ARTIKELTafsir Al-Qur'an

Tafsir Surat Al-Fajar

Tafsir Surat Al-Fajar

( Fajar )

Surat Makkiyyah

Surat Ke-89 : 30 Ayat

 

Membaca Surat Al-Fajar Di Dalam Shalat

An-Nasa’I meriwayatkan dari Jabir, ia berkata, “Mu’adz sedang shalat, seorang laki-laki datang, lalu shalat bersamanya. Mu’adz memanjangkan shalatnya, sehingga orang tersebut meninggalkannya dan shalat sendirian di pojok masjid, kemudian ia pergi. Berita tersebut sampai ke telinga Mu’adz, maka ia berkata, “Dia munafik.” Lalu peristiwa itu disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka beliau menanyakannya kepada orang tersebut. Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk shalat bersamanya, tapi ia malah memanjangkan shalatnya, lalu aku memisahkan diri, dan aku shalat di pojok masjid, lalu aku memberi makan untaku.”

Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada Mu’adz:

أَفَتَّانٌ يَا مُعَاذُ؟ أيْنَ أَنْتَ مِنْ , سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْاَعْلَى , وَالشَّمْسِ وَضُحٰىهَا , وَالْفَجْرِ , وَاللَّيلِ إِذَا يَغْشَىٰ؟

“Apakah engkau tukang fitnah wahai Mu’adz? Mengapa engkau tidak membaca surat

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْاَعْلَى, وَالشَّمْسِ وَضُحٰىهَا, وَالْفَجْرِ, وَاللَّيلِ إِذَا يَغْشَىٰ.”

 

بِسْمِ اللهِ الَرْحَمنِ الَرحِيمِ

Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

AL-FAJAR, AYAT 1-14

وَالْفَجْرِ، وَلَيَالٍ عَشْرٍ، وَّالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ، وَالَّيْلِ اِذَا يَسْرِ، هَلْ فِيْ ذٰلِكَ قَسَمٌ لِّذِيْ حِجْرٍ، اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ، اِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ، الَّتِيْ لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِى الْبِلَادِ، وَثَمُوْدَ الَّذِيْنَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ، وَفِرْعَوْنَ ذِى الْاَوْتَادِ، الَّذِيْنَ طَغَوْا فِى الْبِلَادِ، فَاَكْثَرُوْا فِيْهَا الْفَسَادَ، فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ، اِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ

“Demi fajar (1) demi malam yang sepuluh (2) demi yang genap dan yang ganjil (3) demi malam apabila berlalu (4) Adakah pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) bagi orang-orang yang berakal? (5) Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap (kaum) ‘Ad? (6) (yaitu) penduduk Iram (ibukota kaum ‘Ad) yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi (7) yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lain (8) dan (terhadap) kaum samud yang memotong batu-batu besar di lembah (9) dan (terhadap) Fir‘aun yang mempunyai pasak-pasak (bangunan yang besar) (10) yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri (11) lalu mereka banyak berbuat kerusakan dalam negeri itu (12) karena itu Tuhanmu menimpakan cemeti azab kepada mereka (13) sungguh, Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (14)

 

Tafsir Waktu Fajar Dan Ayat Sesudahnya

Arti kata fajar sudah dikenal, yaitu waktu shubuh. Demikianlah yang dikatakan oleh ‘Ali Radiyallahu ‘anhu, Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma, ‘Ikrimah, Mujahid dan as-Suddi. Diriwayatkan dari Masruq dan Muhammad bin Ka’ab, “Yang dimaksud dengan fajar di sini adalah fajar hari raya Qurban secara khusus, sebagai penutup malam-malam yang sepuluh.” Maksud lain dari malam-malam yang sepuluh ialah sepuluh malam bulan Dzullhijjah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma, Ibnu Zubair, Mujahid, dan beberapa ulama Salaf dan ulama Khalaf.

Telah diriwayatkan secara shahih dalam Shahiih al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma secara marfu’:

مَا مِنْ أَيَّامٍ اَلْعَمَلُ الصَّالِحُ أَحَبُّ إِلَى اللهِ فِيهِنَّ مِنْ هَـٰذِهِ الْأَيَّامِ

“Tidak ada hari-hari di mana amal shahlih lebih disukai oleh Allah daripada hari-hari ini.” Yakni, sepuluh hari di awal bulan Dzulhijjah.

Mereka bertanya, “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab:

وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ إلَّا رَجُلًا خَرَجَ بِنَفْسِه وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

“Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar berjihad dengan jiwa dan hartanya, kemudian dia tidak kembali lagi dengan apa pun (dari jiwa dan hartanya itu, yakni mati syahid).”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ العَشْرَ عَشْرُ الأَضْحَىٰ، وَالوِتْرَ يَوْمُ عَرْفَةَ، وَالشَّفْعَ يَوْمُ النَّحْرِ

“Sesungguhnya ‘malam sepuluh’ itu adalah sepuluh hari di bulan Qurban (Adh-ha), dan ‘yang ganjil’ adalah hari ‘Arafah. Sedangkan yang genap adalah hari Nahr (tanggal 10 Dzulhijjah).”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh an-Nasa’i. Sanad perawi hadits tersebut tidak bermasalah. Akan tetapi menurut penulis (Ibnu Katsir), matan hadits ini mengandung nakarah (kemungkaran) jika ia dinyatakan marfu’. Wallahu a’lam.

Selanjutnya firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {وَّالشَّفْعِ وَالْوَتْرِۙ} “Demi yang genap dan yang ganjil.” Dalam hadits di atas disebutkan bahwa hari yang ganjil ialah hari ‘Arafah, karena jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan hari yang genap ialah hari Qurban (nahar), karena jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma, ‘Ikrimah, dana dh-Dhahhak. Tentang kedua kata tersebut (yang genap dan yang ganjil) terdapat beberapa pendapat yang lain.

Tafsir Tentang Malam

Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, {وَالَّيْلِ اِذَا يَسْرِۚ} “Demi malam apabila berlalu.” Al-‘Aufi berkata dari Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma, “Yakni apabila telah pergi.” ‘Abdullah bin az-Zubair berkata tentang, “Demi malam apabila berlalu,” hingga sebagian malam pergi meninggalkan sebagian yang lain. Mujahid, Abul ‘Aliyah, Qatadah, Malik berkata dari Zaid bin Aslam dan Ibnu Zaid tentang ayat, “Demi malam apabila berlalu,” yakni apabila berjalan.”

Selanjutnya firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {هَلْ فِيْ ذٰلِكَ قَسَمٌ لِّذِيْ حِجْرٍۗ} “Adakah pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) bagi orang-orang yang berakal?” Yakni bagi orang yang memiliki akal, nalar, logika dan agama. Akal disebut dengan حِجْر (pencegah, penghalang dan pembatas), karena akal dapat mencegah manusia dari melakukan tindakan dan ucapan yang tidak pantas baginya. Termasuk dalam terminology ini adalah حِجْرُ الْبَيْتِ (Hijr Ka’bah), karena ia menghalangi orang yang melaksanakan thawaf sehingga dia tidak bisa menempel dengan temboknya yang menghadap ke Syam. Juga termasuk dalam terminologi ini adalah حِجْرِ الْيَمَامَةِ (Hijr al-Yamamah), dan حِجْرِ الْحَاكِم عَلَى فُلَانِ yakni hakim melarang si fulan mengelola harta. Demikian pula dalam firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {وَيَقُوْلُوْنَ حِجْرًا مَّحْجُوْرًا} “Dan mereka berkata, ‘Hijran mahjuura.” (QS. Al-Furqaan: 22) [Kalimat ‘Hijran mahjuura’ adalah suatu ungkapan yang biasa dikatakan oleh orang Arab ketika menemui musuh yang tidak dapat dielakkan lagi, atau mereka  ditimpa suatu bencana yang tidak dapat dihindari (dicegah). Ungkapan ini berarti: “Semoga Allah menghindarkan (mencegah) bahaya itu dari saya.”] Semua ini berasal dari akar kata yang sama dan memiliki makna yang tidak berbeda.

Sumpah ini adalah sumpah dengan menggunakan wakti-waktu ibadah, dan dengan ibadah itu sendiri, seperti haji, shalat, dan ibadah lainnya, yang dilakukan oleh hamba-hamba yang taat dan bertakwa untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Mereka adalah orang-orang yang takut kepada-Nya, rendah diri di hadapan-Nya, serta khusyu’ semata-mata karena-Nya Subhanallahu wa ta’ala.

Keterangan Tentang Pembinasaan Kaum ‘Ad

Ketika Allah Subhanallahu wa ta’ala menyebutkan orang-orang  yang bertakwa, ibadah dan ketaatan mereka maka Dia berfirman sesudahnya, {اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍۖ} “Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan  bagaimana Rabb-mu berbuat terhadap kaum ‘Ad?” Mereka itu adalah orang-orang yang angkuh, sombong, bertindak sewenang – wenang, membangkang kepada-Nya, mendustakan para Rasul-Nya, dan mengingkari Kitab-Kitab-Nya.

Karenanya Allah Subhanallahu wa ta’ala mengingatkan bagaimana Dia memusnahkan, membinasakan dan menjadikan kaum ‘Ad ini sebagai bahan cerita dan pelajaran.

Kemudian Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, “Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Rabb-mu berbuat terhadap (kaum) ‘Ad? Yaitu penduduk Iram (ibukota kaum ‘Ad) yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi.” Mereka itulah kaum ‘Ad yang pertama. Mereka adalah keturunan ‘Ad bin Iram bin ‘Awsh bin Sam bin Nuh. Demikianlah pendapat Ibnu Ishaq.

Allah telah mengutus Rasul-Nya, Nabi Hud ‘Alaihi Sallam kepada mereka, tapi mereka mendustakan dan menentangnya. Maka Allah menyelamatkannya beserta orang-orang yang beriman dari mereka, dan Allah membinasakan mereka dengan angina topan yang sangat dingin.

سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَّثَمٰنِيَةَ اَيَّامٍۙ حُسُوْمًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيْهَا صَرْعٰىۙ كَاَنَّهُمْ اَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ فَهَلْ تَرٰى لَهُمْ مِّنْۢ بَاقِيَةٍ

“Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus; maka kamu melihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk). Maka adakah kamu melihat seorang pun yang masih tersisa di antara mereka?”
(QS. Al-Haqqah: 7-8)

Sungguh, Allah telah menyebutkan kisah mereka di beberapa ayat dalam al-Quran, agar kematian mereka dijadikan pelajaran oleh orang-orang yang beriman.

Firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {اِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِۖ} “Yaitu penduduk Iram (ibukota kaum ‘Ad) yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi,” Merupakan kalimat sambung (‘athaf bayan) sebagai penjelasan tambahan tentang mereka.

Selanjutnya firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {ذَاتِ الْعِمَادِ} “Yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi,” karena mereka menghuni rumah-rumah dari bulu yang diangkat tinggi dengan tiang-tiangnya yang kokoh. Mereka adalah manusia yang sangat kekar dan sangat kuat fisiknya di zaman mereka. Karena itulah, Nabi Hud mengingatkan mereka terhadap nikmat tersebut dan menasehati mereka agar mereka memanfaatkannya yntuk taat kepada Rabb mereka yang telah menciptakan mereka.

Dia (Hud) berkata (kepada kaum ‘Ad),

وَاذْكُرُوْٓا اِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاۤءَ مِنْۢ بَعْدِ قَوْمِ نُوْحٍ وَّزَادَكُمْ فِى الْخَلْقِ بَصْۣطَةً ۚفَاذْكُرُوْٓا اٰلَاۤءَ اللّٰهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Ingatlah ketika Dia (Allah Subhanallahu wa ta’ala) menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah setelah kaum Nuh, dan Dia lebihkan kamu dalam kekuatan tubuh dan perawakan. Maka ingatlah akan nikmat-nikmat Allah agar kamu beruntung.”
(QS. Al-A’raff: 69)

Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman,

فَاَمَّا عَادٌ فَاسْتَكْبَرُوْا فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَقَالُوْا مَنْ اَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً ۗ اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّ اللّٰهَ الَّذِيْ خَلَقَهُمْ هُوَ اَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً

“Maka adapun kaum ‘Ad, mereka menyombongkan diri di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran dan mereka berkata, “Siapakah yang lebih hebat kekuatannya dari kami?” Tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan mereka. Dia lebih hebat kekuatan-Nya dari mereka.”
(QS. Fushshilat: 15)

Dan disini Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, {الَّتِيْ لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِى الْبِلَادِۖ} “Yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lain.” Yakni, kabilah seperti mereka belum pernah diciptakan di selain negeri mereka, di mana kekuatan, kehebatan, serta ukuran postur mereka yang besar-besar (tidak ada tandingannya).

Mujahid berkata, “Iram adalah umat kuno, yakni kaum ‘Ad yang pertama.” Qatadah bin Da’amah dan as-Suddi berkata, “Sesungguhnya Iram adalah istana kerajaan kaum ‘Ad.” Dan ini adalah pendapat yang baik, bagus dan kuat.

Selanjutnya mengenai firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, “Belum pernah diciptakan seperti mereka itu, di negeri-negeri lain.” Ibnu Zaid mengembalikan dhamir “هَا” (dalam مِثْلُهَا) kepada lafazh عِمَاد (tiang-tiang) di ayat sebelumnya. Sehingga ayat tersebut diartikan “Yang belum pernah dibuat tiang-tiang seperti itu di negeri-negeri (yang lain).” Ini dikarenakan ketinggiannya. Dan ia berkata, “Mereka membangun tiang-tiang istana itu dengan bukit-bukit batu, di mana yang seperti itu belum pernah dibangun di negeri-negeri lain.”

Adapun Qatadah dan Ibnu Jarir mengembalikan dhamir “هَا” kepada kabilah. Maksudnya, kabilah seperti ‘Ad ini belum pernah diciptakan oleh Allah Subhanallahu wa ta’ala di negeri-negeri yang lain, di zaman mereaka.” Pendapat inilah yang benar. Sedangkan pendapat Ibnu Zaid dan mereka yang sependapat dengannya adalah pendapat yang lemah. Karena seandainya yang dimaksud seperti itu, maka Allah pasti berfirman لَمْ يُعْمَلْ (yang belum dibuat atau dibangun). Akan tetapi di sini Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, لَمْ يُخْلَقْ (“Yang belum pernah diciptakan.”) Yakni, “(Orang-orang seperti mereka) belum pernah diciptakan di negeri-negeri lain.”

Selanjutnya firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {وَثَمُوْدَ الَّذِيْنَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِۖ} “Dan (terhadap) kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.” Lafazh جَابُوا makanya adalah memotong-motong. Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma verkata, “Lafazh جَابُوا bermakna melubangi, jadi mereka memahatnya dan melubanginya.” Mujahid, Qatadah, adh-Dhahhak dan Ibnu Zaid juga menafsirkan demikian. Termasuk dalam terminology ini adalah ungkapan مُبْتَابَى النِّمَارِ yakni memakai kain wol yang bergaris [Dan mereka baru bisa memakainya jika mereka melubangi kain itu sehingga kepala bisa masuk dari lubang itu]. Dikatakan اِجْتَابَ الثّضوبَ yakni apabila seseorang membuat bukaan pada pakaian (untuk kepala). Dari sini pula diambil kata الْجَوبُ [yang berarti lubang bukaan baju di bagian lehernya].

Penafsiran lafazh جَابُوا dengan memeahat dan melubanginya, sejalan dengan firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {وَتَنْحِتُوْنَ مِنَ الْجِبَالِ بُيُوْتًا فٰرِهِيْنَ} “Dan kamu pahat dengan terampil sebagian gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah.” (QS. Asy-Syu’araa’: 149)

Tentang Fir’aun

Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, {وَفِرْعَوْنَ ذِى الْاَوْتَادِۖ} ” Dan (terhadap) Fir‘aun yang mempunyai pasak-pasak (bangunan yang besar).” Al-‘Aufi berkata dari Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma, “Lafazh الْاَوْتَادِ yakni bala tentara yang siap mendukung segala perintahnya.” Ada yang berkata, “Fir’aun mengikat tangan dan kaki mereka (yang dihukum) di atas pasak-pasak dari besi. Dia menggantung mereka dengannya.” Ucapan senada dikatakan oleh Mujahid, “Fir’aun mengikat rakyat (yang membangkang kepadanya) di atas pasak-pasak.” Sa’id bin Jubair, al-Hasan dan as-Suddi juga menafsirkan demikian.

Firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {الَّذِيْنَ طَغَوْا فِى الْبِلَادِ فَاَكْثَرُوْا فِيْهَا الْفَسَادَ} ” Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka banyak berbuat kerusakan dalam negeri itu.” Mereka membangkang (kepada Allah Subhanallahu wa ta’ala dan Rasul-Nya), bertindak sewenang-wenang, berbuat kerusakan dan menyakiti manusia di muka bumi. {فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍۖ} “Karena itu Rabb-mu menimpakan cemeti adzab kepada mereka.” Yakni, Allah menurunkan malapetaka dari langit dan menimpakan siksaan atas mereka. Allah Subhanallahu wa ta’ala tidak menghindarkan siksaan itu dari kaum durjana.

Allah Subhanallahu Wa Ta’ala Benar-Benar Maha Pengawas

Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, {اِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِۗ} “Sungguh, Rabb-mu benar-benar mengawasimu.” Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma berkata, “Dia mendengar dan melihat.” Maksudnya, Dia mengawasi amal perbuatan makhluk-Nya dan membalasnya sesuai dengan usahanya masing-masing, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.

Seluruh makhluk akan dihadapkan kepada-Nya, hingga Dia menetapkan keputusan-Nya pada mereka dengan keadilan-Nya dan Dia membalas masing-masing orang sesuai dengan haknya. Mahasuci Allah dari sifat zhalim dan kecurangan.

 

AL-FAJR, AYAT 15-20

فَاَمَّا الْاِنْسَانُ اِذَا مَا ابْتَلٰىهُ رَبُّهٗ فَاَكْرَمَهٗ وَنَعَّمَهٗۙ فَيَقُوْلُ رَبِّيْٓ اَكْرَمَنِ، وَاَمَّآ اِذَا مَا ابْتَلٰىهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهٗ ەۙ فَيَقُوْلُ رَبِّيْٓ اَهَانَنِ، كَلَّا بَلْ لَّا تُكْرِمُوْنَ الْيَتِيْمَ، وَلَا تَحٰۤضُّوْنَ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ، وَتَأْكُلُوْنَ التُّرَاثَ اَكْلًا لَّمًّا، وَّتُحِبُّوْنَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا

“Maka adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata, “Tuhanku telah memuliakanku.” (15) Namun apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, “Tuhanku telah menghinaku.” (16) Sekali-kali tidak! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim (17) dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin (18) sedangkan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang haram) (19) dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” (20)

 

Kekayaan Bukan Tanda Kemuliaan Dari Allah, Dan Kemiskinan Bukan Tanda Penghinaan Dari Allah Kepada Seorang Hamba. Akan Tetapi Kekayaan Dan Kemiskinan Hanyalah Ujian Dari-Nya

Allah Subhanallahu wa ta’ala menyangkal kepercayaan manusia, bahwa apabila Allah Subhanallahu wa ta’ala meluaskan rizkinya untuk mengujinya, maka ia meyakini bahwa hal itu merupakan penghormatan dari Allah Subhanallahu wa ta’ala kepadanya. Padahal tidak demikian halnya, karena hal itu hanyalah ujian dan cobaan dari Allah Subhanallahu wa ta’ala kepdanya. Ini sebagaimana firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, { اَيَحْسَبُوْنَ اَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهٖ مِنْ مَّالٍ وَّبَنِيْنَ نُسَارِعُ لَهُمْ فِى الْخَيْرٰتِۗ بَلْ لَّا يَشْعُرُوْنَ } ” Apakah mereka mengira bahwa Kami memberikan harta dan anak-anak kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami segera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? (Tidak), tetapi mereka tidak menyadarinya.” (QS. AL-Mu’minuun: 55-56)

Di sisi yang lain, apabila Dia menguji dan mencobanya dengan kesempitan rizki, maka ia meyakini bahwa hal itu merupakan penghinaan dari Allah terhadapnya. Maka Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, {كَلَّا} “Sekali-kali tidak,” yakni perkaranya tidak sebagaimana yang ia sangka. Allah tidak memuliakan seseorang dengan memberikan keluasan rizki kepadanya, dan tidak menghinakannya dengan memberikan rizki yang sempit.

Allah Subhanallahu wa ta’ala memberikan harta atau rizki, kepada orang yang Dia cintai maupun orang yang tidak Dia cintai. Juga Allah Subhanallahu wa ta’ala menyempitkan rizki, baik kepada orang yang Dia cintai, maupun orang yang tidak Dia cintai.

Adapun yang menjadi tolok ukur bagi kemuliaan dan kehinaan seseorang, adalah ketaatannya kepada Allah Subhanallahu wa ta’ala, baik ketika rizkinya lapang, maupun ketika rizkinya sempit. Apabila ia diberi kekayaan, maka hendaklah ia bersyukur kepada Allah atas kekayaan yang ia peroleh. Dan apabila ia jatuh miskin, maka hendaklah ia bersabar atas kemiskinannya.

Sebagian Dari Perbuatan Buruk Seorang Hamba Yang Berkaitan Dengan Harta Adalah Mencintainya Secara Berlebihan

Abu Dawud meriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ

“Aku dan pengasuh anak yatim seperti dua (jari) ini di Surga.” Dan beliau merapatkan kedua jari beliau, yaitu jari tengah dan jari telunjuknya.

Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, {وَلَا تَحٰۤضُّوْنَ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ} “Dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin,” yakni mereka tidak menyuruh dan tidak saling menganjurkan untuk berbuat baik kepada kaum fakir miskin. {وَتَأْكُلُوْنَ التُّرَاثَ} “Sedangkan kamu memakan harta warisan,” {اَكْلًا لَّمًّا} “Dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang haram),” tanpa memedulikan kehalalan dan keharamannya, { وَّتُحِبُّوْنَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا} “Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan,” yakni keterlaluan. Sebagian ulama menambahkan, “Juga melampaui batas kewajaran.”

AL-FAJR, AYAT 21-30

كَلَّآ اِذَا دُكَّتِ الْاَرْضُ دَكًّا دَكًّا، وَّجَآءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا، وَجِايْۤءَ يَوْمَىِٕذٍۢ بِجَهَنَّمَۙ يَوْمَىِٕذٍ يَّتَذَكَّرُ الْاِنْسَانُ وَاَنّٰى لَهُ الذِّكْرٰى، يَقُوْلُ يٰلَيْتَنِيْ قَدَّمْتُ لِحَيَاتِيْ، فَيَوْمَىِٕذٍ لَّا يُعَذِّبُ عَذَابَهٗٓ اَحَدٌ، وَّلَا يُوْثِقُ وَثَاقَهٗٓ اَحَدٌ، يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ، ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً، فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْ، وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ

“Sekali-kali tidak! Apabila bumi diguncangkan berturut-turut (berbenturan) (21) dan datanglah Tuhanmu; dan malaikat berbaris-baris (22) dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahanam; pada hari itu sadarlah manusia, tetapi tidak berguna lagi baginya kesadaran itu (23) Dia berkata, “Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku mengerjakan (kebajikan) untuk hidupku ini.” (24) Maka pada hari itu tidak ada seorang pun yang mengazab seperti azab-Nya (yang adil) (25) dan tidak ada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya (26) Wahai jiwa yang tenang! (27) Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya (28) Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku (29)  dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (30)

Pada Hari Kiamat, Setiap Orang Akan Di Balas Sesuai Dengan Amal Perbuatannya, Baik Atau Buruk

Allah Subhanallahu wa ta’ala memberitahukan tentang bencana besar yang terjadi pada hari kiamat. Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, {كَلَّا} “Sekali-kali tidak,” yakni sungguh benar-benar, {اِذَا دُكَّتِ الْاَرْضُ دَكًّا دَكًّا} “Apabila bumi diguncangkan berturut-turut (berbenturan).” Yakni bumi tersebut dihamparkan, dibentangkan dan (gunung-gunungnya) diratakan. Makhluk-makhluk bangkit dari kubur, menghadap kepada Rabb mereka. { وَّجَآءَ رَبُّكَ} “Dan datanglah Rabb-mu,” yakni untuk mengadili makhluk-makhluk-Nya.

Hal itu terjadi setelah mereka meminta syafa’at kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, selaku pimpinan anak cucu Adam secara mutlak. Sebelumnya mereka telah meminta syafa’at kepada para Rasul ulul azmi, satu per satu, dan semuanya berkata, “Aku bukanlah orang yang berhak dalam perkara ini.”

Ketika manusia sampai kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, untuk meminta syafa’at, maka beliau berkata, “Akulah yang akan memohonkan syafa’at (kepada Allah). Akulah yang akan memohonkan syafa’at (kepada Allah).” Lalu beliau pergi memohon syafa’at di sisi Allah Subhanallahu wa ta’ala agar Dia berkenan memutuskan pengadilan. Maka Allah Subhanallahu wa ta’ala pun mengabulkan permohonan beliau dalam perkara tersebut.”

Inilah syafa’at pertama, yang disebut al-maqam al-mahmud (kedudukan yang terpuji). Hal itu sudah dijelaskan dalam surat al-Israa’. Maka Allah Subhanallahu wa ta’ala datang untuk memutuskan pengadilan sebagaimana yang Dia kehendaki. Dan para Malaikat datang di hadapan-Nya berbaris-baris.

Selanjutnya firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {وَجِايْۤءَ يَوْمَىِٕذٍۢ بِجَهَنَّمَ} “Dan pada hari itu diperlihatkan Neraka Jahannam.” Imam Muslim bin al-Hajjaj dalam Shahiih-nya meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

يُؤْتَى بِجَهَنَّمَ يَومَئذٍ لَهَا سَبْعُونَ ألْفَ زِمامٍ، مع كُلِّ زِمامٍ سَبْعُونَ ألْفَ مَلَكٍ يَجُرُّونَهَا

“Neraka Jahannam diperlihatkan pada hari itu. Neraka itu memiliki tujuh puluh ribu tali kekang, pada setiap tali kekangnya terdapat tujuh puluh ribu Malaikat yang menariknya.”
At-Tirmidzi juga meriwayatkan demikian.

Selanjutnya firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {يَوْمَىِٕذٍ يَّتَذَكَّرُ الْاِنْسَانُ} “Pada hari itu sadarlah manusia,” yakni menyadari amal perbuatannya dan mengakui apa-apa (dosa) yang telah ia lakukan selama hidupnya. {وَاَنّٰى لَهُ الذِّكْرٰى} “Tetapi tidak berguna lagi baginya kesadaran itu,” yakni mana mungkin kesadarannya itu berguna baginya. { يَقُوْلُ يٰلَيْتَنِيْ قَدَّمْتُ لِحَيَاتِيْ} “Dia berkata, ‘Alangkah baiknya dahulu aku mengerjakan (kebajukan) untuk hidupku ini.” Yakni, pelaku maksiat akan menyesal atas dosa yang telah ia lakukan. Dan pelaku ketaatan akan sangat berharap untuk bisa menambah ketaatannya, akan tetapi kesempatan itu sudah tidak ada lagi.

Ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Muhammad bin Abi ‘Umairah, dan ia termasuk Sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَوْ أَنَّ عَبْدًا خَرَّ عَلَىٰ وَجْهِهِ مِنْ يَوْمِ وُلِدَ إِلَى أَنْ يَمُوتَ هَرَمًا فِي طَاعَةِ اللهِ، لَحقَرَه ذلك اليومَ، ولَوَدَّ أنَّه رُدَّ إلى الدُّنيا كَيْما يَزدادَ من الأجْرِ والثوابِ

“Seandainya seorang hamba menyungkur sujud sejak ia dilahirkan sampai ia mati tua dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, niscaya ia akan menganggap hal itu kecil (remeh) pada hari Kiamat. Dan orang tersebut pasti sangat berharap dikembalikan ke dunia untuk menambah ganjaran pahala.”

Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman, {فَيَوْمَىِٕذٍ لَّا يُعَذِّبُ عَذَابَهٗٓ اَحَدٌ} “Maka pada hari itu tidak ada seorang pun yang mengadzab seperti adzab-Nya (yang adil).” Yakni, tidak ada seorang pun yang lebih berat siksanya daripada penyiksa Allah Subhanallahu wa ta’ala terhadap orang yang mendurhakai-Nya. {وَّلَا يُوْثِقُ وَثَاقَهٗٓ اَحَدٌ} “Dan tidak ada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya.” Yakni, tidak ada seorang pun yang lebih kuat cengkeraman dan ikatannya daripada cengkeraman Malaikat Zabaniyah terhadap mereka yang kafir kepada Allah Subhanallahu wa ta’ala.

Siksaan ini didapat oleh makhluk yang durhaka dan berbuat zhalim. Adapun jiwa yang suci dan tenang, yaitu jiwa yang tenteram, teguh dan senantiasa mengikuti kebenaran, maka dikatakan kepadanya, {يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُ ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ} “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu.” Yakni, kembalilah ke sisi-Nya di Surga bagi hamba-hamba-Nya. {رَاضِيَةً} “Dengan hati yang ridha,” yakni penuh kepuasan di dalam jiwanya. { مَرْضِيَّةً} “Dan diridhai-Nya.” Yakni jiwa yang ridha kepada Allah, dan Allah pun ridha kepadanya, dan Allah Subhanallahu wa ta’ala telah membuat jiwa-jiwa itu ridha kepada-Nya.

Firman Allah Subhanallahu wa ta’ala kepada mereka {فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْ} “Maka masuklah kedalam golongan hamba-hamba-Ku,” yakni masuklah ke dalam barisan mereka, { وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ} “Dan masuklah ke dalam Surga-Ku.”

Kalimat ini dikatakan kepada jiwa yang tenang menjelang kematiannya dan di hari Kiamat nanti. Seperti halnya para Malaikat memberi kabar gembira kepada orang-orang yang beriman ketika mereka sedang sekarat dan ketika mereka bangkit dari kubur.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma tentang firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُ ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً} “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya.” Bahwa ayat ini turun sementara Abu Bakar sedang duduk, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, alangkah indahnya ayat ini.” Maka Rasulullah berkata:

أَمَا إِنَّهُ سَيُقَالُ لَكَ هَـٰذَا

“Ketahuilah bahwa kalimat tersebut akan diperuntukkan kepadamu.”

Demikianlah akhir tafsir surat al-Fajr. Hanya milik Allah Subhanallahu wa ta’ala lah segala puji dan anugerah.

 

 

 

 

 

 

Disalin ulang dari:  Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 9, Cetakan ke-sembilan Muharram 1435 H – November 2013 M, Pustaka Ibnu Umar Jakarta

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini:

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker