ARTIKELKisah

Sa’id Bin Jubair 2

Konon, pembantaian besar-besaran tersebut telah menelan ribuan korban dari orang-orang mukmin yang teguh pendiriannya. Dan ribuah lain yang selamat adalah yang dipaksa mengaku dirinya kafir. Sa’id bin Jubair merasa yakin bahwa kalau dia tertangkap, maka akan menghadapi dua pilihan seperti yang lain juga, yaitu dipenggal lehernya atau mengakui dirinya kafir. Dua pilhan, yang paling manis dari keduanyapun begitu pahit. Oleh sebab itu, beliau memilih keluar dari Irak, ia menyembunyikan diri dari masyarakat. Maka berkelilinglah ia di bumi Allah dengan sembunyi-sembunyi agar tak diketahui oleh Hajjaj dan kaki tangannya, hingga akhirnya tinggal di sebuah desa di dekat Mekah.

Selama sepuluh tahun beliau tinggal di sana, waktu yang cukup lama untuk menghilangkan dendam dan kedengkian Hajjaj.

Akan tetapi, ternyata ada perkembangan situasi yang tak terduga. Seorang amir baru didatangkan ke Mekah, yaitu Khalid bin Abdullah al-Qasri yang juga berasal dari Bani Umayah. Para sahabat Sa’id bin Jubair menjadi gelisah dan khawatir karena mereka tahu tentang kekejaman wali baru itu. Mereka menduga bahwa wali baru tersebut pasti akan menangkap Sa’id bin Jubair.

Di antara mereka segera menemui Sa’id bin Jubair lalu berkata, “Orang itu telah datang ke Mekah. Demi Allah, kami khawatir akan diri Anda, maka sebaiknya Anda keluar saja dari sini.” Namun beliau menjawab, “Demi Allah, sudah lama aku bersembunyi sampai malu rasanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aku telah memutuskan akan tetap tinggal di sini, pasrah dengan kehendak Allah.”

Dugaan orang-orang tentang kekejaman Khalid ternyata tak meleset. Begitu mendengar dan mengetahui tempat persembunyian Sa’id bin Jubair, dia langsung mengirimkan pasukannya untuk menangkap Sa’id, mengikat lalu mengirimkannya kepada Hajjaj di kota Wasit nanti.

Tentara Khalid mengepung rumah syaikh tersebut lalu menangkap dan mengikatnya di depan murid-murid dan para sahabatnya. Setelah itu mereka bersiap-siap untuk membawanya kepada Hajjaj. Sa’id menghadapi semua itu dengan tenang. Beliau menoleh kepada para sahabatnya dan berkata,

“Saya merasa akan terbunuh di tangan penguasa yang zalim itu. Sesungguhnya pada suatu malam aku pernah melakukan ibadah bersama dua orang teman. Kami merasakan manisnya ibadah dan doa kepada Allah Ta’alaa, lalu kami bertiga memohon syahadah (mati syahid). Kedua kawan tersebut sudah mendapatkannya, tinggal aku yang masih menunggu.”

Belum lagi beliau selesai bicara,seorang gadis cilik muncul dan demi melihat beliau diikat dan diseret oleh para prajurit, dia langsung merangkul Sa’id sambil menangis. Sa’id menghiburnya dengan lembut dan berkata, “Katakanlah kepada ibumu wahai putriku, kita akan bertemu nanti di surga, insya Allah.” Bocah itupun pergi.

Sampailah utusan yang membawa Sa’id seorang imam yang zahid, ‘abid, dan berbakti itu di kota Wasit. Sa’id dihadapkan kepada Hajjaj bin Yusuf.

Setelah Sa’id berada di hadapan Hajjaj, dengan pandangan penuh kebencian Hajjaj bertanya:

Hajjaj  : “Siapa namamu?”

Sa’id    : “Sa’id (bahagia) bin Jubair (perkasa).”

Hajjaj  : “Yang benar engkau adalah Syaqi (celaka) bin Kasir (lumpuh).”

Sa’id    : “Ibuku lebih mengetahui namaku daripada engkau.”

Hajjaj  : “Bagaimana pendapatmu tentang Muhammad?”

Sa’id    : “Apakah yang kau maksud adalah Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”

Hajjaj  : “Benar.”

Sa’id    : “Manusia utama di antara keturunan Adam dan nabi yang terpilih. Yang terbaik di antara manusia yang hidup dan yang paling mulia di antara yang telah mati. Beliau telah mengemban risalah dan menyampaikan amanat, beliau telah menunaikan nasihat bagi Allah, kitab-Nya, bagi seluruh kaum muslimin secara umum dan khusus.”

Hajjaj   : “Bagaimana pendapatmu tentang Abu Bakar Radhiallahu’ Anhu?”

Sa’id     : “Ash-Shiddiq, khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau wafat dengan terpuji dan hidup dengan bahagia. Beliau mengambil tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa merubah ataupun mengganti sedikitpun darinya.”

Hajjaj   : “Bagaimana pendapatmu tentang Umar Radhiallahu’ Anhu?”

Sa’Id     : “Beliau adalah al-Faruq, dengannya Allah membedakan antara yang haq dengan yang batil. Beliau adalah manusia pilihan Allah dan rasul-Nya, beliau melaksanakan dan mengikuti jejak kedua pendahulunya, maka dia hidup terpuji dan mati sebagai syuhada.”

Hajjaj: “Bagaimana dengan Utsman Radhiallahu’ Anhu?”

Sa’id: “Beliau yang membekali pasukan Usrah dan meringankan beban kaum muslimin dengan membeli sumur “Ruumah” dan membeli rumah untuk dirinya di Surga. Beliau adalah menantu Rasulullah atas dua orang putri beliau dan dinikahkan karena wahyu dari langit. Lalu terbunuh di tangan orang zalim.”

Hajjaj  : “Bagaimana dengan Ali Radhiallahu’ Anhu?”

Sa’id    : “Beliau adalah Putra paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pemuda pertama yang memeluk Islam. Beliau adalah suami Fathimah radhiallahu ‘anha putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ayah dari Hasan dan Husein yang merupakan dua pemimpin pemuda ahli Surga.”

Hajjaj   : “Khalifah yang mana dari Bani Umayah yang paling kau sukai?”

Sa’id     : “Yang paling diridhai Pencipta mereka.”

Hajjaj   : “Manakah yang paling diridhai Rabb-nya?”

Sa’id     : “Ilmu tentang itu hanyalah diketahui oleh Yang Maha Mengetahui yang zahir dan yang tersembunyi.”

Hajjaj   : “Bagaimana pendapatmu tentang diriku?”

Sa’id     : “Engkau lebih tahu tentang dirimu sendiri.”

Hajjaj   : “Aku ingin mendengarkan pendapatmu.”

Sa’id     : “Itu akan menyakitkan dan menjengkelkanmu.”

Hajjaj   : “Aku harus tahu dan mendengarnya darimu.”

Sa’id     : “Yang kuketahui, engkau telah melanggar Kitabullah, engkau mengutamakan hal-hal yang kelihatan hebat padahal justru membawamu ke arah kehancuran dan menjurumuskanmu ke neraka.”

Hajjaj   : “Kalau begitu, demi Allah aku akan membunuhmu.”

Sa’id     : “Bila demikian, maka engkau merusak duniaku dan aku merusak akhiratmu.”

Hajjaj   : “Pilihlah bagi dirimu cara-cara kematian yang kau sukai.”

Sa’id     : “Pilihlah sendiri wahai Hajjaj. Demi Allah, untuk setiap cara yang kau lakukan, Allah akan membalasmu dengan cara yang setimpal di akhirat nanti.”

Hajjaj   : “Tidakkah engkau menginginkan ampunanku?”

Sa’id     : “Ampunan itu hanyalah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedangkan engkau tak punya ampunan dan alasan lagi di hadapan-Nya.”

Memuncaklah kemarahan Hajjaj. Kepada algojonya diperintahkan: “Siapkan pedang dan alasnya!”

Sa’id tersenyum mendengarnya, sehingga bertanyalah Hajjaj,

Hajjaj   : “Mengapa engkau tersenyum?”

Sa’id     : “Aku takjub atas kecongkakanmu terhadap Allah dan kelapangan Allah terhadapmu.”

Hajjaj   : “Bunuh dia sekarang!”

Sa’id     : (Menghadap kiblat sambil membaca firman Allah Ta’ala):

 

إِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” (QS. Al-An’am: 79)

Hajjaj: “Palingkan ia dari kiblat!”

Sa’id: (Membaca firman Allah Ta’ala)

 

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

 

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah: 115)

Hajjaj   : “Sungkurkan dia ke tanah!”

Sa’id     : (Membaca firman Allah Ta’ala)

 

مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَىٰ

 

“Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.” (QS. Thaha: 55)

Hajjaj   : “Sembelihlah musuh Allah ini! Aku belum pernah menjumpai orang yang suka berdalih dengan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti dia.”

Sa’id     : (Mengangkat kedua tangannya sambil berdoa), “Ya Allah jangan lagi Kau beri kesemaptan ia melakukannya atas orang lain setelah aku.”

Tak lebih dari lima belas hari setelah wafatnya Sa’id bin Jubair, mendadak Hajjaj bin Yusuf terserang demam. Kian hari suhu tubuhnya makin meningkat dan bertambah parah rasa sakitnya hingga keadaannya silih berganti antara pingsan dan siuman. Tidurnya tak lagi nyenyak, sebentar-sebentar terbangun dengan ketakutan dan mengigau: “Ini Sa’id bin Jubair hendak menerkamku! Ini Sa’id bin Jubair berkata: “Mengapa engkau membunuhku?” Dia menangis tersedu-sedu menyesali diri: “Apa yang telah aku perbuat atas Sa’id bin Jubair? Kembalikan Sa’id bin Jubair kepadaku!”

Kondisi itu terus berlangsung hingga dia meninggal. Setelah kematian Hajjaj, seorang kawannya pernah memimpikannya. Dalam mimpinya itu dia bertanya kepada Hajjaj: “Apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perbuat terhadapmu setelah membunuh orang-orang itu, wahai Hajjaj?”

Dia menjawab, “Aku disiksa dengan siksaan yang setimpal atas setiap orang tersebut, tapi untuk kematian Sa’id bin Jubair aku disiksa 70 kali lipat.”

 

*****

 

Sumber: Buku Mereka adalah Para Tabi’in, Kisah-kisah paling menakjubkan yang belum tertandingi hingga hari ini, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan XVIII, 2016

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini:

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker