BERITA

Masihkah Mengikuti Perayaan Tahun Baru?

“Eh, ke acara konser yuk?” ajak seorang remaja kepada temannya. Temannya pun  menimpali “Oiya, tahun baruan. Ajakin juga teman-teman yang lain, sekalian seru-seruan. Jangan lupa terompet dan  kembang apinya ya”.

******

Barangkali gambaran percakapan diatas sudah sering kita dengarkan. Atau bahkan terjadi dengan orang-orang terdekat kita. Tatkala kalender masehi menunjukkan angka-angka terakhirnya, maka banyak orang yang ingin terjun langsung merayakannya. Entah apa yang hendak dirayakan, tapi seolah ini adalah suatu hal yang harus dan wajib untuk dikerjakan.

Memang demikianlah kondisi masyarakat kita.  Begitu mudah larut dalam kemeriahan dan hura-hura tanpa melihat esensi dibalik semuah yang ada. Begitu gampangnya terbawa arus tanpa memiliki filter untuk memilih dan memilahnya.

Tahun baru memang penuh dengan gegap gempita. Jalanan penuh dengan manusia. Acara pun diadakan dimana-mana. Lantas bagaimanakah sikap kita selaku hamba yang memiliki aturan Ilahi?. Bagaimana pula Islam mengajarkan hambanya untuk bersikap?.

Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita kembalikan kepada Al-Quran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala :

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh dan Rosul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa’ : 59).

Asal Muasal Perayaan Tahun Baru Masehi

Untuk bisa bersikap dengan benar dan bijaksana, ada baiknya kita mengetahui sejarah dan asal muasal perayaan tahun baru. Karena bagaimana kita bisa bersikap dengan benar kalau kita tidak mengilmuinya?. Berikut keterangan dan data yang dinukil dari Wikipedia berkaitan dengan sejarah dan asal muasal perayaan tahun baru.

“Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus”. (Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_baru).

Setelah mengetahui asal muasal dan bagaimana sejarah tahun baru bermula, tentu para pembaca sekalian sudah bisa menyimpulkan sendiri. Adalah sebuah kepastian yang tidak dapat dibantah bahwa perayaan tahun baru bukanlah berasal dari ajaran agama Islam, melainkan merupakan tradisi dan perayaan yang dilakukan oleh orang-orang kafir.

Lantas apakah kita dengan latah mengikuti budaya tersebut?.  Atau apakah kita bangga bahkan bersusah payah untuk menggelar acara demi memeriahkan tahun baru tersebut?. Tentu saja tidak. Akan tetapi justru yang terjadi disekeliling kita malah berbeda dengan apa yang kita inginkan. Anak-anak, remaja, orang tua, laki-laki dan perempuan ikut andil dan berperan serta dalam menyukseskan acara dan perayaan tersebut. Sungguh sebuah hal yang miris untuk orang yang menisbatkan diri kepada ajaran agama Islam.

Bahayakah Merayakan Tahun Baru?

Pertanyaan diatas sebenarnya sudah bisa kita jawab. Dari paparan keterangan yang ada jelas bahwa merayakan tahun baru tidak ada istilahnya dalam ajaran Islam. Lalu, bahaya apakah yang mengintai dari ikut merayakan tahun baru?.

  • Merayakan tahun baru berarti mengikuti dan menyerupai tradisi orang-orang kafir

Orang-orang kafir tidak akan pernah diam dalam membuat makar terhadap ajaran Islam. Mereka berusaha sekuat tenaga agar kaum Muslimin mengikuti mereka, dalam hal apapun. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla dalam firman-Nya :

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka” (QS. Al-Baqarah : 120 ).

Juga dengan mengikuti perayaan tahun baru, seseorang berarti telah menyerupai orang-orang kafir dalam perikehidupannya. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam telah mewanti-wanti umatnya agar tidak menyerupai orang-orang kafir dalam segala hal. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk kedalam golongan mereka” (HR Abu Dawud)

  • Merayakan tahun baru berarti merayakan hari yang tidak disyariatkan untuk dirayakan.

Sungguh ajaran agama Islam telah datang dengan syariat yang mulia, dan syariat ini berlaku sepanjang zaman. Islam hanya mengenal dua hari raya sebagaimana yang telah diketahui bersama yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Oleh karena itu merayakan tahun baru berarti menyelisihi syariat Islam, dimana syariat Islam hanya mencukupkan dua hari raya saja.

  • Tahun baru = Terompet + Petasan = Mengganggu Kaum Muslimin

Tahun baru tidak terlepas dari dua benda ini, terompet dan petasan. Kedua benda ini memiliki potensi yang besar untuk mengganggu kaum Muslimin dengan suaranya yang  nyaring.

 Jangankan di malam hari, terompet dan petasan yang dibunyikan di siang hari saja, orang sudah pasti merasa teerganggu dengan bunyinya yang keras, apalagi dibunyikan dimalam hari (baca : tengah malam) dengan jumlah yang sangat banyak. Padahal diantara akhlak seorang muslim adalah menjaga kenyamanan dan keselamatan muslim yang lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin (lainnya) selamat dari gangguan lisan dan tangannya” ( HR. Bukhori dan Muslim ).

  • Tambahan lagi, membeli terompet, kembang api dan hura-hura di malam tahun baru berarti enghambur-hamburkan uang dan membelanjakannya untuk keperluan yang tidak ada manfaatnya.

********

Demikianlah tulisan singkat berkaitan dengan momen tahun baru ini. Masih banyak lagi bahaya-bahaya yang lain dari perayaan tahun baru yang tidak bisa disebutkan disini. Cukuplah kita dengan apa yang dibawa oleh syariat Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam, tanpa menambah dan mengurangi. Dan di penutup tulisan ini, kami bawakan perkataan sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang artinya :

اتبعوا ولا تبتدعوا فقد كفيتم

 “Hendaklah kalian mengikuti (sunnah) dan janganlah kalian mengada-ada, sungguh kalian telah dicukupi (dengan ajaran Islam ini)” ( HR.  Ad-Darimi). (Aziz Rachman)

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
%d blogger menyukai ini:

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker