Malu
Malu
Seorang Muslim itu pandai menjaga diri dan pemalu. Malu adalah salah satu akhlaknya, bahkan malu itu bagian dari iman yang merupakan pedoman dan penegak hidupnya. Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu bercabang tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih, yang paling utama adalah kalimat la ilaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan malu termasuk cabang dari iman.”(Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no.9; dan Muslim, no.35)
اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ
“Rasa malu dan iman semuanya saling berkaitan, maka jika salah satunya hilang, maka hilanglah yang lainnya.”(Diriwayatkan oleh al-Hakim, 1/73 dan dishahihkannya berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim)
Rahasia keberadaan malu dari iman adalah keduanya sama-sama menjadi pendorong kepada kebaikan serta pemaling dari keburukan dan menjauhkannya. Iman menyuruh seorang Mukmin melakukan kebaikan dan meninggalkan kemaksiatan. Sedangkan rasa malu mencegah pelakunya dari kurang bersyukur kepada pemberi nikmat, termasuk mengurangi hak dari orang yang berhak. Sebagaimana seorang pemalu mencegah dirinya dari berbuat keburukan atau berkata buruk, menjaga dari cela dan cemoohan, maka rasa malu itu baik dan tidaklah menimbulkan kecuali kebaikan, sebagaimana telah diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam,
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan.”(Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no.6117; dan Muslim, no.37)
Pada riwayat Imam Muslim, no.37, beliau bersabda,
الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ
“Malu itu seluruhnya adalah kebaikan.”
Lawan dari malu adalah kekejian, yaitu kotor di dalam berbicara dan berbuat kasar, sedangkan seorang Muslim bukanlah orang yang suka berbuat keji dan berbicara kotor, tidak pula kejam maupun kasar, karena ini semua adalah sifat-sifat ahli neraka, sedangkan seorang Muslim adalah ahli surga, insya Allah, maka akhlaknya sama sekali tidak keji, kotor maupun kasar. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam,
اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ
“Malu itu dari iman, dan iman itu di dalam surga, sedang badza (lawan dari malu, yang mengakibatkan perkataan keji dan aklak jelek. Ed.T) itu dari watak kasar, dan watak kasar itu di dalam neraka.”(Diriwayatkan oleh Ahmad, no.10134, dengan sanad shahih)
Teladan seorang Muslim di dalam akhlak utama yang mulia ini adalah Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam, para pemimpin umat terdahulu dan yang berikutnya, karena beliau Shallallahu ‘alahi wasallam adalah yang paling pemalu melebihi seorang gadis dalam pingitanya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, no.6102, dari Abu Sa’id Radhiyallahu’anhu tentang hal beliau Shallallahu ‘alahi wasallam: “Jika beliau melihat sesuatu yang tidak disukainya, maka kami dapat mengetahuinya di wajah beliau.”
Ketika seorang Muslim, mengajak manusia untuk menjaga dan menumbuhkan akhlak malu di kalangan mereka, maka sungguh dia telah mengajak kepada kebaikan dan membimbing kepada kebajikan, sebab rasa malu itu bagian dari iman, sedang iman itu menghimpun seluruh, keutamaan dan seluruh unsur kebaikan.
Diriwayatkan dalam hadits shahih bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam pernah melewati seorang laki-laki yang sedang menasihati saudaranya tentang malu, maka Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ
“Biarkanlah dia, karena sesungguhnya malu itu bagian dari iman.”(Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no.24; dan Muslim, no.36)
Dengan itu beliau Shallallahu ‘alahi wasallam memerintahkan kepada seorang Muslim agar tetap berpegang pada rasa malu dan melarang menghilangkannya, meskipun sebagian haknya terhalang dan tidak bisa baginya daripada kehilangan rasa malunya yang merupakan bagian dari imannya dan keistimewaan perikemanusiaannya serta penopang kebajikannya.
Semoga Allah merahmati seorang ibu yang kehilangan anaknya, kemudian dia masuk ke satu kaum untuk menanyakan anaknya yang hilang. Seorang laki-laki berkata-kata,”Dia bertanya tentang anaknya, sedangkan dia memakai niqab (cadar).” Ibu tersebut mendengarnya kemudian menjawab,”Sungguh aku kehilangan anakku itu adalah lebih baik daripada aku kehilangan rasa maluku, hai lelaki.”(Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no.2488)
Akhlak malu di dalam diri seorang Muslim bukanlah penghalang baginya untuk menyampaikan kebenaran atau menuntut ilmu, atau di dalam menyuruh kebaikan maupun di dalam mencegah kemungkaran. Pernah Usamah bin Zaid, kesayangan Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam, meminta syafa’at (kebebasan hukum bagi seseorang yang melakukan kejahatan), namun rasa malu tidak menghalangi Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam untuk menyampaikan kepada Usamah Radhiyallahu’anhu dalam keadaan marah,
أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ؟ فَقَالَ لَهُ أُسَامَةُ اسْتَغْفِرْ لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ،وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Apakah kamu memberi syafa’at (meminta kebebasan hukum bagi seseorang) pada masalah hukuman Allah? Maka Usamah berkata kepada beliau, “Mohonkanlah ampuanan bagiku wahai Rasulullah.”Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya”(Diriwayatkan oleh al-Bukhari,no.3475; Muslim, no.1688)
Malu juga tidak menghalangi Ummu Sulaim al-Anshariyah Radhiyallahu’anha untuk menanyakan,
يَا رَسُوْلَ اللهِ ، إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ، هَل عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِيَ احْتَلَمَتْ؟نَعَمْ، إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak merasa malu tentang kebenaran, apakah perempuan harus mandi jika ia bermimpi?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam menjawab,” Ya, apabila ia melihat air (basah).”(Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no.130; Muslim, no.313)
Suatu kali UmarRadhiyallahu’anhu pernah berkhutbah lalu menghalangi mahalnya mas kawin, maka seorang perempuan berkata kepadanya,”Apakah Allah memberikan kepada kami, sementara Anda melarang kami, hai Umar? Bukankah Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
وَءَاتَيۡتُمۡ إِحۡدَٮٰهُنَّ قِنطَارً۬ا فَلَا تَأۡخُذُواْ مِنۡهُ شَيۡـًٔاۚ
“Sedang kamu telah memberikan kepada salah seorang perempuan itu harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambilnya sedikit pun.”(An-Nisa`:20)
Rasa malu tidak mengahalangi ibu itu untuk membela hak kaumnya. Begitu pula Umar Radhiyallahu’anhu tidak terhalangi juga untuk menyampaikan permohonan maaf atas kekeliruannya.” Setiap manusia adalah lebih pandai darimu hai Umar.”
Sekali waktu Umar Radhiyallahu’anhu pernah berkhutbah di hadapan kaum Muslimin sambil mengenakan dua baju, beliau memerintahkan agar mendengarkan dan menaati, namun salah satu dari mereka berkata,”Tidak ada yang (wajib) mendengarkan dan tidak pula menaatimu hai Umar, karena anda memiliki dua baju, sedangkan kami hanya satu baju.” Umar langsung menyeru putranya dengan keras,”Hai Abdullah putra Umar!” Abdullah pun menjawab,”Kami penuhi panggilanmu wahai ayahanda!”
Umar berkata,” Aku bersumpah kepada Allah, bukanlah salah satu bajuku yang aku pakai ini adalah bajumu yang telah kamu berikan padaku?” Abdullah menjawab,” Ya, benar, demi Allah!” Laki-laki itu berkata,” Sekarang kami mendengarkan dan kami menaatimu hai Umar.”
Demikianlah, perhatikanlah bagaimana rasa malu tidak menghalangi laki-laki itu untuk menyampaikan protesnya, dan Amirul Mukminin Umar Radhiyallahu’anhu untuk membalas memberitahukannya.
Seorang Muslim, karena malu dari manusia, maka ia tidak akan membuka auratnya untuk mereka, tidak melalaikan kewajibannya untuk mereka, tidak mengingkari kebaikan yang mereka sajikan kepadanya, tidak bercakap-cakap kepada mereka dengan buruk, tidak pula menghadapi mereka dengan cara yang tidak mereka sukai. Dia juga merasa malu kepada Allah sang Khaliq, maka janganlah dia melalaikan ketaatannya kepada-Nya, atau mensyukuri nikmat-Nya, sebagaimana nasihat Ibnu Mas’ud,”Malulah kamu semua kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu, jagalah kepala dan sesuatu yang dipahaminya dan perut dan apa yang dikandungnya, dan ingatlah kematian dan sesuatu yang dipahaminya dan kehancuran.”(Diriwayatkan oleh al-Mundziri secara marfu’ (sampai kepada Nabi) dan beliau merajihkan (pendapat) bahwa hadits tersebut mauquf (disandarkan kepada sahabat) Ibnu Mas’ud).
Sumber : Kitab Minhajul Muslim Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jajairi Edisi Indonesia, Cetakan XV Jumadil ula 1437H/2016M, Darul Haq Jakarta