleh keluar sendiri, karena dirinya masih terkait dengan hak suami.

Firman-Nya, {اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍۗ} “Kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.” Maksudnya, sang istri tidak boleh keluar dari rumah mereka, kecuali jika dirinya melakukan perbuatan keji secara terang-terangan. Jika demikian, maka ia diperkenankan keluar dari rumah.

Yang dimaksud dengan kekejian yang terang adalah perbuatan zina, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radiyallahu ‘anhu, Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma, Sa’id bin al-Musayyib, asy-Sya’bi, al-Hasan, Ibnu Sirin, Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Abu Qilabah, Abu Shalih, adh-Dhahhak, Zaid bin Aslam, ‘Atha” al-Khurasani, as-Suddi, Sa’id bin Abi Hilal dan yang lainnya.” Maksud yang lain dari perbuatan keji yang terang adalah apabila sang istri durhaka kepada suami dan menyakiti keluarganya, baik secara fisik maupun dengan perkataan. Demikianlah pendapat Ubay bin Ka’b , Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma, Ikrimah dan yang lainnya.

Firman-Nya, {وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ} “Itulah hukum-hukum Allah,” yakni syari’at dan ajaran-Nya. {وَمَنْ يَّتَعَدَّ حُدُوْدَ اللّٰهِ} “Dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah,”yakni keluar darinya, melanggarnya dan tidak mempraktekkannya. {فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهٗ} “Maka sesung- guhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri,” dengan perbuatannya itu.

Kemaslahatan Ber-‘Iddah Di Rumah Suami

Firman-Nya, {لَا تَدْرِيْ لَعَلَّ اللّٰهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذٰلِكَ اَمْرًا} “Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru,” Kami sengaja membiarkan istri yang ditalak untuk tinggal di rumah suaminya selama masa ‘iddah dengan harapan agar sang suami menyesali perbuatannya dan ingin merujuknya. Dan apabila ia memutuskan untuk rujuk, maka hal itu dapat dilakukan dengan lebih mudah.

Az-Zuhri berkata dari Ubaidullah bin ‘Abdillah, dari Fathimah binti Qais, ia mengatakan bahwa maksud firman-Nya, “Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru,” adalah rujuk.”

Demikian pula pendapat asy-Sya’bi, Atha’, Qatadah, adh- Dhahhak, Muqatil bin Hayyan dan ats-Tsauri.

Istri Yang Terputus Tidak Berhak Men- Dapatkan Nafkah Dan Tempat Tinggal

[Maksud dari wanita yang terputus adalah yang tidak boleh dirujuk kembali, kecuali setelah menikah dengan orang lain]

Dari sini sebagian ulama Salaf dan yang sefaham dengan mereka dari generasi setelahnya berpendapat bahwa istri yang terputus hubungannya dengan suami tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Mereka juga berargumen menggunakan hadits Fathimah binti Qais al-Fihriyah ketika diceraikan oleh suaminya yang bernama Abu ‘Amr bin Hafsh sebanyak tiga kali dan pada saat itu dia sedang berada jauh di Yaman. Keputusan sang suami disampaikan kepadanya dan dia juga mengutus seorang wakil yang membawa gandum (yakni nafkah). Sang isteri menganggap pemberian tersebut sedikit, maka sang suami berkata, “Demi Allah, sekarang saya tidak wajib lagi memberimu nafkah.” Sang perempuan pun menghadap Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan beliau bersabda:

لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفْقَةٌ

“Kamu tidak berhak mendapatkan nafkah darinya.”

Dalam riwayat Muslim (ditambahkan):

وَلَا سُكْنَى

“Begitu pula tempat tinggal.”

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun memerintahkannya untuk ber’iddah di rumah Ummu Syuraik, kemudian (selang beberapa waktu) beliau bersabda:

تِلْكَ امْر أَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِيْ، اِعْتَدِيْ عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ، فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِيْنَ ثِيَابَكِ

“Itulah wanita yang banyak dilihat oleh para Sahabatku. [Yakni ketika ‘iddah di rumah Ummu Syuraik. Para Sahabat sering keluar masuk ke rumah Ummu Syuraik, dan mereka melihatnya].” (Kemudian beliau bersabda), “Ber-iddah-lah di rumah Ibnu Ummi Maktum, sebab ia seorang yang tidak bisa melihat sehingga engkau bebas berpakaian.”

Diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dari jalur yang lain, dengan lafazh:

انْظُرِي يَا بِنْتَ آلِ قَيْسٍ، إِنَّمَا النَّفَقَةُ وَالسُّكْنَى لِلْمَرْأَةِ عَلَى زَوْجِهَا مَا كَانَ لَهُ عَلَيْهَا رَجْعَةٌ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ عَلَيْهَا رَجْعَةٌ فَلَا نَفَقَةَ وَلَا سُكْنَى. اخْرُجِي فَانْزِلِي عَلَى فُلَانَةٍ”. ثُمَّ قَالَ: “إِنَّهُ يُتحَدّث إِلَيْهَا، انْزِلِي عَلَى ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ أَعْمَى لَا يَرَاكِ

“Perhatikanlah wahai anak perempuan keluarga Qais, sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal itu diberikan kepada istri yang masih bisa dirujuk oleh suaminya. Apabila sang suami tidak mungkin rujuk lagi kepadanya, maka dia tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Keluarlah dan tinggal- lah bersama fulanah.”

Kemudian setelah waktu berlalu, beliau kembali bersabda kepadanya: “Tinggallah bersama Ibnu Ummi Maktum karena dia buta sehingga tidak melihatmu.” Sampai akhir hadits.

Abu Qasim ath-Thabrani juga telah meriwayatkan dari ‘Amir asy-Sya’bi bahwa dirinya bertandang ke rumah Fathimah binti Qais -saudari perempuan adh-Dhahhak bin Qais al-Qurasyi-. Suaminya adalah Abu “Amr bin Hafsh bin al-Mughirah al-Makhzumi. Fathimah berkata, “Sesungguhnya Abu ‘Amr bin Hafsh telah mengutus seseorang membawa pesan menceraikan aku ketika dia bersama para tentara pergi ke Yaman. Saya pun meminta nafkah dan tempat tinggal kepada para walinya, tapi mereka mengatakan bahwa mereka tidak mendapat titipan atau dipesan untuk melakukannya.”

Dia pun pergi menghadap Rasulullah Subhanallahu wa ta’ala dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu ‘Amr bin Hafsh telah mengutus seseorang membawa pesan yang isinya menceraikan aku, maka pun meminta nafkah dan tempat tinggal kepada keluarganya, tapi mereka mengatakan bahwa dia tidak mengirimkan apa pun kepada mereka.” Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda:

إِنَّمَا النَّفَقَةُ وَالسُّكْنَى لِلْمَرْأَةِ إِذَا كَانَ لِزَوْجِهَا عَلَيْهَا رَجْعَةٌ، فَإِذَا كَانَتْ لَا تَحِلُّ لَهُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَلَا نَفَقَةَ لَهَا وَلَا سُكْنَى

“Sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal itu adalah untuk istri yang mungkin dirujuk oleh suaminya. Apabila sang istri sudah tidak halal lagi (tidak mungkin dirujuk lagi), kecuali jika ia menikah dengan laki-laki lain, maka dia tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.”
Diriwayatkan juga oleh an-Nasa-i.”

 

Ath-Thalaaq, Ayat 2-3

فَاِذَا بَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ فَارِقُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ وَّاَشْهِدُوْا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنْكُمْ وَاَقِيْمُوا الشَّهَادَةَ لِلّٰهِ ۗذٰلِكُمْ يُوْعَظُ بِهٖ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ ەۗ وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا، وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

“Maka apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujuklah (kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya (2) dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (3)

 

Perintah Berbuat Baik Kepada Istri Yang Dicerai, Baik Ia Akan Dirujuk Kembali Ataupun Akan Dilepaskan

Allah Subhanallahu wa ta’ala menyatakan bahwa apabila istri yang ber-‘iddah hampir menghabiskan masa ‘iddahnya, namun masa iddah belum total selesai, maka di saat seperti itu sang suami bisa saja ber-azzam (bertekad kuat) untuk mempertahankannya, yakni merujuknya kembali kepada lingkup pernikahannya dan meneruskan kewajiban layaknya seorang suami {بِمَعْرُوْفٍ} “Dengan baik,”yakni berbuat baik kepadanya di kala tinggal bersamanya. Atau ia bertekad melepaskannya dengan baik, yakni tidak mencacinya atau bersikap keras kepadanya. Ia harus menceraikannya dengan cara yang baik dan benar.

Perintah Mengadakan Saksi Saat Merujuk

Firman-Nya, {وَّاَشْهِدُوْا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنْكُمْ} “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.”Maksudnya, apabila kalian berniat rujuk, maka adakanlah dua saksi, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, dari Imran bin Hushain. Ia ditanya oleh seorang laki-laki yang menceraikan istrinya kemudian melakukan hubungan intim dengannya sementara itu talak serta rujuknya tidak dipersaksikan. Maka beliau menjawab: “Engkau mentalak dan merujuk tidak sesuai sunnah. Persaksikan- lah atas penceraian dan rujukmu. Janganlah engkau ulangi lagi hal semacam itu.”

Ibnu Juraij berkata, “Atha’ pernah berkata tentang firman Allah, “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu artinya tidak boleh menikah, mentalak dan merujuk tanpa kesaksian orang yang adil. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah kecuali karena adanya udzur atau alasan yang diterima oleh syara’ (dalam melakukan hal itu).”

Firman-Nya, {ذٰلِكُمْ يُوْعَظُ بِهٖ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ} “Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat,”yakni apa yang Kami perintahkan kepada kalian berupa adanya persaksian dan menegakkan kesaksian, hanya akan dijalankan oleh orang-orang yang beriman kepada Allah dan adanya hari Akhir. Sesungguhnya Allah telah mensyari’atkannya untuk orang yang takut terhadap hukuman-Nya di hari Akhirat.

Allah Memberikan Jalan Keluar Bagi Orang Yang Bertakwa, Memberikan Rizki Serta Mencukupi Kebutuhan Mereka

Firman-Nya, {وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ} “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya,” yakni barangsiapa bertakwa kepada Allah Subhanallahu wa ta’ala terhadap perintah dan larangan-Nya, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar bagi urusannya, dan menganugerahkan rizki kepadanya dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni tidak terlintas di benaknya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Sesungguhnya ayat yang paling menyeluruh (universal) di al-Qur-an adalah ayat, {اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ} ‘Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.’ (QS. An-Nahl: 90) dan sesungguhnya ayat paling besar membuahkan kelegaan adalah ayat, Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.”

‘Ikrimah berkata, “Barangsiapa mentalak sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Subhanallahu wa ta’ala maka Allah Subhanallahu wa ta’ala akan memberinya jalan keluar.” Demikian pula yang diriwayatkan dari Ibnu’Abbas Radiyallahu ‘anhuma dan adh-Dhahhak.

Ibnu Mas’ud dan Masruq berkata, “Dari firman-Nya, {وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا} ‘Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah nis- caya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar,’ diketahui bahwa Allah jika berkehendak, maka Dia memberi, dan jika berkehendak, Dia tidak memberi, {وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ} ‘Dari arah yang tidak disangka-sangkanya,’ yakni dari arah yang tidak diperkirakan.”

Qatadah berkata, “Firman-Nya, Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar, yakni dari kesamaran-kesamaran atau kerancuan permasalahan, dan dari kesulitan menjelang mati. Dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya’, yakni dari arah yang tidak diharapkan atau diangan-angankan.”

Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, {وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ} “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. “Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma bahwa suatu hari dirinya dibonceng Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka beliau bersabda kepadanya:

يَا غُلَامُ إِنِي مُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ اِحْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ احفظِ اللهَ تجدْهُ تُجاهَكَ وإذا سألتَ فلتسألِ اللهَ وإذا استعنتَ فاستعنْ باللهِ واعلمْ أنَّ الأمةَ لو اجتمعوا على أن ينفعوك لم ينفعوك إلا بشيءٍ قد كتبهُ اللهُ لك ولو اجتمعوا على أن يَضروك لم يَضروك إلا بشيٍء قد كتبهُ اللهُ عليك رُفعتِ الأقلامُ وجفَّتِ الصُّحفُ

“Wahai anak muda, saya akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat. Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu. Apabila kamu meminta sesuatu, maka mintalah kepada Allah, dan apabila kamu memerlukan pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, kalau sekiranya mereka (manusia) bersatu ingin memberikan suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan mampu memberikan manfaat kepa- damu, kecuali jika Allah telah menentukannya untukmu. Dan jika mereka bersatu untuk mencelakaimu maka mereka tidak akan mencelakaimu, kecuali jika telah Allah takdirkan mampu atasmu. Pena telah diangkat dan catatan telah mengering.”
Diriwayatkan juga oleh Imam at-Tirmidzi dan dia berkata: “Ini adalah hadits hasan shahih.”

Firman-Nya, { اِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖ} “Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya,” yakni Dia melaksanakan seluruh hukum dan ketetapan-Nya pada makhluk-Nya sesuai dengan kehendak dan keinginan-Nya. Firman-Nya, { قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا} “Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu,” sebagaimana firman-Nya, { وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهٗ بِمِقْدَارٍ} “Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukuran- nya.” (QS. Ar-Ra’d: 8)

Ath-Thalaaq, Ayat 4-5

وَالّٰۤـِٔيْ يَىِٕسْنَ مِنَ الْمَحِيْضِ مِنْ نِّسَاۤىِٕكُمْ اِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلٰثَةُ اَشْهُرٍۙ وَّالّٰۤـِٔيْ لَمْ يَحِضْنَۗ وَاُولَاتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّۗ وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ اَمْرِهٖ يُسْرًا، ذٰلِكَ اَمْرُ اللّٰهِ اَنْزَلَهٗٓ اِلَيْكُمْۗ وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّاٰتِهٖ وَيُعْظِمْ لَهٗٓ اَجْرًا

“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya (4) Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu; barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.” (5)

‘Iddah Yang Sudah Menopause Dan Yang Belum Haidh

Allah Subhanallahu wa ta’ala menjelaskan tentang ‘iddah perepmpuan yang sudah menopause, yaitu yang telah berhenti haidh karena tua, bahwa iddah-nya adalah tiga bulan sebagai ganti tiga kali bersuci (tsalaatsata quruu’) bagi yang masih haidh. Demikianlah yang dijelaskan pada surat al-Baqarah (yakni ayat 228). Begitu pula dengan anak kecil tentang perempuan yang belum haidh, iddah-nya seperti perempuan yang sudah yang menopause, yaitu tiga bulan. Oleh karena itu Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, { وَّالّٰۤـِٔيْ لَمْ يَحِضْنَ } “Dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh.

Mengenai firman-Nya, {اِنِ ارْتَبْتُمْ} “Jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya),“ terdapat dua pendapat.

Pendapat yang pertama, yaitu pendapat sekelompok ulama Salaf seperti Mujahid, az-Zuhri, dan Ibnu Zaid. Artinya, apabila mereka melihat darah dan ragu-ragu apakah itu darah haidh atau istihadhah.

Pendapat yang kedua, apabila kalian ragu-ragu akan iddah mereka dan tidak mengetahui (hitungan-hitungan)nya, maka iddahnya tiga bulan. Pendapat ini diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair dan merupakan pendapat pilihan Ibnu Jarir.”

Pendapat kedua ini lebih jelas maknanya, dan Ibnu Jarir berargumen dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’b yang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya (ketentuan iddah) beberapa perempuan tidak disebutkan di dalam al-Qur-an, apakah dia anak kecil, tua, atau sedang hamil.” Maka Allah Subhanallahu wa ta’ala pun menurunkan ayat,

وَالّٰۤـِٔيْ يَىِٕسْنَ مِنَ الْمَحِيْضِ مِنْ نِّسَاۤىِٕكُمْ اِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلٰثَةُ اَشْهُرٍۙ وَّالّٰۤـِٔيْ لَمْ يَحِضْنَ وَاُولَاتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّۗ

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh, Dan perempuan perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”

Lebih sederhana dari yang disebutkan di atas, Ibnu Abi Hatim juga telah meriwayatkannya dari Ubay bin Ka’b, ia berkata, “Saya mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bahwa ketika ayat di surat al- Baqarah  berisi tentang iddah kaum perempuan diturunkan, para penduduk Madinah berkata, ‘Mengenai ‘iddah kaum perempuan, masih ada perempuan yang belum disebutkan di dalam al-Qur-an, yaitu anak kecil, orang tua yang telah menopause dan yang sedang hamil.’ Maka turunlah ayat, { وَالّٰۤـِٔيْ يَىِٕسْنَ مِنَ الْمَحِيْضِ مِنْ نِّسَاۤىِٕكُمْ اِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلٰثَةُ اَشْهُرٍۙ وَّالّٰۤـِٔيْ لَمْ يَحِضْنَ }”Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh.”

‘Iddah Perempuan Hamil

Firman-Nya, { وَاُولَاتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّۗ } “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. ” Allah Subhanallahu wa ta’ala menjelaskan bahwa perempuan yang hamil, masa iddahnya adalah hingga melahirkan, sekalipun jarak setelah ditalak atau ditinggal mati sangatlah dekat. [Digambarkan seperti jarak perahan yang pertama dengan perahan yang ke- dua kalinya. Karena seekor unta apabila selesai diperah, maka dibiarkan dulu sebentar agar ambing susunya berisi lagi. Setelah penuh, baru diperah lagi untuk yang kedua kalinya].” Demikianlah pendapat mayoritas ulama Salaf dan Khalaf, sebagaimana yang tercantum dengan jelas dalam al-Qur-an dan al-Hadits.

Imam al-Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Salamah, ia berkata, “Seorang laki-laki mendatangi Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhuma, sedang Abu Hurairah saat itu duduk (menyaksikannya). Laki-laki itu berkata, “Fatwakan kepada saya mengenai seorang perempuan yang melahirkan setelah ditinggal suaminya selama 40 hari.’ Ibnu Abbas berkata, Iddahnya yaitu yang paling akhir dari kedua masa ‘iddah’ tersebut. [Maksud pendapat ini: “Iddahnya ada dua kemungkinan, mungkin 4 bulan 10 hari, mungkin pula sampai melahirkan, tergantung mana saja waktu yang pa- ling akhir terjadi. Misalnya, jika ia melahirkan sebelum 4 bulan sepuluh hari, maka setelah ia melahirkan belumlah selesai masa iddahnya, karena harus menunggu masa yang paling akhir, yakni 4 bulan sepuluh hari. Demikian pula apabila ia telah lewat masa 4 bulan 10 hari terhitung sejak ditinggal sua- minya, namun belum juga melahirkan, maka ketika sampai 4 bulan 10 hari, ‘iddahnya belumlah selesai, karena ia harus menunggu masa yang paling akhir dari dua pilihan masa ‘iddah, yakni sampai melahirkan. Setelah ia melahirkan, barulah “iddahnya selesai]. Saya pun membacakan ayat, Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungan- nya. Abu Hurairah berkata, ‘Saya bersama sepupuku (yakni Abu Salamah).’ Ibnu ‘Abbas s pun mengutus budaknya yang bernama Karib kepada Ummu Salamah untuk menanyakan masalah itu, maka Ummu Salamah berkata, “Suami Sabi’ah al-Aslamiyah telah terbunuh ketika dirinya sedang hamil. Setelah 40 hari dari kematian suaminya, dia melahirkan. Lalu dia dipinang dan Rasulullah menikahkan- nya. Pada saat itu Abus Sanabil salah seorang yang meminangnya.” Demikianlah hadits di atas diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari de- ngan ringkas, dan dia bersama Muslim juga meriwayatkannya dengan jalur yang lain (di pembahasan yang berbeda).”

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Miswar bin Makhramah, bahwa suami Sabi’ah al-Aslamiyah meninggal dunia ketika dirinya hamil. Beberapa hari kemudian dia melahirkan dan selang beberapa hari dari nifasnya, dia dipinang. Dia pun meminta izin kepada Rasulullah untuk menikah. Rasulullah mengizinkannya dan dia pun dinikahkan.” Diriwayatkan juga oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dalam shahih keduanya, juga Abu Dawud, an-Nasa-i dan Ibnu Majah dari berbagai jalur darinya.

Diriwayatkan oleh Muslim bin Hajjaj, dari ‘Ubaidillah bin “Abdillah bin ‘Utbah, bahwa bapaknya melayangkan surat yang memerintahkan ‘Umar bin ‘Abdillah bin al-Arqam az-Zuhri untuk mendatangi Sabi’ah binti al-Harits al-Aslamiyah dan bertanya tentang dirinya serta fatwa Rasulullah terhadap dirinya. Dalanm surat jawaban, ‘Umar bin ‘Abdillah menyatakan bahwa Sabi’ah telah mengabarkan kepadanya bahwa Sabi’ah dahulu adalah isteri Sa’d bin Khaulah, salah seorang peserta perang Badar. Pada haji Wada’ suaminya meninggal dunia dan dirinya sedang hamil. Tidak lama setelah suaminya wafat, dia melahirkan. Setelah selesai nifas, dia berdandan untuk menerima pertunangan, maka Abus Sanabil bin Ba’kak mengunjunginya dan berkata, “Mengapa kamu berdandan? Barangkali kamu ingin menikah. Demi Allah, kamu tidak boleh menikah kecuali setelah lewat empat bulan sepuluh hari.” Sabi’ah berkata, “Ketika dia berkata demikian kepadaku, maka sore harinya saya langsung mengumpulkan pakaian dan menghadap Rasulullah. Saya bertanya kepada beliau dan beliau berfatwa bahwa saya telah halal ketika melahirkan. Beliau membolehkan saya untuk menikah jika ada orang yang melamarku.” Demikianlah riwayat Muslim, adapun al-Bukhari menyebutkannya secara ringkas.”

Firman-Nya, {وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ اَمْرِهٖ يُسْرًا} “Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya,” yakni memudahkan urusannya dan segera memberikan jalan keluar. Kemudian Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, {ذٰلِكَ اَمْرُ اللّٰهِ اَنْزَلَهٗٓ اِلَيْكُمْ} “Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu,” yakni hukum dan syari’at-Nya yang diturunkan kepada kalian melalui perantaan Rasulullah.

Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, {وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّاٰتِهٖ وَيُعْظِمْ لَهٗٓ اَجْرًا} “Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya,” yakni menghilangkan darinya bahaya yang ditakuti, dan memberikan kepadanya pahala yang besar atas pekerjaan yang ringan.

 

 

 

 

 

Disalin ulang dari:  Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 9, Cetakan ke-sembilan Muharram 1435 H – November 2013 M, Pustaka Ibnu Umar Jakarta

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini:

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker