AqidahARTIKEL

Pasal Ketujuh Belas: Wajibnya Mencintai Para Sahabat Rasulullah ﷺ

Pasal Ketujuh Belas:

Beriman Terhadap Wajibnya Mencintai Para Sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan Keutamaan Mereka, Menghormati Para Ulama, Serta Wajibnya Patuh dan Taat Kepada Para Pemimpin Kaum Muslimin

 

Seorang Muslim beriman terhadap wajibnya mencintai para sahabat Nabi Muhammad dan keluarganya serta keutamaan mereka atas kaum Mukminin dan Muslimin lainnya, dan beriman bahwasanya keutamaan dan ketinggian derajat di antara mereka berbeda-beda tergantung kepada keterlebihdahuluan mereka di dalam berislam.

Para tokoh sahabat Nabi yang paling utama adalah empat Khulafa Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali . Lalu berikutnya adalah sepuluh orang yang telah dinyatakan pasti masuk surga. Mereka adalah Empat Khalifah Rasyidin, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin al-Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Abu Ubaidah ‘Amir bin al-Jarrah dan Abdurrahman bin ‘Auf. Kemudian para sahabat yang ikut dalam perang badar, lalu orang-orang yang diberitakan pasti masuk surga selain dari yang sepuluh tersebut, seperti Fathimah az-Zahra dan kedua putranya, yaitu Hasan dan Husain, Tsabit bin Qais, Bilal bin Rabah dan lain-lain. Setelah itu para sahabat yang ikut serta di dalam Bai’at ar-Ridhwan yang jumlahnya mencapai seribu empat ratus (1400) sahabat Radiyallahu ‘anhuma.

Seorang Muslim juga beriman dengan kewajiban menghormati para ulama Islam, memuliakan dan bersikap penuh etika ketika menyebut mereka. Mereka adalah para ulama agama dan pemuka yang memiliki hidayah, seperti para qurra`, para ahli fikih, ahli hadits dan ahli tafsir dari generasi Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in, semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepada mereka semua.

Seorang Muslim juga beriman terhadap wajibnya taat kepada para pemimpin kaum Muslimin, memuliakan dan hormat kepada mereka, berjihad bersama mereka, shalat bermakmum kepada mereka dan haram membangkang mereka. Dan untuk itu semua, seorang Muslim konsisten dan berpegang teguh kepada adab (etika) khusus berkenaan dengan itu.

Terhadap Para Sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan Keluarganya, Maka Seorang Muslim Wajib:

  1. Mencintai mereka, karena Allah dan RasulNya mencintai mereka. Allah memberitakan bahwasanya Allah mencintai mereka. Allah berfirman,

فَسَوْفَ يَأْتِى اللّٰهُ بِقَوْمٍ يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهٗٓ ۙاَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الْكٰفِرِيْنَۖ يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لَاۤىِٕمٍ

“Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang Mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.”
(Al-Ma’idah: 54).

Allah menyatakan tentang perihal mereka:

مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ

“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir tetapi berbelas kasih antar sesama mereka.”
(Al-Fath: 29).

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

اللهَ اللهَ في أصحابي، اللهَ اللهَ في أصحابي، لا تَتَّخِذوهم غَرضًا بَعدي، فمَن أحبَّهم فبِحُبِّي أحبَّهم، ومَن أبغَضَهم، فببُغضي أبغَضَهم، ومَن آذاهم، فقد آذاني، ومَن آذاني، فقد آذى اللهَ، ومَن آذى اللهَ فيوشِكُ أن يأخُذَه.

“(Takutlah kepada) Allah, (Takutlah kepada) Allah dalam (hak-hak) para sahabatku, jangan menjadikan mereka sebagai sasaran (celaan) sepeninggalku. Barangsiapa yang mencintai mereka, maka disebabkan kecintaan(nya) kepadaku, (akhirnya) dia mencintai mereka, dan barangsiapa yang membenci mereka, maka disebabkan kebencian(nya) kepadaku, aku membenci mereka. Barangsiapa yang menyakiti mereka maka berarti ia telah menyakitiku, dan barangsiapa yang menyakitiku, maka berarti ia telah menyakiti Allah, dan barangsiapa yang menyakiti Allah, niscaya Allah akan mengazabnya.”

  1. Beriman dan meyakini keutamaan mereka atas segenap kaum Mukminin dan Muslimin selain mereka, karena Allah berfirman seraya memuji mereka,

وَالسّٰبِقُوْنَ الْاَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِاِحْسَانٍۙ رَّضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ وَاَعَدَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا ۗذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepadaNya. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”
(At-Taubah: 100).

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun telah bersabda,

لَا تَسُبُّوْا أَصْحَابِي فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيْفَهُ

“Janganlah kalian mencaci para sahabatku, sebab walaupin salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar bukit Uhud, niscaya tidak akan mencapai satu mud (dari infak mereka) atau separuhnya.”

  1. Hendaknya berkeyakinan bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq adalah sahabat Nabi yang paling utama, sedangkan sahabat lainnya berada di bawahnya secara umum, dan bahwasanya para sahabat yang utama sesudah beliau adalah Umar, lalu Utsman, kemudian Ali . Rasulul telah bersabda,

لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِيْ خَلِيْلًا لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ، وَلٰكِنْ أَخِيْ وَصَحِبِيْ

“Kalau sekiranya aku (boleh) memilih seorang khalil (kekasih yang paling dicintai) dari umatku ini, niscaya aku pilih Abu Bakar, akan tetapi dia adalah saudara dan sahabatku.”

Ibnu Umar Radiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Kami dahulu sudah biasa mengatakan padahal Rasulullah masih hidup, ‘Abu Bakar, lalu Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali.’ Ungkapan seperti itu sampai kepada Nabi , namun beliau tidak mengingkarinya.”

Ali Radiyallahu ‘anhu juga telah berkata, “Sebaik-baik umat ini sesudah Nabi Muhammad adalah Abu Bakar, lalu Umar. Dan sekiranya aku mau menyebutkan yang ketiga niscaya aku sebut. Maksudnya adalah Utsman, semoga Allah meridhai mereka semua.”

  1. Hendaknya mengakui keunggulan-keunggulan dan keutamaan-keutamaan mereka, seperti keutamaan Abu Bakar, Umar dan Utsman sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah kepada bukit Uhud di saat bukit Uhud bergoncang sedangkan mereka berada di atasnya,

اُسْكُنْ أُحُدُ، إِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ وَصِدِّيْقٌ وَشَهِيْدَانِ

“Tenanglah hai Uhud, karena sesungguhnya di atasmu hanya ada seorang Nabi, seorang ash-Shiddiq dan dua orang syahid.”

Juga sabda beliau kepada Ali,

أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ مِنِّيْ بِمَنْزِلَةِ هَارُوْنَ مِنْ مُوْسَى؟

“Tidakkah kamu rela kalau posisimu dariku seperti posisi Nabi Harun dari Nabi Musa?”

Sabda beliau pula,

فَطِمَةُ سَيِّدَةُ نِسَاءِ أَهْلِ الْجَنَّةِ

“Fathimah ini adalah penghulu kaum wanita penghuni surga.”

Sabda beliau juga tentang az-Zubair bin al-‘Awwam,

إِنَّ لِكُلِّ نَبِيٍّ حَوَارِيَّ، وَإِنَّ حَوَارِيَّ الزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ

“Sesungguhnya setiap nabi itu mempunyai hawari (pengawal setia), dan sesungguhnya pengawal setiaku adalah az-Zubair bin al-Awwam.”

Sabda beliau mengenai Hasan dan Husain (keduanya cucu beliau),

اَللّٰهُمَّ أَحِبَّهُمَا فَإِنِّيْ أُحِبُّهُمَا

“Ya Allah, cintailah mereka berdua, karena sesungguhnya aku mencintai mereka berdua, “

Sabda beliau kepada Abdullah bin Umar Radiyallahu ‘anhuma,

إِنَّ عَبْدَ اللهِ رَجُلٌ صَالِحٌ

“Sesungguhnya Abdullah ini adalah lelaki yang shalih.”

Sabda beliau kepada Zaid bin Haritsah ,

أَنْتَ أَخُوْنَا وَمَوْلَانَا

“Kamu adalah saudara kami dan maula kami.”

Sabda beliau kepada Ja’far bin Abi Thalib ,

أَشْبَهْتَ خَلْقِيْ وَخُلُقِيْ

“Kamu benar-benar sangat mirip dengan fisikku dan perangaiku.”

Sabda beliau kepada Bilal bin Rabah ,

سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِيْ الْجَنَّةِ

“Aku telah mendengar suara sandalmu di hadapanku di dalam surga.”

Sabda beliau tentang Salim, seorang mantan budak Hudzaifah, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab dan Mu’adz bin Jabal ,

اِسْتَقْرِئُوا القُرْآنَ مِنْ أَرْبَعَةٍ: مِنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ، وَسَالِمٍ مَوْلَى أَبِيْ حُذَيْفَةَ، وَأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ.

“Hendaklah kalian meminta belajar membaca al-Qur’an kepada empat orang, yaitu: Abdullah bin Mas’ud, Salim mantan sahaya Abu Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab dan Mu’adz bin Jabal.”

Sabda beliau tentang Aisyah ,

وَفَضْلُ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ، كَفَضْلِ الثَّريْدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ

“Keutamaan Aisyah atas segenap kaum wanita adalah bagaikan keutamaan roti campur daging atas seluruh makanan.”

Sabda beliau tentang keutamaan kaum Anshar ,

لَوْ أَنَّ الْأَنْصَارَ سَلَكُوْا وَادِيًا أَوْ شِعْبًا، لَسَلَكْتُ فِيْ وَادِي الْأَنْصَارِ، وَلَوْ لَا الْهِجْرَةُ لَكُنْتُ امْرَأً مِنَ الْأَنْصَارِ.

“Sekiranya kaum Anshar menemnpuh jalan di suatu lembah atau suatu celah jalan di perbukitan, niscaya aku menelusuri lembah (yang ditelusuri) kaum Anshar; dan sekiranya bukan karena Hijrah, niscaya aku menjadi salah seorang kaum Anshar. “

Dan bersabda lagi,

اَلْأَنْصَارُ لَا يُحِبُّهُمْ إِلَّا مُؤْمِنٌ وَلَا يُبْغِضُهُمْ إِلَّا مُنَافِقٌ، فَمَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ اللهُ، وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُ اللهُ

“Kaum Anshar; tidak ada orang yang mencintai mereka melainkan seorang Mukmin dan tidak ada yang membenci mereka melainkan seorang munafik. Barangsiapa mencintai mereka, niscaya Allah mencintainya, dan barangsiapa membenci mereka niscaya Allah membencinya.”

Sabda beliau tentang keutamaan Sa’ad bin Mu’adz ,

اِهْتَزَّ الْعَرْشُ لِمَوْتِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ

“Arasy bergoncang karena wafatnya Sa’ad bin Mu’adz.”

Tentang keutamaan Usaid bin Hudhair : Pada suatu malam yang gelap gulita, Rasulullah bersama salah seorang sahabat di kediaman beliau. Ketika mereka berdua keluar, tiba-tiba ada cahaya menyinari mereka pada saat mereka berjalan, dan ketika mereka ber- pisah, cahaya itu pun turut berpisah bersama mereka berdua.”

Sabda beliau tentang keutamaan Ubay bin Ka’ab ,

إِنَّ اللَّهَ أَمَرَنِي أَنْ أَقْرَأَ عَلَيْكَ { لَمْ يَكُنْ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ } قَالَ وَسَمَّانِي قَالَ نَعَمْ فَبَكَى أُبَيٌّ.

“Sesungguhnya Allah memerintahku agar membacakan kepadaMu surat al-Bayyinah.” Ubay bertanya, “Dia menyebut namaku?” Jawab Nabi “Ya!” Maka Ubay pun menangis.

Sabda beliau tentang keutamaan Khalid bin al-Walid,

سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللَّهِ مَسْلُوْلٌ

“(Dia adalah) salah satu pedang di antara pedang-pedang Allah terhunus (terhadap musuh-musuhnya). “

Sabda beliau juga tentang keutamaan Hasan bin Ali ,

اِبْنِيْ هذَا سَيِّدٌ، وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ.

“Cucuku ini adalah seorang penghulu (tokoh utama), dan semoga dengannya Allah mendamaikan dua kelompok kaum Muslimin (yang bertikai). “

Sabda beliau tentang keutamaan Abu Ubaidah ,

لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِيْنٌ، وَإِنَّ أَمِيْنَنَا أَيَّتُهَا الْأُمَّةُ أَبُوْ عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ.

“Setiap umat mempunyai seorang kepercayaan, dan sesungguhnya orang kepercayaan kita wahai umat Islam adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”

Semoga Allah meridhai mereka semua.

  1. Menahan diri dari menyebut kesalahan-kesalahan mereka dan tidak membicarakan tentang perselisihan yang terjadi di antara mereka, karena Rasulullah telah bersabda,

لَا تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ

“Janganlah kalian menghujat (mencela) para sahabatku.”

Sabdanya juga,

لَا تَتَّخِذُوْهُمْ غَرَضًا بَعْدِيْ

“Jangan kalian menjadikan mereka (para sahabatku) sebagai sasaran (celaan) sepeninggalku nanti.”

Dan sabdanya juga,

فَمَنْ آذَاهُمْ فَقَدْ آذَانِيْ، وَمَنْ آذَانِي فَقَدْ آذَى اللهَ، وَمَنْ آذَى اللهَ يُوْشِكُ أَنْ يَأْخُذَهُ.

“Barangsiapa yang menyakiti mereka (para sahabatku), berarti dia telah menyakitiku, barangsiapa yang menyakitiku, maka ia telah menyakiti Allah, dan barangsiapa yang menyakiti Allah, niscaya Dia akan segera menghukumnya.”

  1. Hendaknya beriman dan meyakini kemuliaan dan kesucian istri-istri Rasulullah dan meyakini bahwasanya mereka adalah wanita-wanita suci dan disucikan. Dan hendaknya memohon keridhaan untuk mereka, berpandangan bahwa yang paling utama dari mere- ka adalah Khadijah binti Khuwailid dan Aisyah binti Abu Bakar. Yang demikian itu berdasarkan Firman Allah Subhanallahu wa ta’ala,

اَلنَّبِيُّ اَوْلٰى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ اَنْفُسِهِمْ وَاَزْوَاجُهٗٓ اُمَّهٰتُهُمْ

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istri beliau adalah ibu-ibu mereka.”
(Al-Ahzab: 6).

Adapun Sikap Kepada Para Ulama dan Tokoh-tokoh Islam Dari Para Qurra’, Ulama Ahli Hadits, dan Ulama Ahli Fikih Adalah Sebagai Berikut:

  1. Mencintai mereka, memohonkan rahmat Allah atas mereka dan memohonkan ampun bagi mereka serta mengakui keutamaan mereka. Sebab mereka disebut di dalam Firman Allah sebagai orang-orang yang mengikuti (para pendahulu mereka) dengan ihsan, Allah meridhai mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Di dalam sabda Rasulullah disebutkan,

خَيْرُكُمْ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.

“Sebaik-baik kamu adalah generasiku kemudian generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya lagi.”

Mayoritas Ahli Qira’at (Qurra’), para Ahli Hadits, Ahli Fikih dan Ahli Tafsir adalah orang-orang pada tiga generasi tersebut, generasi yang mendapat kesaksian dari Rasulullah dengan kebaikan.

Allah Subhanallahu wa ta’ala pun memuji orang-orang yang memohonkan ampun bagi orang-orang yang lebih dahulu beriman daripada mereka, sebagaimana disebutkan di dalam FirmanNya,

وَالَّذِيْنَ جَاۤءُوْ مِنْۢ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.”
(Al-Hasyr: 10).

Maka, seorang Muslim selalu memohonkan ampunan kepada Allah untuk setiap orang Mukmin, laki-laki dan perempuan.

  1. Tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan, tidak mencela atau mencemooh pendapat mereka, karena ia tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang berijtihad dengan penuh keikhlasan. Maka seorang Muslim selalu beradab terhadap mereka ketika mereka disebut, ia lebih mengutamakan pendapat mereka daripada pendapat orang- orang yang datang sesudahnya dari para ulama, ahli fikih, ahli tafsir dan ahli hadits, dan tidak mengabaikan pendapat mereka kecuali karena ada Firman Allah atau sabda Rasulullah atau pendapat para sahabat Nabi (yang bertentangan dengannya).
  2. Meyakini bahwa apa yang telah dibukukan (ditulis) oleh empat tokoh ulama terkemuka; Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah, pendapat dan madzhab yang mereka anut tentang berbagai masalah agama dan fikih adalah bersumber dari al- Qur’an dan Sunnah Rasulullah , mereka tidak lain hanyalah memahami dua sumber ilmu tersebut atau mereka simpulkan dari keduanya atau beranalogi (berqiyas) apabila nash al-Qur an dan hadits memerlukannya atau mengisyaratkan atau mengarah kepadanya.
  3. Berprinsip bahwa mengambil pendapat yang telah dibukukan oleh salah satu dari para imam ulama tentang masalah-masalah fikih dan agama adalah boleh dan bahwa mengamalkannya merupakan pengamalan terhadap syariat Allah selagi tidak bertentangan dengan nash sharih (yang gamblang) lagi shahih, baik dari nash al-Qur an maupun nash Sunnah Rasulullah . Sebab ia tidak berhak mengabaikan Firman Allah atau sabda RasulNya karena pendapat seseorang, siapa pun dia. Allah Subhanallahu wa ta’ala telah berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيِ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَاتَّقُوا اللّٰه

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertakwalah kepada Allah.”
(Al-Hujurat: 1).

وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”
(Al-Hasyr: 7).

FirmanNya pula,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukminah, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.”
(Al-Ahzab: 36).

Rasulullah telah bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasar perintahnya dari kami, maka ia ditolak (tidak diterima).”

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى  يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ.

“Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga hawa nafsunya patuh kepada ajaran yang aku bawa.”

  1. Berkeyakinan bahwa mereka adalah manusia biasa yang bisa benar dan juga bisa salah. Bisa saja salah seorang dari mereka luput dari kebenaran (al-haq) dalam satu masalah bukan karena kesengajaan, akan tetapi karena lupa, khilaf atau keliru atau karena tidak menguasai semua materi. Maka dari itu seorang Muslim tidak akan fanatic kepada pendapat seseorang dengan mengabaikan pendapat yang lain Akan tetapi ia mengambil pendapat siapa saja dari mereka dan tidal menolaknya kecuali jika berlawanan dengan Firman Allah atau sabda Rasulullah .
  2. Hendaknya memaklumi perselisihan yang terjadi di antara mereka tentang beberapa masalah furu’ (yang bukan prinsip) dalam agama dan berpandangan bahwa perbedaan pendapat yang terjadi itu bukan karena kebodohan mereka atau karena fanatik kepada pendapat mereka, akan tetapi, sebenarnya boleh jadi orang yang menyelisihi itu disebabkan karena hadits tidak sampai kepadanya atau karena ia berpandangan bahwa hadits yang tidak ia amalkan itu mansukh (terhapus dengan nash yang lain), atau karena ada hadits lain yang sampai kepadanya yang ia anggap lebih kuat atau karena pemahamannya terhadap hadits itu berbeda dengan pemahaman orang lain. Sebab bisa saja terjadi perbedaan pemahaman terhadap kandungan makna nash, maka dari itu ia mengartikannya sebagaimana yang ia Pahami. Contohnya adalah pemahaman Imam asy-Syafi’i, tentang batalnya wudhu karena menyentuh perempuan (yang bukan mahram) secara mutlak, sebagai pemahamannya kepada ayat:

اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ

“Atau kamu telah menyentuh perempuan.”
(An-Nisa: 43).

Beliau memahami di sini adalah “menyentuh” dan kata لٰمَسْتُمُ bukan yang lainnya. Maka dari itu beliau berpendapat wajib berwudhu karena menyentuh wanita.

Sedangkan ulama yang lain memahami kata لٰمَسْتُمُ pada ayat itu adalah jima’ (bersetubuh). Maka dari itu mereka tidak mewajibkan wudhu karena sekedar menyentuh, akan tetapi harus ada hal lain yang menyertainya, seperti ada unsur kesengajaan atau ada rangsangan nafsu.

Barangkali ada yang bertanya, “Kenapa Imam asy-Syafi’i tidak mengalah saja atas pemahamannya supaya sependapat dengan para ulama lainnya dan supaya buntut perselisihan itu habis?” Jawabnya adalah: Tidak boleh bagi Imam asy-Syafi’i memahami sesuatu dari nash Allah yang ia tidak meragukannya sedikit pun, mengabaikannya karena adanya pendapat lain atau karena adanya lalu pemahaman ulama lain, sehingga dengan begitu ia berarti mengikuti pendapat orang dan meninggalkan Firman Allah! Ini merupakan dosa besar di sisi Allah Subhanallahu wa ta’ala.

Ya, kalau seandainya pemahamannya terhadap nash bertentangan dengan nash sharih (tegas lagi jelas) al-Qur an atau Hadits, maka jika demikian, ia wajib berpegang kepada petunjuk nash yang ada dan meninggalkan pemahamannya terhadap lafazh nash yang dalilnya bukan nash sharih atau nash yang gamblang. Sebab, jika dilalah (acuan artinya) qath’i (pasti), niscaya tidak satu pun kaum Muslimin ini yang berselisih pendapat, apalagi para pemuka ulama.

Adapun Sikap Terhadap Para Pemimpin Kaum Muslimin (Ulil Amri), Maka Seorang Muslim Wajib:

  1. Berkeyakinan akan wajibnya taat kepada mereka, karena Firman Allah Subhanallahu wa ta’ala,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu.”
(An-Nisa’: 59).

Juga karena sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

اِسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا، وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيْبَةٌ

“Dengarkan dan taatlah kalian, sekalipun yang menjadi pemimpin kalian adalah budak sahaya hitam (dari Ethiopia) yang ranibutnya seperti buah kismis (kribo).”

مَنْ أَطَاعَنِيْ فَقَدْ أَطَا عَاللهَ، وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِيْ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِيْ فَقَدْ عَصَانِيْ

“Barangsiapa yang taat kepadaku, berarti ia taat kepada Allah; barangsiapa durhaka kepadaku, berarti ia durhaka kepada Allah; barangsiapa yang taat kepada amirku (pemimpin daerah yang aku angkat), berarti ia taat kepadaku dan barangsiapa yang durhaka kepada (pemimpin daerah yang aku angkat), berarti ia mendurhakaiku.”

Akan tetapi seorang Muslim tidak berpandangan mematuhi mereka di dalam kemaksiatan kepada Allah karena taat dan patuh kepada Allah didahulukan atas ketaatan kepada mereka, sebagaimana Firman Nya,

وَلَا يَعْصِيْنَكَ فِيْ مَعْرُوْفٍ

“Dan ia sekali-kali tidak mendurhakaimu di dalam hal yang ma’ruf”
(Al-Mumtahanah: 12).

Dan karena Rasulullah bersabda,

إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِيْ الْمَعْرُوْفِ

“Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf (kebaikan).”

لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ.

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam hal kemaksiatan kepada Allah.”

اَلسَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ.

“Mendengar dan patuh (kepada pemimpin) adalah kewajiban seorang Muslim di dalam hal yang ia suka atau tidak ia suka selama tidak diperintah untuk bermaksiat kepada Allah, namun apabila ia diperintah untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan tidak pula menaati.”

  1. Berpandangan haramnya khuruj (membangkang) terhadap mereka atau menyatakan kedurhakaan terhadap mereka, karena yang demikian itu menyebabkan pemutusan ketaatan kepada pemimpin kaum Muslimin. Juga karena Rasulullah bersabda,

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمْرِيْهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً.

“Barangsiapa tidak suka terhadap sesuatu dari (kebijakan) amirnya (penguasa), maka hendaknya ia bersabar. Sebab, barangsiapa yang keluar (membangkang) terhadap penguasa sejengkal saja, niscaya ia mati dengan kematian jahiliyah.”

مَنْ أَهَانَ السُّلْطَانَ أَهَانَهُ اللهُ.

“Barangsiapa yang menghina penguasa, niscaya Allah menghinakannya,”

  1. Hendaknya mendoakan mereka agar tetap shalih, baik, mendapat taufik dan terpelihara dari keburukan dan dari terjatuh ke dalam kesalahan, sebab kebaikan umat ada pada kebaikan mereka dan kerusakannya ada pada kerusakan mereka. Dan hendaknya memberikan nasihat (kritik yang membangun) kepada mereka tanpa unsur merendahkan atau menjatuhkan kedudukan mereka. Sebab, Rasulullah telah bersabda,

اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلّٰهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمِ.

“Agama itu adalah nasihat.” Kamii (para sahabat) bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, untuk KitabNya, untuk RasulNya dan untuk para pemimpin kaum Muslimin serta masyarakat umum.”

  1. Berjihad dengan komando dari mereka dan shalat bermakmum kepada mereka sekalipun mereka telah berbuat fasik dan melakukan hal-hal yang diharamkan selain kekufuran. Sebab, Rasulullah telah bersabda kepada orang yang bertanya kepada beliau tentang menaati para pemimpin busuk,

اِسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا، فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوْا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ.

“Dengarkan dan taatlah kalian, sesungguhnya mereka menanggung apa yang dibebankan kepada mereka dan kalian pun menanggung apa yang dibebankan kepada kalian.”

Ubadah bin ash-Shamit berkata, “Kami berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk mendengar dan patuh di dalam suka dan duka, di dalam kesempitan dan lapang, dan kami juga berbai’at untuk tidak menarik bai’at dari pemimpin.”

Beliau bersabda,

إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ فِيْهِ مِنَ اللهِ بُرْهَانٌ.

“Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian mempunyai hujjah dari Allah dalam hal itu.”

 

 

 

Disalin ulang dari: Kitab Minhajul Muslim Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jajairi Edisi Indonesia, Cetakan XV Jumadil ula 1437H/2016M, Darul Haq Jakarta.

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini:

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker