ARTIKELMutiara Nasihat

Ketika Cinta lebih Didahulukan dari pada Agama

‘Imrān bin Hiththān..

Bagi seorang pembelajar hadīts, khususnya yang sering berinteraksi dengan kitāb Shahīh al-Bukhārī, maka ‘Imrān bin Hiththān bukanlah sebuah nama yang asing terdengar di telinga..

 

Yaa, ‘Imrān bin Hiththān merupakan salah seorang perawi yang namanya termaktub di dalam kitab Shahīh al-Bukhārī..

 

Siapakah beliau ?!

Al-Imām Ibnu Hajar al-‘Asqalānī -rahimahullāh- berkata tentangnya:

 

وَعِمْرَان هُوَ السّدُوسِيّ كَانَ أَحَد الْخَوَارِج مِنْ الْعَقَدِيَّة بَلْ هُوَ رَئِيسهمْ وَشَاعِرهمْ، وَهُوَ الَّذِي مَدَحَ اِبْن مُلْجم قَاتِل عَلِيّ بِالْأَبْيَاتِ الْمَشْهُورَة..

“Dan ‘Imrān, ia adalah as-Sadūsī, ia adalah salah seorang dari kalangan Khawārij al-‘Aqadiyyah, bahkan ia adalah Tokoh dan Ahli Sya’irnya dikalangan mereka, ia (‘Imrān) adalah seorang yang memuji Ibnu Muljam sang pembunuh sahabat yang mulia ‘Alī bin Abī Thālib dengan bait-bait sya’irnya yang terkenal..”

(Fathul-Bārī)

 

Bersamaan dengan ini semua, tentu tidak asing lagi bagi para pembelajar hadīts bahwa al-Imām al-Bukhārī -rahmatullāhi ta’ālā ‘alaihi- itu memiliki kriteria yang sangat ketat dalam membawakan riwayat di dalam Shahīhnya, namun mengapa al-Imām al-Bukhārī disini malah membawakan satu atau dua riwayat dari seorang yang berpemahaman khawārij ini di dalam Shahīhnya ?

 

Namun bukan itu yang ingin ku sampaikan..

Ada hal lain yang menarik perhatianku, dikisahkan bahwa dahulunya ‘Imrān bin Hiththān ini adalah seorang Ahlussunnah, namun pertanyaan besarnya adalah, “Bagaimana bisa ia berubah menjadi seorang khārijī (seorang yang berpemahaman khawārij) ?!”

 

Al-Imām Ibnu Katsīr -rahmatullāhi ‘alaihi- berkata :

 

عِمْرَانُ بْنُ حِطَّانَ الْخَارِجِيُّ، كَانَ أَوَّلًا مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، فَتَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنَ الْخَوَارِجِ حَسَنَةً جَمِيلَةً جِدًّا فَأَحَبَّهَا، وَكَانَ هُوَ دَمِيمَ الشَّكْلِ، فَأَرَادَ أَنْ يَرُدَّهَا إِلَى السُّنَّةِ فَأَبَتْ، فَارْتَدَّ مَعَهَا إِلَى مَذْهَبِهَا

 

“‘Imrān bin Hiththān al-Khārijī, awalnya ia termasuk dari kalangan Ahlussunnah wal-Jamā’ah, kemudian ia menikah dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita dari kalangan khawārij, ia pun sangat mencintainya, ‘Imrān bin Hiththān adalah seorang yang buruk rupa, ‘Imrān menikahi wanita tersebut karena ingin mengembalikannya kepada Sunnah, namun sayangnya wanita itu enggan, maka akhirnya malah ‘Imrān yang berpaling bersamanya kepada madzhab khawārij.”

(Al-Bidāyah wan-Nihāyah, 12/352, tahqīq at-Turkī)

 

Ternyata diantara penyebabnya adalah karena (lebih mendahulukan) cinta (daripada agamanya)..

Niatnya baik, yaitu ingin membawa (mengembalikan) sang wanita pujaannya itu kepada madzhab Ahlussunnah, namun siapa yang ‘kan menyangka akhirnya malah dirinya yang terbawa..?!

 

Dari sini ada sebuah faedah indah yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shālih al-‘Utsaimīn yang berkesesuaian dengan kisah ‘Imrān bin Hiththān ini, asy-Syaikh Ibnul-‘Utsaimīn -rahimahullāh- berkata:

 

إنه يؤخذ منه فائدة مهمة جدا وهي أن العبرة في الأمور بالمنظور منها لا بالمنتظر، أنت غير مكلف بأمر غيبي، أنت مكلف بشيء بين يديك، ومن هنا نعرف جوابا لسؤال يقع كثيرا : يخطب الرجل امرأة ملتزمة وهو غير ملتزم وتحب أن تتزوج به وتقول : لعل الله أن يهديه على يدي، وهذا عمل بمنتظر ما ندري، المنظور الذي أمامنا أنه غير ملتزم، فإذا قالت : لعل الله أن يهديه على يدي، قلنا : ولعل الله أن يضلك على يديه كله متوقع، وكونك تضلين على يديه أقرب من كونه يهدى على يديك، لأن المعروف أن سلطة الرجل على المرأة أقوى من سلطتها عليه ..

أهم شيء عندي أن نعرف أن الإنسان مكلف بما ينظر لا بما ينتظر ..

 

“Diambil sebuah faedah yang sangat penting sekali, yaitu bahwa ‘ibrahnya itu ada pada perkara yang terlihat (nampak) sekarang, bukan pada perkara yang akan datang (yang kita tidak mengetahuinya), engkau tidak dibebani dengan perkara ghaib yang engkau tidak ketahui, namun engkau dibebani dengan sesuatu yang ada dihadapan kedua matamu sekarang, dan dari sini kita tahu jawaban dari sebuah pertanyaan yang banyak terjadi, “Seorang lelaki meminang seorang wanita yang ta’at beragama, sedangkan lelaki tersebut bukanlah seorang yang ta’at beragama, namun sang wanita sangat ingin tuk menikahinya, dan berkata, “Bisa jadi Allāh akan memberikannya hidayah melalui perantara diriku.””, maka hal ini merupakan perkara yang akan datang yang kita tidak mengetahuinya, realitanya saat ini adalah apa yang ada dihadapanmu sekarang bahwasanya lelaki tersebut bukanlah seorang yang ta’at beragama, namun jika engkau mengatakan, “Bisa jadi Allāh akan memberikannya hidayah melalui perantaraku.”, maka kita katakan, “Dan bisa jadi pula Allāh akan menyesatkanmu karena sebab dirinya.” dan semua itu memang benar-benar mungkin terjadi, dan engkau tersesat karena sebab dirinya itu lebih mungkin terjadi daripada dia mendapatkan hidayah karena sebab dirimu, karena sudah diketahui bersama bahwa seorang lelaki itu lebih besar (dominan) pengaruhnya kepada seorang wanita daripada sang wanita itu sendiri kepada seorang lelaki..

Maka yang terpenting bagi kita adalah, kita mengetahui bahwa seseorang itu dibebani dengan sesuatu yang terjadi saat ini (yang terlihat, yang nampak saat ini) bukan dengan sesuatu yang akan terjadi di kemudian hari (di masa depan, masa yang akan datang).”

(Fathu dzil-Jalāli wal-Ikrām, 4/518-519)

 

Maka bagi yang belum menikah, atau yang ingin menambah, carilah pasangan yang shālih atau shālihah..

Jika seorang lelaki, carilah pasangan yang shālihah..

Jika seorang wanita, carilah pasangan yang shālih..

 

Yang menjadi penilaian adalah apa yang nampak dan terlihat saat ini, adapun yang terjadi kedepannya kita tidak tahu..

Jangan semata-mata karena cinta, kemudian seseorang itu bergegas menikahinya tanpa melihat kepada baiknya agama yang dimilikinya, kemudian berandai-andai “Bisa jadi dia mendapatkan hidayah sunnah karena sebab diriku.” atau “Aku akan menyelamatkannya dari pemahaman yang berbahaya dan mengembalikannya kepada pemahaman Ahlussunnah!!”.

Subhānallāh..

 

Carilah yang jelas-jelas saja..

Yang jelas-jelas tampan/cantiknya..

Yang jelas-jelas kayanya..

Yang jelas-jelas tinggi nasabnya..

Tentu maksudnya yang jelas-jelas keshālihan atau keshālihahannya,

 

Oleh : Nur Muhammad Iskandar

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini:

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker