ARTIKELTafsir Al-Qur'an

Tafsir Surat Al-Fiil

Tafsir Surat Al-Fiil

( Gajah )

Surat Makkiyyah

Surat Ke-105 : 5 Ayat

 

بِسْمِ اللهِ الَرْحَمنِ الَرحِيمِ

Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Surat Al-Fiil, Ayat 1-5

أَلَمْ تَرَكَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَــٰبِ ٱلْفِيلِ، أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِى تَضْلِيلٍ، وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرً أَبَابِيلَ، تَرْمِيهِمْ بِحِجَا رَةٍمِّنْ سِجِّيلٍ، فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولِ

“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Rabb-mu telah bertindak terhadap tentara bergajah?(1) Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia?(2) Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong.(3) Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar.(4) Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).(5)”

   Ini adalah salah satu nikmat yang diberikan oleh Allah Subhanallahu wa ta’ala kepada kaum Quraisy. Allah Subhanallahu wa ta’ala telah melindungi mereka dari tentara bergajah yang bertekad menghancurkan Ka’bah dan melenyapkan jejak keberadaannya dari muka bumi. Allah memusnahkan mereka, menghinakan mereka, menggagalkan usaha mereka. Penyerangan itu menjadi perbuatan sia-sia, dan mereka menderita kekalahan yang memalukan.

   Tentara bergajah itu adalah kaum Nasrani. Agama Nasrani ini lebih dekat kepada kebenaran daripada kepercayaan kamu Quraisy pada saat itu, yaitu menyembah berhala. Akan tetapi peristiwa ini termasuk irhaash, yakni tanda keistimewaan dari seorang calon Nabi atau Rasul yang terjadi menjelang kelahiran atau setelah kelahiran, sebelum diangkat menjadi Nabi atau Rasul. Dan peristiwa hancurnya tentara bergajah ini merupakan penyambutan terhadap kelahiran Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , karena pada tahun itulah beliau dilahirkan menurut pendapat yang paling masyhur.

   Seolah-olah Allah berfirman saat itu, “Hai orang-orang Quraisy, Kami menolong kalian atas serangan tentara Habasyah, bukanlah berarti kalian lebih utama atas mereka. Akan tetapi demi menjaga Ka’bah Baitul ‘Atiq (rumah yang kuno) di mana Kami akan memuliakan, mengagungkan dan menghormatinya dengan mengutus seorang Nabi yang ummi, yakni Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, penutup para Nabi.”

Kisah Singkat Tentang Tentara Bergajah

   Ini adalah kisah pasukan gajah yang dipaparkan secara ringkas, padat dan berisi. Telah disebutkan sebelumnya dalam kisah Ash-haabul Ukhduud bahwa Dzu Nuwas, raja Himyar terakhir adalah seorang musyrik. Orang inilah yang membunuh sekitar dua puluh ribu Ash-haabul Ukhduud yang beragama Nasrani.

   Tidak ada seorang pun yang lolos dari mereka selain Daus Dzu Tsa’laban. Ia meminta bantuan kepada kaisar raja Syam yang beragama Nasrani. Maka raja Syam ini menulis surat yang ditujukan kepada an-Najasyi, raja Habasyah. Isinya agar raja Najasyi membantu Daus, karena posisi Daus yang lebih dekat ke daerah Habasyah.Abrahah bin ash-Shabbah Abi Yaksum beserta tentara yang besar jumlahnya.

   Pasukan yang besar ini masuk ke Yaman, dan berhasil menguasai seluruh wilayah Yaman. Mereka berhasil merampas kerajaan dari Himyar, dan Dzu Nuwas sendiri mati tenggelam di laut.

   Maka orang-orang Habasyah menguasai kerajaan Yaman seutuhnya, di bawah perintah dua panglima tersebut, yaitu Aryath dan Abrahah.

   Kemudian mereka berdua berselisih paham dalam pemerintahannya. Keduanya bertengkar, beradu mulut dan bersiap-siap untuk berperang. Maka salah satu di antara mereka berdua berkata, “Kita tidak perlu melibatkan dua pasukan dalam peperangan, cukup kita berdua sajalah yang berduel satu lawan satu. Siapa yang menang di antara kita, maka dialah yang memerintah kerajaan ini.”

    Usulan ini disetujui oleh lawannya, maka keduanya berduel satu lawan satu, masing-masing dari keduanya menggali parit di belakangnya. Aryath menyerang Abrahah. Dia menebaskan pedangnya, hingga memotong hidung Abrahah, merobek mulutnya dan mengoyak wajahnya. Kemudian datanglah Ataudah, seorang pengawal setia Abrahah, dia menyerang Aryath hingga berhasil membunuhnya. Dan Abrahah pulang dalam keadaan terluka, kemudian lukanya diobati hingga sembuh dan dia pun akhirnya menjadi satu-satunya pemenang kendali tentara Habasyah di Yaman.

   Kemudian an-Najasyi mengirim surat kepada Abrahah, dia menyalahkan Abrahah atas tindakan yang telah ia lakukan, bahkan ia berjanji dan bersumpah akan menginjak-injak (menyerang) negerinya dan mencukur ubun-ubunnya.

    Lalu Abrahah mengirim utusan kepadanya untuk meluluhkan dan mengambil hatinya. Bersama utusannya itu Abrahah mengirim hadiah-hadiah dan bingkisan-bingkisan ditambah dengan sebuah katong yang berisi tanah Yaman dan rambut ubun-ubunnya yang telah dia cukur. Abrahah mengirim semua itu melalui utusannya kepada an-Najasyi disertai sepucuk surat yang berisi, “Raja bisa menginjakkan kaki di atas tanah yang ada di dalam kantong ini sehingga bisa memenuhi sumpah (yang telah Raja ucapkan), dan ini adalah rambut ubun-ubunku, aku mengirimkannya kepadamu.”

    Ketika surat tersebut sampai kepada an-Najasyi, ia mengagumi apa yang telah dilakukan oleh Abrahah dan akhirnya dia bisa menerima dan menyetujui perbuatannya.

    Lalu Abrahah mengirim surat kepada Najasyi dengan mengatakanm “Sungguh, aku akan membangun sebuah gereja yang belum pernah dibangun sebelumnya untukmu di negeri Yaman.” Kemudian Abrahah menjalankan proyek pembangunan sebuah gereja yang megah di Shan’a’. Bangunannya menjulang tinggi dan altarnya pun demikian. Semua sisinya dihias dengan megah. Orang Arab menyebutnya dengan al-Qullais karena ketinggiannya.[Lafazh qalansuwah (peci) diambil dari akar kata yang sama, yakni al-qals] Maksudnya, jika orang melihat ketinggiannya dari bawah, maka peci(qalansuwah)nya hampir jatuh dari kepalanya, karena tingginya bangunan tersebut.

     Abrahah al-Asyram[Artinya yang pesek dan sumbing, bekas pedang Aryath, ketika mereka berduel] bertekad agar orang-orang Arab memusatkan hajinya ke sana, sehingga haji mereka tidak lagi berpusat di Ka’bah kota Makkah. Makai a menyerukan tekadnya tersebut di wilayah kerajaannya, sehingga orang-orang Arab suku Adnan dan suku Qahthan membenci tekadnya tersebut.

    Kaum Quraisy pun menjadi sangat marah karenanya, sehingga sebagian orang dari mereka mendatangi gereja itu dan masuk ke dalamnya di waktu malam lalu membuat kerusuhan di dalamnya, kemudian kembali pulang (sebelum siang). Ketika para penjaga gereja melihat kejadian tersebut, mereka melaporkan hal itu kepada raja Abrahah. Mereka berkata kepadanya “ini dilakukan oleh sebagian orang-orang Quraisy karena mereka kesal kepadamu yang telah menjadikan gereja ini sebagai  tandingan bagi bait (rumah) mereka (yakni Ka’bah).” Lalu Abrahah bersumpah bahwa ia akan menyerang Ka’bah di Makkah dan menghancurkannya berkeping-keping.

   Muqtail bin Sulaiman menceritakan bahwa beberapa pemuda dari suku Quraisy memasuki gereja tersebut, lalu menyalakan api di dalamnya, sedangkan pada hari itu cuaca sangat panas, sehingga gereja tersebut terbakar dan ambruk.

   Karena itulah, Abrahah bersiap-siap dan berangkat dengan membawa pasukan tentara yang berjumlah besar dan tangguh, agar tidak seorang pun bisa menghalang-halanginya. Ia mengendarai gajah yang begitu besar, yang belum pernah ada gajah sebesar itu sebelumnya. Gajahnya itu diberi nama Mahmud, yang dikirimkan oleh Najasyi (raja Habasyah) kepadanya untuk keperluan itu. Ada yang mengatakan bahwa ada delapan ekor gajar yang dibawanya. Ada juga yang mengatakan dua belas ekor, selain yang dikendarai Abrahah. Wallahu a’lam.

   Hal itu dimaksudkan untuk menghancurkan Ka’bah dengan cara mengikat setiap sudut Ka’bah dengan rantai, lalu rantai itu dikalungkan di leher gajah. Jika gajah itu dihalau, maka tembok Ka’bah akan runtuh dengan sekali tarikan saja.

           

Ketika kaum Arab mendengar perjalanan Abrahah, mereka menganggapnya sebagai perkara yang sangat gawat. Mereka bertekad untuk membela Ka’bah dengan menghalangi serangan tentara Abrahah, dan menghalangi orang yang ingin menghancurkannya.

Salah seorang pembesar dan raja dari negeri Yaman yang bernama Dzu Nafar tampil keluar, menyeru kaumnya dan seluruh kaum Arab untuk ikut bersamanya melawan Abrahah. Ia berseru untuk berjuang membela Ka’bah serta menghalangi keinginan Abrahah untuk meruntuhkan dan menghancurkan Ka’bah.

   Maka mereka menanggapi seruannya dan berperang melawan Abrahah. Akan tetapi Abrahah bisa mengalahkan mereka, karena Allah Subhanallahu wa ta’ala hendak menunjukkan kehormatan dan keagungan Ka’bah. Dzu Nafar sendiri ditawan, dan Abrahah membawanya melangkah maju.

   Sesampainya di negeri Khasy’am, Abrahah dihadang oleh Nufail bin Habib al-Khasy’ami bersama kaumnya, juga Syahran dan Nahis. Akan tetapi Abrahah pun dapat mengalahkan mereka dan menawan Nufail bin Habib. Abrahah ingin membunuhnya, tapi kemudian ia memaafkannya dan membawanya untuk menjadi penunjuj jalan menuju negeri Hijaz.

    Ketika mendekati wilayah Tha-if, maka penduduk Tsaqif keluar menemui Abrahah. Mereka bersikap baik kepadanya karena khawatir dengan rumah ibadah mereka yang bernama Lata. Mereka memuliakan Abrahah dan pasukannya, lalu mereka mengutus Abu Raghal sebagai penunjuk jalan.

    Ketika Abrahah sampai di daerah al-Mughammas yang berada di dekat kota Makkah, ia berhenti di sana. Kemudian bala tentaranya merampas harta benda milik penduduk Makkah yang terdiri dari unta dan harta lainnya.

    Dari semua harta yang diambil, terdapat dua ratus unta milik ‘Abdul Muththalib. Orang yang merampas harta benda penduduk Makkah dengan perintah Abrahah adalah panglima pasukan garis depan yang bernama al-Aswad bin Maqshud, sehingga beberapa orang Arab mencelanya, berdasarkan riwayat yang disebutkan oleh Ibnu Ishaq.

    Lalu Abrahah mengutus Hanathah al-Himyari ke Makkah. Ia diperintahkan untuk membawa tokoh kaum Quraisy bersamanya serta memberitahukan bahwa sang raja tidak akan datang untuk memerangi kalian, kecuali jika menghalang-halanginya untuk melindungi Ka’bah.

    Ketika Hanathah tiba di Makkah, ia ditunjukkan kepada ‘Abdul Muththalib bin Hasyim. Hanathah menyampaikan kata-kata Abrahah kepadanya. Maka ‘Abdul Muththalib berkata, “Demi Allah, kami tidak ingin memeranginya, kami tidak punya kekuatan untuk berperang. Ini adalah Baitullah al-Haram (rumah Allah yang mulia) dan rumah Khalil-Nya Ibrahim. Jika Dia berkehendak melindunginya, maka memang rumah ini adalah rumah suci dan haram-Nya (yang Allah haramkan menghancurkannya). Dan jika Allah berkehendak membiarkannya, maka kami pun tidak kuasa membela rumah ini.”

     Lalu Hanathah berkata kepadanya, “Mari pergi bersamaku untuk menemui Abrahah.” Maka ‘Abdul Muththalib pergi bersamanya.

    Ketika Abrahah melihat ‘Abdul Muththalib, ia menghormatinya. ‘Abdul Muththalib merupakan pria yang berbadan besar dan rupawan. Abrahah turun dari kursi kebesarannya dan ia duduk bersama ‘Abdul Muththalib di atas permadani. Ia berkata kepada juru bicaranya (penerjemahnya), “Tanyakan kepdanya, apa yang ia butuhkan? “Maka ‘Abdul Muththalib berkata kepada juru bicara Abrahah, “Sesungguhnya yang aku butuhkan ialah dua ratus unta milikku yang telah diambil, mohon raja berkenan mengembalikannya kepadaku.”

    Lalu Abrahah berkata kepada penerjemahnya, “Katakan padanya, ‘Sungguh kamu telah membuatku kagum ketika aku melihatmu. Akan tetapi sekarang aku memandangmu remeh, karena kamu masih membicarakan dua ratus unta milikmu yang telah aku ambil, sementara kamu membiarkan Ka’bah yang merupakan simbol agamamu dan agama nenek moyangmu. Padahal aku datang ke sini untuk menghancurkannya. Tidakkah kamu membicarakan hal itu denganku?”

    Maka ‘Abdul Muththalib berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku ini pemilik unta. Sedangkan Ka’bah itu ada Pemiliknya sendiri (Allah). Dialah yang akan membelanya.”

    Abrahah berkata, “Dia tidak akan bisa mencegahku.”

    ‘Abdul Muththalib berkata, “Itu urusanmu.”

    Ada yang menceritakan bahwa ‘Abdul Muththalib menemui Abrahah disertai sejumlah pemuka orang-orang Arab. Mereka menawarkan sepertiga hartanya mereka kepada Abrahah, dengan catatan ia harus menarik kembali tekadnya. Akan tetapi Abrahah menolaknya dan mengembalikan unta milik ‘Abdul Muththalib.

   Kemudian ‘Abdul Muththalib kembali menuju kaum Quraisy, lalu ia memerintahkan mereka agar keluar dari kota Makkah dan berlindung di atas puncak gunung, karena dia takut terimbas amukan pasukan Abrahah.

   Kemudian ‘Abdul Muththalib bangkit berdiri, lalu ia memegang lingkaran besi yang ada di pintu Ka’bah. Ia berdo’a bersama sebagian kaum Quraisy kepada Allah meminta pertolongan atas serangan Abrahah dan bala tentaranya. Sambil memegang lingkaran besi yang ada di pintu Ka’bah, ‘Abdul Muththalib berkata:

“Ya Allah, sesungguhnya manusia melindungi tempat tinggal nya, maka lindungilah tempat suci-Mu.”

“Jangan sampai salib dan tipu daya mereka mengalahkan tipu daya-Mu esok hari.”

   Ibnu Ishaq berkata, “Kemudian ‘Abdul Muththalib melepaskan lingkaran besi yang ada di pintu Ka’bah, kemudian mereka keluar menuju puncak gunung.”

   Muqtail bin Sulaiman menceritakan bahwa mereka meninggalkan seratus ekor unta yang berkalung di Ka’bah. Siapa tahu sebagian bala tentara Abrahah ada yang mencurinya tanpa hak, sehingga Allah akan membalas mereka.

   Ketika fajar menyingsing, Abrahah bersiap-siap memasuki kota Makkah. Ia menyiapkan gajahnya yang diberi nama Mahmud. Ia mengomando bala tentaranya. Ketika mereka mengarahkan gajah menuju kota Makkah, Nufail bin Habib melangkah ke depan sehingga ia berdiri di samping gajah tersebut. Kemudian Nufail memegang kupingnya dan berkata, “Duduklah wahai Mahmud atau kembalilah dengan selamat ke tempat asalmu, karena kamu berada di tanah Allah yang suci.”

   Kemudian Nufail melepaskan kupingnya, lalu gajah tersebut bersimpuh, dan Nufail bin Habib berlari sekuat tenaga menuju puncak sebuah gunung. Lalu mereka memukul kepalanya dengan kapak dan memasukkan tongkat yang berujung lengkung ke dalam lubang belalai gajah tersebut lalu mencabutnya agar ia bangkit berdiri, akan tetapi gajah tersebut tetap tidak mau bangkit berdiri. Lalu mereka mengarahkan gajah tersebut kembali ke arah negeri Yaman, maka gajah tersebut bangkit berdiri dan bergegas melangkahkan kakinya. Dan mereka mengarahkannya ke arah Syam, maka gajah tersebut juga mau berjalan. Dan ketika mereka mengarahkannya ke arah timur, maka ia juga mau berjalan. Akan tetapi jika mereka mengarahkannya ke kota Makkah, maka gajah tersebut berhenti menderum.

    Kemudian Allah mengutus burung dari laut yang mirip dengan burung alap-alap dan burung balsan [yakni burung zurzur atau burung tiung (gracula religiosa)]. Masing-masing burung membawa tiga batu, satu batu di paruhnya dan dua batu di kedua kakinya. Batu yang dibawanya sebesar biji kedelai dan kacang adas. Dan siapa saja yang terkena batu tersebut, maka dia binasa. Namun tidak semua orang dari mereka terkena lemparan batu. Mereka berlarian kocar-kacir mencari jalan. Mereka mencari-cari Nufail agar menunjukkan jalan bagi mereka. Sementara Nufail bersama kaum Quraisy dan orang-orang Arab dari Hijaz telah berada di puncak gunung. Mereka melihat siksaan yang diturunkan oleh Allah terhadap tentara gajah itu. Nufail berkata:

“Ke manakah tempat berlari, sedangkan Allah pasti menuntut Dan al-Asyram lah yang kalah, bukan yang menang.”

Ibnu Ishaq menceritakan bahwa Nufail juga berkata ketika itu:

“Tidakkah kamu dihormati karena kami wahai Rudainah. Kita bersama telah mengenyam kenikmatan bersama pagi. Wahai Rudainah, seandainya kamu melihat –sayang kamu tidak melihatnya-

Apa yang kami lihat di sebelah al-Muhashhab? [Al-Muhasshab adalah tempat melempar jumrah di Mina]

Niscaya kamu memaklumiku dan memuji keputusanku,

dan kamu tidak bersedih atas apa yang hilang di antara kami.

Aku memuji Allah ketika aku melihat burung.

Dan aku takut batu api dilemparkan ke arah kami.

Seluruh bala tentara bertanya tentang Nufail.

Seolah-olah aku memikul hutang untuk bangsa Habasyah.”

  ‘Atha’ bin Yasar dan lainnya berkata, “Tidak semua orang dari mereka terkena adzab pada saat itu. Sebagian di antara mereka ada yang langsung binasa, dan sebagian lagi melarikan diri dengan anggota tubuh yang tercecer satu demi satu. Abrahah termasuk orang yang melarikan diri, dengan anggota tubuhnya yang terlepas satu demi satu, hingga ia mati di negeri Khasy’am.

   Ibnu Ishaq berkata, “Mereka berlari kocar-kacir, lalu berjatuhan di sudut-sudut jalan. Mereka binasa di setiap sumber mata air. Abrahah sendiri terluka di sekujur tubuhnya, dan tentaranya berlari memapah Abrahah pulang dengan tubuh yang tercecer dari persendiannya satu demi satu hingga mereka tiba di Shan’a’. Keadaan Abrahah seperti anak burung karena sangat lemah. Lalu ia mati dalam keadaan dadanya terbelah dari hatinya.”

   Ibnu Ishaq berkata, “Ketika Allah mengutus Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, maka di antara perkara yang merupakan nikmat dan karunia Allah atas orang-orang Quraisy adalah pembelaan-Nya untuk mereka dari serbuan orang-orang Habasyah sehingga kehidupan dan keberadaan mereka tetap berlangsung.”

   Allah Subhanallahu wa ta’ala berfirman,

أَلَمْ تَرَكَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَــٰبِ ٱلْفِيلِ، أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِى تَضْلِيلٍ، وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرً أَبَابِيلَ، تَرْمِيهِمْ بِحِجَا رَةٍمِّنْ سِجِّيلٍ، فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولِ

“Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Rabb-mu telah bertindak terhadap pasukan bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong. Yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar. Sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan ulat.” Yakni, Allah Subhanallahu wa ta’ala tidak akan mengubah keadaan mereka sedikit pun dari keadaan mereka semula (yang dilindungi Allah Subhanallahu wa ta’ala dari pasukan bergajah itu), Karena kebaikan yang dikehendaki oleh Allah terhadap mereka. Akan tetapi hal ini Allah Subhanallahu wa ta’ala lakukan jika mereka menerima agama-Nya.

   Ibnu Hisyam berkata, “Lafazh اَلْأَ بَابِيل berarti sekawanan (burung), dan orang-orang Arab tidak mengenal bentuk mufrad (tunggal) dari kata tersebut.” Ibnu Hisyam berkata, “Adapun tentang سِجِّيل maka Yunus an-Nahwi dan Abu ‘Ubaidah memberitahukanku bahwa سِجِّيلٌ menurut orang Arab ialah sesuatu yang sangat keras.”

   Ibnu Hisyam berkata, “Sebagian ulama tafsir menyebutkan bahwa kata tersebut berasal dari dua kata Bahasa Persia, lalu orang-orang Arab menjadikannya satu kalimat. Lafazh سِجِّيلٌ berasal dari سَنَجَ dan خِلّ yang pertama berarti  batu, sementara yang kedua berarti tanah liat.”

   Ibnu Hisyam berkata, “Batu yang dibawa burung tersebut berasal dari dua jenis ini, yaitu batu dan tanah liat.”

   Ibnu Hisyam berkata, “Lafazh اَلْعَصْفُ ialah daun tanaman yang tidak dipotong. Kata tunggalnya adalah عَصْفَةٌ.” Demikianlah penjelasan Ibnu Hisyam.

   Hammad bin Salamah berkata dari ‘Ashim dari Zirr dari ‘Abdullah bin Abu Salamah bin ‘Abdurrahman tentang ayat, {طَيْرًا أَبَابِيلَ} “Burung yang berbondong-bondong,” yakni berkelompok-kelompok. Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma dan adh-Dhahhak berkata, “Lafazh أَبَابِيلَ berarti terbang secara beriringan satu sama lain saling mengikuti.”

    Al-Hasan al-Bashri dan Qatadah berkata, “اَلا بَابِيل ialah burung yang banyak.” Mujahid berkata, ”  اَلا بَابِيلberarti burung yang bermacam-macam, terbang secara beriringan dan berkumpul.” Ibnu Zaid berkata, ” اَلا بَابِيل berarti berbagai macam burung, terbang dari sana sini, menyerang mereka dari segala penjuru.” Al-Kisa-i berkata, “Aku mendengar sebagian ulama ahli nahwu berkata, ‘Kata tunggal dari اَ بَابِيل adalah إِبِيلٌ.”

   Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ishaq bin ‘Abdillah bin al-Harits bin Naufal, bahwa ia berkata tentang firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, { وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرً أَبَابِيلَ } “Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong.” Bergerombol-gerombol seperti unta yang berkerumun.”

    Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma, ia menafsirkan ayat, “Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong.” “Yakni yang memiliki paruh yang panjang dan memiliki cakar seperti telapak kaki anjing.”

    Diriwayatkan dari ‘Ikrimah, ia menafsirkan dirman Allah Subhanallahu wa ta’ala “Burung yang berbondong-bondong,” yakni burung yang berwarna hijau, keluar dari laut, memiliki kepala seperti kepala hewan buas.”

    Diriwayatkan dari ‘Ubaid bin ‘Umair, ia menafsirkan ayat, “Burung yang berbondong-bondong.” Yakni burung-burung yang berwarna hitam, berasal dari laut, membawa batu di paruh dan kuku-kukunya. Sanad dari riwayat-riwayat tersebut adalah shahih.

   Diriwayatkan dari ‘Ubaid bin ‘Umair, ia berkata, “Ketika Allah hendak membinasakan pasukan bergajah, Dia mengutus burung untuk menyerang mereka. Burung tersebut muncul dari laut seperti burung alap-alap. Setiap burung membawa tiga batu: dua batu dibawa dengan kedua cakarnya, dan satu batu dibawa di paruhnya.” ‘Ubaid berkata, “Burung tersebut datang lalu membentuk barisan, kemudian bersuara keras dan melemparkan batu yang ada di kaki dan di paruhnya. Jika batu tersebut jatuh mengenai kepala seseorang, maka batu tersebut tembus keluar dari duburnya. Dan jika batu tersebut jatuh mengenai salah satu sisi anggota tubuhnya, maka batu tersebut keluar dari sisi tubuh lainnya yang lain. Dan Allah menurunkan angina yang sangat kencang dari atas, sehingga batu tersebut bertambah kencang jatuhnya. Akhirnya mereka semua binasa.”

     Selanjutnya firman Allah Subhanallahu wa ta’ala, {فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولِ} “Sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan ulat.” Sa’id bin Jubair menafsirkannya, “Yakni, jerami yang dinamakan oleh orang-orang awam dengan habbaur.” Dalam riwayat lain dari Sa’id disebutkan bahwa daun tersebut adalah daun gandum. Diriwayatkan juga darinya bahwa العَصْفِ ialah jerami dan “yang di makan” adalah yang dipotong-potong sebagai makanan binatang. Al-Hasan al-Bashri juga mengatakan demikian.

     Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhuma, bahwa العَصْفِ ialah kulit yang menutupi biji-bijian seperti kulit yang menutupi biji gandum.” Ibnu Zaid berkata, ” العَصْفِ ialah daun tanaman dan daun sayuran, apabila binatang memakannya lalu membuangnya dalam bentuk kotoran hewan.”

    Maksudnya, Allah Subhanallahu wa ta’ala membinasakan dan menghancurkan mereka. Dia menggagalkan tipu daya mereka dan membuat mereka marah karena tidak mendapatkan kebaikan apa pun. Dia membinasakan kebanyakan dari mereka. Tidak ada penyampai berita yang kembali, kecuali dalam keadaan terluka seperti yang dialami oleh raja mereka, Abrahah. Dadanya terbelah dari hatinya ketika ia sampai di negerinya Shan’a’. Ia memberitahukan kepada mereka tentang apa yang terjadi pada bala tentaranya, kemudian ia mati.

     Akhirnya kerajaan dipegang oleh anaknya yang bernama Yaksum. Kemudian digantikan oleh saudaranya, yakni Masruq bin Abrahah.

    Kemudian Saif bin Dzu Yazan al-Himayri pergi menuju Kisra (pemimpin Persia) untuk meminta pertolongan dalam mengatasi orang-orang Habasyah. Maka Kisra mengirimkan bala tentaranya bersama Saif, dan mereka berperang bersamanya. Akhirnya Allah mengembalikan kerajaan mereka kepada mereka, kerajaan yang mereka warisi dari nenek moyang mereka. Maka utusan-utusan dari kaum Arab mendatanginya untuk mengucapkan selamat. [Lihatlah secara terperinci dalam buku Siirah Ibni Hisyam]

    Kami telah menjelaskan dalam tafsir surat  al-Fath, bahwa ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berada di bukit yang menghadap kepada kaum Quraisy pada hari perjanjian Hudaibiyah, unta beliau bersimpuh (menderum), maka orang-orang menghadirkannya agar berjalan, tapi unta beliau tidak mau berjalan. Lalu mereka berkata, “Al-Qashwa [Nama unta yang dikendarai Shallallahu alaihi wa sallam] telah mogok.” Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَا خَلَأَتِ الْقَصْوَاءُ، وَمَا ذَاكَ لَهَا بِخُلُقٍ، وَلَكِنْ حَبَسَهَا حَابِسُ الْفِيلِ

“Al-Qashwa tidaklah mogok, dan itu bukanlah sifatnya, akan tetapi ia ditahan oleh (Allah Subhanallahu wa ta’ala) Yang menahan gajah (yang datang untuk meruntuhkan Ka’bah).”

Kemudian beliau bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ، يَسْأَلُونِّيَ الْيَوْمَ خُطَّةً يُعَظِّمُونَ فِيْهَا حُرُمَاتِ اللهِ، إِلَّا أَجَبْتُهُمْ إِلَيْهَا

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, pada hari ini, tidaklah mereka meminta kepadaku suatu rencana yang dengannya mereka mengagungkan hurumatullah (perkara atau tempat yang dimuliakan Allah) kecuali aku pasti memenuhi perintah mereka.”

   Kemudian beliau menghalau unta beliau, maka unta tersebut namgkit berdiri. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari sendiri.

   Dalam Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda pada hari penaklukan kota Makkah:

إنَّ اللهَ حَبَسَ عَنْ مَكَّةَ الْفِيْلَ، وَسَلَّطَ عَلَيْهَا رَسُوْلَهُ وَالْمُؤْمِنِيْنَ، وَإِنَّهُ قَدْ عَادَتْ حُرْمَتُهَا الْيَوْمَ كَحُرْمَتِهَا بِا لْأَمْسِ، أَلَا فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الَغَاءِبَ

“Sesungguhnya Allah telah mempertahankan kota Makkah dari serangan tentara bergajah, dan Dia menguasakannya kepada Rasul-Nya dan orang-orang mukmin. Dan sungguh, kesucian kota Makkah telah kembali seperti semula pada hari ini seperti kesuciannya pada hari kemarin. Ingatlah! Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.”

   Demikianlah akhir tafsir surat al-Fiil. Hanya milik Allah Subhanallahu wa ta’ala lah segala puji dan anugerah.

 

Disalin ulang dari:  Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 9, Cetakan ke-sembilan Muharram 1435 H – November 2013 M, Pustaka Ibnu Umar Jakarta

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini:

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker