Hasutan Menjadi Ujian Dunianya
Amir Bin Abdillah At-Tamimi (Bagian 3)
Meski demikian gemilangnya perjalanan hidup Amir bin Abdillah sebagaimana yang Anda lihat, namun beliau tidak terhindar pula dari hasutan dan gangguan manusia.
Beliau menghadapi resiko seperti yang biasa dialami oleh orang yang lantang menyuarakan kebenaran, mencegah kemungkaran dan berusaha untuk menghilangkannya.
Peristiwa yang melatarbelakangi beliau mendapatkan hasutan tersebut bermula ketika beliau melihat salah seorang anak buah dari kepala polisi Bashrah sedang memegang leher seorang ahli Dzimmah dan menariknya. Sementara orang Dzimmi tersebut berteriak meminta tolong kepada manusia, “Tolonglah aku semoga Allah menolong kalian! Tolonglah ahli Dzimmah (yang dilindungi) Nabi kalian wahai kaum muslimin!” maka Amir bin Abdillah menghampirinya dan bertanya, “Kamu sudah menunaikan jizyah yang menjadi kewajibanmu?” Ahli Dzimmah itu menjawab, “Ya, aku sudah menunaikannya.” Kemudian Amir menoleh kepada orang-orang yang memegang leher ahli Dzimmah tersebut dan bertanya, “Apa yang Anda inginkan darinya?” Dia menjawab, “Aku ingin dia pergi bersamaku untuk membersihkan kebun milik kepala polisi.” Amir bertanya kepada ahli Dzimmi, “Anda berhasrat untuk bekerja di tempat tersebut?” si Dzimmi menjawab, “Tidak, karena tugas itu akan memeras tenagaku dan aku tidak bisa mencari makan untuk keluargaku!” Lalu Amir menoleh lagi kepada laki-laki yang memegang leher dzimmi tersebut, “Lepaskan dia!” Ia menjawab, “Aku tidak akan melepaskanya.”
Maka tidak ada pilihan bagi Amir selain menyelamatkan orang Dzimmi tersebut sembari berkata, “Demi Allah, tidak boleh perjanjian orang dzimmi (untuk dilindungi) dengan Nabi Muhammad dibatalkan selagi saya masih hidup.” Kemudian berkumpullah manusia dan turut membantu Amir mengalahkan polisi itu dan akhirnya selamatlah orang dzimmi tersebut. Sebagai pelampiasannya teman-teman petugas polisi tersebut menuduh Amir sebagai orang yang tidak taat pemerintah dan keluar dari ahlus sunnah wal jama’ah. Mereka berkata, “Dia tidak mau menikah dengan wanita.. tidak mau makan daging hewan dan susunya.. tidak mau menghadiri pertemuan yang diadakan pemerintah..” dan mereka mengadukan persoalan tersebut kepada amirul mukminin Utsman bin Affan.
*****
Khalifah memerintahkan wali Bashrah untuk memanggil Amir bin Abdillah dan meminta keterangan kepadanys perihal tuduhan yang ditujukan atasnya, lalu hasilnya agar dilaporkan kepada Khalifah. Maka wali Bashrah memanggil Amir dan berkata, “Sesungguhnya amirul mukminin –semoga Allah memanjangkan umurnya- telah menyuruhku bertanya kepadamu perihal perkara-perkara yang dituduhkan kepada Anda.” Amir menjawab, “Silahkan Anda bertanya sesuai dengan yang diinginkan amirul mukminin.” Lalu wali Bashrah bertanya, “Mengapa anda menjauhi sunnah Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasalam dan tidak mau menikah?” Beliau menjawab, “Aku tidak menikah bukan karena ingin menyimpang dari sunnah Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasalam, karena aku tahu bahwa tidak ada kerahiban (hidup membujang untuk beribadah) dalan islam. Namun aku hanya memiliki satu jiwa saja, maka aku jadikan ia untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan aku khawatir jika istriku kelak akan mengalahkan hal itu.”
Wali berkata, “Lalun mengapa Anda tidak mau makan daging?” Beliau menjawab, “Aku bersedia memakannya bila aku berselera dan mendapatkannya. Namun apabila aku tidak berselera atau aku berselera tapi aku namun mendapatkannya maka aku tidak memakannya.” Beliau ditanya lagi, “Mengapa Anda tidak mau makan keju?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya di daerah saya banyak tinggal orang-orang majusi yang membuat keju, mereka adalah kaum yang tidak membedakan antara bangkai dengan hewan yang di sembelih, sehingga saya khawatir jika minyak yang merupakan salah satu bahan pembuatan keju berasal dari hewan yang tidak di sembelih. Jika telah ada dua orang muslim yang melihat bahwa keju tersebut dibuat dari minyak hewan yang disembelih, tentu aku akan memakannya.” Beliau ditanya, “Apa yang menghalangi Anda untuk mendatangi pertemuan yang diadakan pemerintah dan menyaksikannya?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya di depan pintu kalian begitu banyak orang yang ingin di penuhi hajatnya, maka undanglah mereka ke tempat kalian dan cukupilah kebutuhan mereka dengan apa yang kalian punya, dan biarkanlah orang yang tidak meminta kebutuhan kepada kalian.”
*****
Usai pertemuan tersebut, jawaban Amir bin Abdillah ini dilaporkan kepada amirul mukminin Utsman bin Affan dan khalifah memandang tidak ada indikasi menyimpang dari ketaatan atau keluar dari ahlus sunnah wal jama’ah pada diri Amir.
Hanya saja api kejahatan masih belum padam sampai di situ, isu yang membicarakan keburukan Amir bin Abdillah makin gencar, hingga nyaris saja terjadi fitnah antara pembela beliau dengan orang-orang yang menjadi saingannya, lalu Utsman bin Affan Radhiallahu ‘anhu memerintahkan beliau untuk berpindah ke negeri Syam dan menjadikan negeri tersebut sebagai tempat tinggalnya. Khalifah mewasiatkan kepada wali kota Syam Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk menyambut baik kedatangan Amir dan menjaga kehormatannya.
*****
Sampailah hari dimana Amir bin Abdillah memutuskan untuk berpindah dari Bashrah. Para Sahabat dan murid-murid beliau keluar untuk mengucapkan perpisahan dengan beliau. Mereka mengantar beliau hingga sampai di Marbad, setibanya di sana beliau berkata kepada mereka, “Sesungguhnya saya adalah penyeru maka jagalah seruanku.” Lalu orang-orang melongok agar dapat melihat beliau dan mereka tenang tidak bergerak, mata mereka tertuju kepada beliau, sementara beliau mengangkat kedua tangannya seraya berdo’a. “Ya Allah, orang yang telah menghasut dan mendustaiku serta menjadi sebab terusirnya aku dari negeriku, memisahkan antara diriku dengan para sahabatku. . .Yaa Allah sesungguhnya aku telah memaafkannya, maka maafkanlah dia. Berilah ia karunia kesehatan dalam agama dan dunianya. Limpahkanlah aku, dia dan juga seluruh kaum muslimin dengan rahmat-Mu, ampunan-Mu dan kebaikan-Mu wahai yang Paling Pengasih” Kemudian beliau mengarahkan kendaraannya menuju Syam.
*****
Amir bin Abdillah memutuskan hidup di negeri Syam untuk mengisi sisa-sisa umurnya. Beliau memilih Baitul Maqdis sebagai tempat tinggal dan beliau mendapatkan perlakuan baik dari pemimpin Syam Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dihormati dan dihargai.
Tatkala beliau sakit menjelang wafatnya,para sahabat menjenguknya dan mereka mendapati beliau sedang menangis. Mereka bertanya, “Apa yang menyebabkan Anda menangis, padahal Anda memiliki keutamaan ini dan itu?” beliau menjawab, “Demi Allah aku menangis bukan karena aku ingin hidup lama di dunia atau takut menghadapi kematian, akan tetapi aku menangis karena jauhnya perjalanan dan alangkah sedikitnya bekal. Sungguh, aku berada di antara tebing dan jurang. .bisa jadi ke surga atau tergelincir ke neraka, aku tidak tahu di mana aku akan sampai…” Kemudian beliau menghela nafas pelan sedang lisannya basah dengan dzikrullah..di sana.. di sana.. di kiblat yang pertama… Haramain yang ketiga.. tempat Rasul sholallahu ‘alaihi wasalam isra’.. Amir bin Abdillah at-Tamimi berdiam diri.
Semoga Allah menerangi Amir di dalam kuburnya dan membahagiakannya di surga-Nya yang kekal.
Sumber: Buku Mereka adalah Para Tabi’in, Kisah-kisah paling menakjubkan yang belum tertandingi hingga hari ini, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan XVIII, 2016