AqidahARTIKEL

Pasal Keempat : Beriman Kepada Nama-nama dan Sifat-sifat Allah Subhanallahu wa ta’ala

Pasal Keempat:

Beriman Kepada Nama-nama dan Sifat-sifat Allah Subhanallahu wa ta’ala

 

Seorang Muslim beriman kepada Asma al-Husna (Nama-nama yang terbaik) yang dimiliki Allah Subhanallahu wa ta’ala dan sifat-sifatNya yang teragung, dengan tidak mempersekutukan siapa pun denganNya di dalam Asma al-Husna dan sifat-sifat tersebut. Ia tidak menta’wilkannya (menginterpretasikannya dengan arti yang tidak sesuai dengan maksudnya, pent) sehingga menta’ thil (meniadakan sifat tersebut), dan tidak pula melakukan tasybih (menyerupakan nama dan sifat Allah) dengan sifat-sifat makhluk, lalu menanyakan hakikat sifatNya (takyif) atau menyerupakan dengan sifat-sifat makhluk, karena yang demikian itu mustahil adanya. Jadi, seorang Muslim itu meyakini dan menetapkan semua nama dan sifat yang ditetapkan oleh Allah Subhanallahu wa ta’ala bagi DiriNya dan yang ditetapkan oleh RasulNya untukNya; ia menafikan (meniadakan) segala cela dan kekurangan yang dinafikan oleh Allah dariNya atau dinafikan oleh RasulNya dariNya, baik secara global maupun secara terperinci. Yang demikian itu berdasarkan dalil-dalil naqli dan ‘aqli berikut ini:

> Dalil-dalil Naqli

  1. Adanya berita dari Allah Subhanallahu wa ta’ala tentang nama-nama dan sifat-sifat- Nya, di mana Dia berfirman,

وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَاۖ وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِيْٓ اَسْمَاۤىِٕهٖۗ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Hanya milik Allah Asma al-Husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut Asma al-Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
(Al- A’raf: 180)

Dan FirmanNya juga,

قُلِ ادْعُوا اللّٰهَ اَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَۗ اَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰىۚ 

“Katakanlah, ‘Serulah Allah, atau serulah ar-Rahman (Yang Maha Pengasih). Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Asma al-Husna (nama-nama yang terbaik)’.”
(Al-Isra’: 110)

Allah Subhanallahu wa ta’ala telah menegaskan bahwa DiriNya Maha Mendengar (Sami’) lagi Maha Melihat (Bashir); Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana; Mahakuat lagi Mahaperkasa; Mahalembut lagi Maha Mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi; Maha Mensyukuri lagi Maha Penyantun; Maha Pengampun lagi Maha Penyayang; dan sesungguhnya Dia telah berbicara kepada Nabi Musa, bersemayam (istiwa’) di atas Arasy dan menciptakan dengan kedua TanganNya dan bahwasanya Dia mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan, meridhai yang beriman, dan sifat-sifat dzatiyah (yang berhubungan dengan Diri- Nya) dan sifat-sifat fi’liyahNya (sifat-sifat yang berhubungan dengan perbuatanNya yang lain, seperti kedatanganNya, turun (nuzul)Nya) yang Dia tegaskan di dalam kitab suci al-Qur’an dan yang diucapkan oleh Rasulullah.

  1. Berita dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah yang tertera di dalam hadits-hadits shahih yang sangat jelas, seperti sabda beliau,

يَضْحَكُ اللَّهُ إلى رَجُلَيْنِ يَقْتُلُ أحَدُهُما الآخَرَ يَدْخُلَانِ الجَنَّةَ.

“Allah tertawa kepada dua orang lelaki, yang salah seorang dari keduanya membunuh yang lain, namun keduanya masuk surga.”

لا تزالُ جهنمُ يُلقَى فيها وهي تقولُ : هل من مزيدٍ ؟ حتى يضعَ ربُّ العزةِ فيها قدمَه فينزَوي بعضُها إلى بعضٍ وتقولُ : قَطْ قَطْ

“Neraka Jahanam terus diisi, dan ia berkata, “Apakah masih ada tambahan lagi?’ Hingga (Allah) Rabb yang Mahangung meletakkan kakiNya padanya. (dalam satu riwayat: telapak kakiNya). Maka merapatlah bagiannya yang satu dengan bagian yang lain. Lalu Neraka Jahanam berkata, “Cukup, cukup’.”

يُنَزِلُ رَبُّنَا إِلَى السَمَاءِ الدُنْيَا حَيْثُ يبقَى ثلثُ اللَيْلِ الآخرُ فيقولُ: مَن يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ؟ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأَعْطِيَهُ؟ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ.

“Rabb kita turun ke langit dunia setiap malam ketika tersisa sepertiga malam yang akhir, lalu Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepadaKu, niscaya Aku mengabulkannya. Siapa yang meminta kepadaKu, niscaya Aku memberinya. Siapa yang meminta ampun kepadaKu, niscaya Aku mengampuninya’.”

اللهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ بِرَاحِلَتِهِ

“Sungguh, Allah lebih berbahagia karena taubat seorang hambaNya daripada salah seorang kamu (yang menemukan kembali) hewan tunggangannya (yang hilang di padang sahara).”

Pertanyaan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada budak wanita,

أَيْنض اللهُ؟ فَقَالَتْ: فِيْ السَّمَاءِ، قَالَ: مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ، قَالَ: أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ.

“Di manakah Allah?” Ia menjawab, “Di langit.” Beliau bertanya, “Siapa aku?” Budak itu menjawab, “Engkau adalah utusan Allah.” Lalu beliau bersabda, “Merdekakan dia, karena dia seorang wanita yang beriman.”

يَقْبِضُ اللَّهُ الأرْضَ يَومَ القِيامَةِ، ويَطْوِي السَّماءَ بيَمِينِهِ، ثُمَّ يقولُ: أنا المَلِكُ أيْنَ مُلُوكُ الأرْضِ

“Pada Hari Kiamat kelak Allah menggenggam bumi dan menggulung langit dengan Tangan kananNya, kemudian Dia berfirman, ‘Akulah Raja Penguasa! Mana para raja di bumi?”

  1. Pengakuan kaum as-Salaf ash-Shalih dari generasi Sahabat, Tabi’in dan para tokoh madzhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin hanbal, pent) Rahimahumullahu, tentang sifat-sifat Allah s dan mereka tidak menta’wilkannya, tidak pula menolaknya atau mengeluarkannya dari makna lahirnya.

Tidak seorang pun dari sahabat Nabi yang menfa’wil salah satu sifat Allah atau mengatakan bahwa zahir sifat itu bukan yang dimaksud. Akan tetapi mereka beriman kepada maknanya dan mengartikannya sebagaimana zahirnya. Mereka mengetahui bahwa sifat-sifat Allah Subhanallahu wa ta’ala itu tidak seperti sifat-sifat makhluk. Maka dari itu, ketika Imam Malik Rahimahullahu, ditanya tentang Firman Allah,

اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى

“Rabb Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arasy.”
(Thaha: 5).

Beliau menjawab, “Istiwa (bersemayam) itu sudah diketahui (arti- nya), kaifiyahnya (hakikat sifatNya) tidak diketahui, dan mempertanya- kannya adalah bid’ah.”

Imam asy-Syafi’i pernah berkata, “Aku beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang datang dari Allah sesuai dengan maksud yang diinginkan Allah; dan aku beriman kepada Rasulullah dan kepada sesuatu yang datang dari Rasulullah sesuai dengan maksud yang diinginkan Rasulullah.”

Imam Ahmad bin Hanbal lle juga mengatakan, berkaitan dengan sabda-sabda Rasulullah seperti: “Sesungguhnya Allah turun ke langit yang terendah; dan bahwasanya Allah dapat dilihat pada Hari Kiamat; Allah takjub, tertawa dan marah, meridhai, tidak menyukai dan mencintai,” beliau berkata, “Kami beriman kepada semua itu dan membenarkannya, tan- pa takyif (tanpa mempertanyakan bagaimana hakikatnya) dan tan- pa (mempertanyakan) makna (hakikatnya).” Maksudnya adalah, kita beriman bahwasanya Allah turun (yanzil) dan dapat dilihat kelak di akhirat; Dia berada di atas ‘ArasyNya terpisah dari makhlukNya, akan tetapi kita tidak dapat mengetahui hakikat (kaifiyah) turunNya, ru’yah (melihat)Nya, cara bersemayamNya dan makna yang hakiki untuk itu semua. Semua pengetahuan tentang masalah itu kita serahkan sepe- nuhnya kepada Allah yang telah memfirmankannya dan telah mewah- yukannya kepada Nabi Muhammad , kita tidak menentang Rasulullah, tidak pula menetapkan sifat bagi Allah lebih dari apa yang ditetapkan oleh Allah bagi DiriNya dan dari apa yang ditetapkan oleh RasulNya bagiNya, tanpa batasan. Namun kita tetap mengetahui bahwasanya Allah tidak menyerupai sesuatu apa pun, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

>Dalil-dalil ‘Aqli

  1. Allah Subhanallahu wa ta’ala telah menetapkan sifat-sifat bagi DiriNya dan telah menamakan DiriNya dengan nama-nama; Dia tidak melarang kita untuk menyebut dan menamakanNya dengan sifat-sifat dan nama-nama tersebut, dan tidak pernah menyuruh kita untuk melakukan ta’wil terhadap sifat-sifat dan nama-namaNya itu, atau mengartikannya di luar arti lahiriyahnya. Lalu apakah masuk akal apabila kita menyebut dan menyifati Allah dengan sifat dan nama-nama tersebut kita dikatakan telah menyerupakan Allah dengan makhlukNya, sehingga karena itu kita wajib melakukan ta’wil dan mengartikannya di luar arti yang sebenarnya? Walaupun dengan begitu kita menjadi mu’aththilin (orang yang meniadakan sifatnya, pent) serta menafikan sifat-sifat Allah dan mengingkari nama-namaNya!!! Padahal Allah telah mengancam orang-orang mulhidin (yang mengingkari), seraya berfirman,

وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِيْٓ اَسْمَاۤىِٕهٖۗ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
(Al-A’raf: 180).

  1. Bukankah orang yang menafikan salah satu sifat Allah Subhanallahu wa ta’ala karena takut dari tasybih (takut terjerumus kepada keyakinan menyerupakan atau menyamakan Allah dengan makhlukNya, pent.) itu berarti (pertama-tama) ia telah menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk? Kemudian, karena takut dari tasybih ia lari darinya dan terjebak di dalam nafi (meniadakan) dan ta’ thil. Maka dengan begitu ia menafikan dan mengingkari sifat-sifat Allah yang telah Dia tetapkan bagi DiriNya. Dan dengan demikian, berarti ia telah melakukan dua dosa besar sekaligus, yaitu tasybih dan ta’thil!

Jika demikian adanya, bukankah sesuatu yang masuk akal bila Allah Subhanallahu wa ta’ala disifati dengan sifat-sifat yang telah Dia tetapkan bagi DiriNya dan dengan sifat-sifat yang diungkapkan oleh Rasulullah dengan keyakinan bahwa sifat-sifat Allah itu tetap tidak serupa dengan sifat- sifat makhluk, sebagaimana Dzat Allah itu sendiri tidak sama dan tidak serupa dengan dzat makhluk?

  1. Sesungguhnya beriman kepada sifat-sifat Allah dan menyifati Allah dengannya tidak mengharuskan tasybih dengan sifat-sifat makhluk, sebab akal sehat itu sendiri tidak menolak kalau Allah mempunyai sifat-sifat khusus bagiNya yang tidak serupa dengan sifat- sifat makhluk, tidak akan pernah sama kecuali hanya dalam sekedar nama dan sebutan saja. Maka Sang Pencipta memiliki sifat-sifat khusus bagiNya, sebagaimana bagi makhluk memiliki sifat-sifat yang khusus baginya.

Ketika seorang Muslim beriman kepada sifat-sifat Allah dan menyifatiNya dengan sifat-sifat tersebut, ia sama sekali tidak berkeya- kinan dan tidak pernah terlintas di dalam hatinya bahwa Tangan Allah Subhanallahu wa ta’ala itu -misalnya-mirip atau sama dengan tangan makhluk dalam makna seperti apa pun jua. Yang demikian itu, karena Sang Pencipta, Allah sangat berbeda dan tidak sama dengan makhlukNya, baik pada Dzat maupun perbuatanNya.

Allah Subhanallahu wa ta’ala telah berfirman,

قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ، اَللّٰهُ الصَّمَدُ، لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ

“Katakanlah, ‘Dia-lah Allah Yang Maha Esa, Allah adalah Rabb yang bergantung kepadaNya segala sesuatu, Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tiada seorang pun yang setara dengannya’.”
(Al-Ikhlash: 1-4).

Dia juga telah berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

“Tiada sesuatu apa pun yang serupa denganNya, dan Dia-lah Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(Asy-Syura: 11).

 

Disalin ulang dari: Kitab Minhajul Muslim Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jajairi Edisi Indonesia, Cetakan XV Jumadil ula 1437H/2016M, Darul Haq Jakarta.

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini:

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker